All hands,
Geoffrey Till membagi paradigma Angkatan Laut di dunia atas dua bagian, yakni modern navy dan post-modern navy. Modern navy menurut Till adalah adaptasi konsep-konsep tradisional dalam naval employment untuk kondisi-kondisi kontemporer. Sedangkan post-modern navy yaitu transformasi Angkatan Laut menjadi sesuatu yang lain.
Pembagian ini tidak berarti bahwa satu kelompok Angkatan Laut lebih baik atau lebih buruk daripada Angkatan Laut lainnya. Sebaliknya, penggolongan tersebut lebih pada pencerminan sikap-sikap tiap Angkatan Laut di dunia terhadap globalisasi. Dengan kata lain, klasifikasi modern navy dan post-modern navy terkait dengan era globalisasi saat ini.
Angkatan Laut negara-negara maju kini telah bertransformasi menjadi post-modern navy. Eksistensi mereka tetap untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing negara, tetapi dalam spektrum yang luas. Demi mengamankan kepentingan itu, kekuatan laut mereka diproyeksikan jauh dari wilayah negerinya demi menjamin stabilitas keamanan maritim.
Terkait dengan hal tersebut, isu pengendalian laut tetap menjadi isu pokok dalam strategi maritim negara-negara itu. Namun pengendalian laut bagi post-modern navy bukan lagi berpusat di tengah laut, tetapi pada kawasan littoral. Pengendalian laut yang mereka laksanakan bukan lagi untuk mencegah atau menetralisasi kekuatan laut lawan di tengah laut, akan tetapi lebih berfokus pada force protection dan battlespace dominance di wilayah littoral.
Pentingnya isu force protection bisa dilihat dari kasus USS Cole (DDG-67) dan INS Ahi Hanit. USS Cole yang dilengkapi dengan berbagai senjata berteknologi tinggi menjadi tidak berdaya menghadapi serangan bom dari perahu kecil, sedangkan INS Ahi Hanit yang teknologinya tergolong state of the art lumpuh diserang rudal C-802 yang teknologinya bukan keluaran terakhir.
Adapun battlespace dominance terkait dengan kemampuan Angkatan Laut, dalam hal ini kapal perang untuk mengendalikan segenap spektrum di littoral agar tidak menjadi ancaman baginya. Spektrum itu bukan saja tiga dimensi, namun meliputi pula spektrum elektromagnetik. Dalam peperangan masa kini, spektrum elektronik yang kasat mata itu bisa menjadi wahana untuk melumpuhkan suatu kekuatan laut yang lebih kuat. Siapapun bisa mengeksploitasi spektrum elektromagnetik, artinya tidak hanya didominasi oleh aktor negara.
Indonesia merupakan salah satu negara littoral. Dengan dinamika operasi Angkatan Laut negara-negara maju yang telah dijelaskan sebelumnya, bukan suatu hal yang berlebihan bila kekuatan laut negeri ini mengantisipasi dan mengikuti dinamika itu. Dalam arti AL kita harus mampu menjadi pengendali laut di wilayah littoral kita sendiri dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.
Geoffrey Till membagi paradigma Angkatan Laut di dunia atas dua bagian, yakni modern navy dan post-modern navy. Modern navy menurut Till adalah adaptasi konsep-konsep tradisional dalam naval employment untuk kondisi-kondisi kontemporer. Sedangkan post-modern navy yaitu transformasi Angkatan Laut menjadi sesuatu yang lain.
Pembagian ini tidak berarti bahwa satu kelompok Angkatan Laut lebih baik atau lebih buruk daripada Angkatan Laut lainnya. Sebaliknya, penggolongan tersebut lebih pada pencerminan sikap-sikap tiap Angkatan Laut di dunia terhadap globalisasi. Dengan kata lain, klasifikasi modern navy dan post-modern navy terkait dengan era globalisasi saat ini.
Angkatan Laut negara-negara maju kini telah bertransformasi menjadi post-modern navy. Eksistensi mereka tetap untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing negara, tetapi dalam spektrum yang luas. Demi mengamankan kepentingan itu, kekuatan laut mereka diproyeksikan jauh dari wilayah negerinya demi menjamin stabilitas keamanan maritim.
Terkait dengan hal tersebut, isu pengendalian laut tetap menjadi isu pokok dalam strategi maritim negara-negara itu. Namun pengendalian laut bagi post-modern navy bukan lagi berpusat di tengah laut, tetapi pada kawasan littoral. Pengendalian laut yang mereka laksanakan bukan lagi untuk mencegah atau menetralisasi kekuatan laut lawan di tengah laut, akan tetapi lebih berfokus pada force protection dan battlespace dominance di wilayah littoral.
Pentingnya isu force protection bisa dilihat dari kasus USS Cole (DDG-67) dan INS Ahi Hanit. USS Cole yang dilengkapi dengan berbagai senjata berteknologi tinggi menjadi tidak berdaya menghadapi serangan bom dari perahu kecil, sedangkan INS Ahi Hanit yang teknologinya tergolong state of the art lumpuh diserang rudal C-802 yang teknologinya bukan keluaran terakhir.
Adapun battlespace dominance terkait dengan kemampuan Angkatan Laut, dalam hal ini kapal perang untuk mengendalikan segenap spektrum di littoral agar tidak menjadi ancaman baginya. Spektrum itu bukan saja tiga dimensi, namun meliputi pula spektrum elektromagnetik. Dalam peperangan masa kini, spektrum elektronik yang kasat mata itu bisa menjadi wahana untuk melumpuhkan suatu kekuatan laut yang lebih kuat. Siapapun bisa mengeksploitasi spektrum elektromagnetik, artinya tidak hanya didominasi oleh aktor negara.
Indonesia merupakan salah satu negara littoral. Dengan dinamika operasi Angkatan Laut negara-negara maju yang telah dijelaskan sebelumnya, bukan suatu hal yang berlebihan bila kekuatan laut negeri ini mengantisipasi dan mengikuti dinamika itu. Dalam arti AL kita harus mampu menjadi pengendali laut di wilayah littoral kita sendiri dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar