All hands,
Sistem senjata utama Angkatan Laut adalah kapal perang. Agar kapal perang dapat lebih mematikan, sistem senjata itu membutuhkan force multiplier. Hal ini telah diterapkan oleh banyak Angkatan Laut di dunia. Tentu saja menjadi pertanyaan, apa yang sebaiknya menjadi force multiplier Angkatan Laut?
Jawabannya tak lain dan tidak bukan adalah kekuatan udara Angkatan Laut. Meskipun saat ini era operasi gabungan, namun dalam konteks Indonesia masih sulit menempatkan kekuatan udara di luar organisasi Angkatan Laut untuk menjadi subordinasi Angkatan Laut dalam operasi maritim. Sehingga pilihan yang paling logis adalah mentransformasikan Penerbangan Angkatan Laut menjadi force multiplier.
Bagaimana caranya melaksanakan transformasi tersebut? Salah satunya adalah memodernisasi kekuatan udara Angkatan Laut dengan pesawat udara yang memang dirancang untuk beroperasi dari geladak kapal perang dan atau untuk kepentingan operasi maritim. Sebagai contoh, heli yang melengkapi Angkatan Laut bukan saja dituntut harus mempunyai kemampuan AKS, tetapi sistem pendaratnya menggunakan roda dan bukan skid seperti yang selama ini dipraktekkan.
Selain itu, kekuatan udara Angkatan Laut harus difungsikan bukan sebatas kepanjangan mata dan telinga kapal perang, tetapi juga kepanjangan tangan. Artinya kekuatan udara itu harus mempunyai senjata pamungkas, baik torpedo maupun rudal anti kapal permukaan.
Dengan daya gerak serta cakupan operasi yang lebih luas daripada kapal perang, kekuatan udara Angkatan Laut memang tepat untuk dijadikan force multiplier. Guna mewujudkan hal tersebut, salah satu pembenahan yang harus dilakukan adalah pada sumber daya manusianya. Kalau melihat tingginya tingkat kecelakaan pesawat udara Angkatan Laut selama beberapa waktu terakhir, hal itu menandakan bahwa profesionalisme mereka masih perlu dibenahi. Sebab sebagian dari faktor penyebab kasus-kasus itu adalah human error, meskipun tidak ada penyebab tunggal dalam kecelakaan pesawat udara.
Mengapa berakhir pada human error? Apabila dirunut lebih jauh, akan terkait dengan pembinaan profesionalisme para penerbang. Artinya ada suatu hal yang keliru dalam sistem yang eksis sekarang ini. Bisa jadi sistemnya benar, namun pelaksanaannya belum mengacu sepenuhnya pada sistem tersebut.
Sistem senjata utama Angkatan Laut adalah kapal perang. Agar kapal perang dapat lebih mematikan, sistem senjata itu membutuhkan force multiplier. Hal ini telah diterapkan oleh banyak Angkatan Laut di dunia. Tentu saja menjadi pertanyaan, apa yang sebaiknya menjadi force multiplier Angkatan Laut?
Jawabannya tak lain dan tidak bukan adalah kekuatan udara Angkatan Laut. Meskipun saat ini era operasi gabungan, namun dalam konteks Indonesia masih sulit menempatkan kekuatan udara di luar organisasi Angkatan Laut untuk menjadi subordinasi Angkatan Laut dalam operasi maritim. Sehingga pilihan yang paling logis adalah mentransformasikan Penerbangan Angkatan Laut menjadi force multiplier.
Bagaimana caranya melaksanakan transformasi tersebut? Salah satunya adalah memodernisasi kekuatan udara Angkatan Laut dengan pesawat udara yang memang dirancang untuk beroperasi dari geladak kapal perang dan atau untuk kepentingan operasi maritim. Sebagai contoh, heli yang melengkapi Angkatan Laut bukan saja dituntut harus mempunyai kemampuan AKS, tetapi sistem pendaratnya menggunakan roda dan bukan skid seperti yang selama ini dipraktekkan.
Selain itu, kekuatan udara Angkatan Laut harus difungsikan bukan sebatas kepanjangan mata dan telinga kapal perang, tetapi juga kepanjangan tangan. Artinya kekuatan udara itu harus mempunyai senjata pamungkas, baik torpedo maupun rudal anti kapal permukaan.
Dengan daya gerak serta cakupan operasi yang lebih luas daripada kapal perang, kekuatan udara Angkatan Laut memang tepat untuk dijadikan force multiplier. Guna mewujudkan hal tersebut, salah satu pembenahan yang harus dilakukan adalah pada sumber daya manusianya. Kalau melihat tingginya tingkat kecelakaan pesawat udara Angkatan Laut selama beberapa waktu terakhir, hal itu menandakan bahwa profesionalisme mereka masih perlu dibenahi. Sebab sebagian dari faktor penyebab kasus-kasus itu adalah human error, meskipun tidak ada penyebab tunggal dalam kecelakaan pesawat udara.
Mengapa berakhir pada human error? Apabila dirunut lebih jauh, akan terkait dengan pembinaan profesionalisme para penerbang. Artinya ada suatu hal yang keliru dalam sistem yang eksis sekarang ini. Bisa jadi sistemnya benar, namun pelaksanaannya belum mengacu sepenuhnya pada sistem tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar