All hands,
Sesungguhnya banyak pelajaran yang bisa ditarik oleh Indonesia, khususnya militer dari Perang Afghanistan yang kini terus digeluti oleh Amerika Serikat. Salah satunya adalah assessment terhadap situasi nyata di lapangan secara lugas oleh panglima operasi. Seperti diketahui, Panglima ISAF/U.S. Forces Afghanistan Jenderal Stanley McChrystal pada Agustus 2009 memberikan laporan situasi lapangan yang lugas soal resiko dan peluang yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan sekutunya dalam perang di negeri yang dalam sejarahnya sulit ditaklukkan oleh pihak asing.
Di Indonesia, kalau kita menengok ke masa lalu maka sulit untuk menemukan preseden seperti itu. Maksudnya, assessment terhadap operasi militer yang sedang digelar tidak pernah lugas mendeskripsikan situasi di lapangan yang sesungguhnya. Akibatnya muncul banyak kecurigaan dari pihak di luar militer terhadap operasi militer yang tengah digelar.
Kalau kita berbicara tentang operasi militer, salah satu yang harus langsung diingat adalah biaya alias cost. Baik cost berupa material maupun non material seperti jumlah korban di pihak sendiri maupun pihak lain yang terkait. Tidak murah untuk menggelar operasi militer yang berkepanjangan, meskipun hal itu harus ditempuh untuk mengamankan kepentingan nasional.
Karena sumber daya dalam pembangunan militer pada dasarnya terbatas, maka cost-nya harus bisa direka. Tidak bisa kita melaksanakan operasi militer tanpa cost yang jelas, begitu pula batasan waktu yang jelas. Semakin lama operasi militer digelar, semakin besar cost yang harus dikeluarkan. Termasuk pula political cost, baik protes dari pihak-pihak tertentu di dalam negeri maupun dari luar negeri.
Ketika assessment Jenderal McChrystal bocor ke publik Amerika Serikat, secara otomatis salah satu reaksi yang muncul adalah soal cost yang harus dikeluarkan untuk membiayai kelanjutan perang tersebut. Bukan saja soal berapa dollar, tetapi juga menyangkut berapa banyak lagi prajurit militer Uwak Sam yang pulang ke tanah airnya dalam peti mati berbalut bendera Stars and Stripes dan yang duduk di atas kursi roda tanpa daya.
Untuk mengamankan kepentingan nasional, cost berapapun akan dikeluarkan. Tetapi bukan berarti cost itu tidak bisa dihitung atau direka. Masalahnya di Indonesia, kita belum membangun sistem untuk menghitung cost tersebut dengan benar.
Sesungguhnya banyak pelajaran yang bisa ditarik oleh Indonesia, khususnya militer dari Perang Afghanistan yang kini terus digeluti oleh Amerika Serikat. Salah satunya adalah assessment terhadap situasi nyata di lapangan secara lugas oleh panglima operasi. Seperti diketahui, Panglima ISAF/U.S. Forces Afghanistan Jenderal Stanley McChrystal pada Agustus 2009 memberikan laporan situasi lapangan yang lugas soal resiko dan peluang yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan sekutunya dalam perang di negeri yang dalam sejarahnya sulit ditaklukkan oleh pihak asing.
Di Indonesia, kalau kita menengok ke masa lalu maka sulit untuk menemukan preseden seperti itu. Maksudnya, assessment terhadap operasi militer yang sedang digelar tidak pernah lugas mendeskripsikan situasi di lapangan yang sesungguhnya. Akibatnya muncul banyak kecurigaan dari pihak di luar militer terhadap operasi militer yang tengah digelar.
Kalau kita berbicara tentang operasi militer, salah satu yang harus langsung diingat adalah biaya alias cost. Baik cost berupa material maupun non material seperti jumlah korban di pihak sendiri maupun pihak lain yang terkait. Tidak murah untuk menggelar operasi militer yang berkepanjangan, meskipun hal itu harus ditempuh untuk mengamankan kepentingan nasional.
Karena sumber daya dalam pembangunan militer pada dasarnya terbatas, maka cost-nya harus bisa direka. Tidak bisa kita melaksanakan operasi militer tanpa cost yang jelas, begitu pula batasan waktu yang jelas. Semakin lama operasi militer digelar, semakin besar cost yang harus dikeluarkan. Termasuk pula political cost, baik protes dari pihak-pihak tertentu di dalam negeri maupun dari luar negeri.
Ketika assessment Jenderal McChrystal bocor ke publik Amerika Serikat, secara otomatis salah satu reaksi yang muncul adalah soal cost yang harus dikeluarkan untuk membiayai kelanjutan perang tersebut. Bukan saja soal berapa dollar, tetapi juga menyangkut berapa banyak lagi prajurit militer Uwak Sam yang pulang ke tanah airnya dalam peti mati berbalut bendera Stars and Stripes dan yang duduk di atas kursi roda tanpa daya.
Untuk mengamankan kepentingan nasional, cost berapapun akan dikeluarkan. Tetapi bukan berarti cost itu tidak bisa dihitung atau direka. Masalahnya di Indonesia, kita belum membangun sistem untuk menghitung cost tersebut dengan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar