All hands,
Frase to fight and win bukan suatu yang aneh lagi di kalangan militer dan pertahanan, termasuk Angkatan Laut. Meskipun frase ini belum pernah saya temukan dalam dokumen-dokumen kebijakan pertahanan yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan, setidaknya sering ditemukan apabila kita mempelajari dokumen-dokumen kebijakan dan operasional pertahanan negara-negara asing. Bagi pihak asing, frase to fight and win mempunyai makna yang sangat mendalam.
To fight and win bukan saja sekedar tertulis dalam dokumen resmi, tetapi juga bisa ditemukan bukti-buktinya pada satuan militer. Yakni pada pembangunan kekuatan yang dilaksanakan. Dengan kata lain, frase to fight and win bukan sekedar slogan seperti penyakit yang dianut oleh Indonesia saat ini.
Segala daya upaya diarahkan untuk menyiapkan kekuatan militer dan pertahanan agar meraih kemenangan ketika harus bertempur. Jadi bukan sekedar menyiapkan kekuatan militer untuk bertempur, tetapi juga bertempur untuk meraih kemenangan. Artinya kesiapan bertempur adalah satu soal, meraih kemenangan merupakan soal lain.
Militer manapun ---mayoritas--- siap untuk bertempur. Tetapi kondisi siap untuk bertempur bukan secara otomatis siap untuk meraih kemenangan. Itu dua kondisi yang berbeda, bukan suatu hal yang berbanding lurus. Dibutuhkan investasi lebih besar untuk mempunyai kekuatan militer yang disiapkan untuk menang daripada sekedar menyiapkan kekuatan yang siap untuk bertempur.
Pembangunan kekuatan militer dan pertahanan di Indonesia baru sekedar pada menyiapkan kekuatan untuk bertempur, belum mencapai tahap menyiapkan kekuatan untuk meraih kemenangan. Bagaimana untuk meraih kemenangan dalam pertempuran kalau dukungan anggaran pemeliharaan sistem senjata saja masih jauh dari cukup. Belum lagi bila menyentuh pada aspek perangkat lunak seperti doktrin, strategi dan taktik.
Doktrin, strategi dan taktik diuji kebenarannya bila ada perang atau konflik. Dari beberapa konflik yang pernah dihadapi oleh kekuatan militer dan pertahanan negeri ini seperti Aceh, Timor Timur dan Laut Sulawesi, sudah berapa persen dari asumsi-asumsi dalam doktrin, strategi dan taktis yang terbukti kebenarannya? Ketiga konflik itu boleh dikatakan berintensitas rendah sebab belum dapat digolongkan sebagai perang terbuka.
Meskipun intensitas rendah, dapat dipastikan ada hal-hal dalam doktrin, strategi dan taktik yang diuji dalam konflik itu. Cuma masalahnya adalah seberapa jauh kita mengambil lesson learned dari sana. Kemudian seberapa besar kemauan kita untuk mengubah asumsi-asumsi yang terbukti tidak benar dari konflik itu.
Merupakan suatu pendekatan yang keliru bila menempatkan doktrin, strategi dan taktik sebagai harta warisan dari generasi terdahulu yang tidak boleh diutak-atik. Sebab alam tempur yang dialami oleh generasi terdahulu berbeda dengan yang dihadapi generasi saat ini. Generasi terdahulu tidak akrab atau setidaknya belum akrab dengan peperangan elektronika, NCW, information operations dan lain sebagainya. Sementara generasi sekarang harus tahu dan akrab dengan itu semua, karena (bakal) lawan mengeksploitasi cara-cara demikian untuk meraih kemenangan.
Kembali ke frase to fight and win, kekuatan militer dan pertahanan Indonesia belum dibangun menuju ke arah tersebut. Jadi sebenarnya wajar saja bila kita belum pernah menemukan frase itu dalam dokumen-dokumen kebijakan pertahanan negeri ini.
Frase to fight and win bukan suatu yang aneh lagi di kalangan militer dan pertahanan, termasuk Angkatan Laut. Meskipun frase ini belum pernah saya temukan dalam dokumen-dokumen kebijakan pertahanan yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan, setidaknya sering ditemukan apabila kita mempelajari dokumen-dokumen kebijakan dan operasional pertahanan negara-negara asing. Bagi pihak asing, frase to fight and win mempunyai makna yang sangat mendalam.
To fight and win bukan saja sekedar tertulis dalam dokumen resmi, tetapi juga bisa ditemukan bukti-buktinya pada satuan militer. Yakni pada pembangunan kekuatan yang dilaksanakan. Dengan kata lain, frase to fight and win bukan sekedar slogan seperti penyakit yang dianut oleh Indonesia saat ini.
Segala daya upaya diarahkan untuk menyiapkan kekuatan militer dan pertahanan agar meraih kemenangan ketika harus bertempur. Jadi bukan sekedar menyiapkan kekuatan militer untuk bertempur, tetapi juga bertempur untuk meraih kemenangan. Artinya kesiapan bertempur adalah satu soal, meraih kemenangan merupakan soal lain.
Militer manapun ---mayoritas--- siap untuk bertempur. Tetapi kondisi siap untuk bertempur bukan secara otomatis siap untuk meraih kemenangan. Itu dua kondisi yang berbeda, bukan suatu hal yang berbanding lurus. Dibutuhkan investasi lebih besar untuk mempunyai kekuatan militer yang disiapkan untuk menang daripada sekedar menyiapkan kekuatan yang siap untuk bertempur.
Pembangunan kekuatan militer dan pertahanan di Indonesia baru sekedar pada menyiapkan kekuatan untuk bertempur, belum mencapai tahap menyiapkan kekuatan untuk meraih kemenangan. Bagaimana untuk meraih kemenangan dalam pertempuran kalau dukungan anggaran pemeliharaan sistem senjata saja masih jauh dari cukup. Belum lagi bila menyentuh pada aspek perangkat lunak seperti doktrin, strategi dan taktik.
Doktrin, strategi dan taktik diuji kebenarannya bila ada perang atau konflik. Dari beberapa konflik yang pernah dihadapi oleh kekuatan militer dan pertahanan negeri ini seperti Aceh, Timor Timur dan Laut Sulawesi, sudah berapa persen dari asumsi-asumsi dalam doktrin, strategi dan taktis yang terbukti kebenarannya? Ketiga konflik itu boleh dikatakan berintensitas rendah sebab belum dapat digolongkan sebagai perang terbuka.
Meskipun intensitas rendah, dapat dipastikan ada hal-hal dalam doktrin, strategi dan taktik yang diuji dalam konflik itu. Cuma masalahnya adalah seberapa jauh kita mengambil lesson learned dari sana. Kemudian seberapa besar kemauan kita untuk mengubah asumsi-asumsi yang terbukti tidak benar dari konflik itu.
Merupakan suatu pendekatan yang keliru bila menempatkan doktrin, strategi dan taktik sebagai harta warisan dari generasi terdahulu yang tidak boleh diutak-atik. Sebab alam tempur yang dialami oleh generasi terdahulu berbeda dengan yang dihadapi generasi saat ini. Generasi terdahulu tidak akrab atau setidaknya belum akrab dengan peperangan elektronika, NCW, information operations dan lain sebagainya. Sementara generasi sekarang harus tahu dan akrab dengan itu semua, karena (bakal) lawan mengeksploitasi cara-cara demikian untuk meraih kemenangan.
Kembali ke frase to fight and win, kekuatan militer dan pertahanan Indonesia belum dibangun menuju ke arah tersebut. Jadi sebenarnya wajar saja bila kita belum pernah menemukan frase itu dalam dokumen-dokumen kebijakan pertahanan negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar