All hands,
Pembangunan kekuatan laut Cina sebenarnya tidak perlu disikapi secara berlebihan bila dipandang dari perspektif ke-Angkatan Laut-an secara jernih. Memang perspektif ini berbeda dari perspektif kepentingan nasional Amerika Serikat selama ini yang mendominasi sebagian pemikir strategis di kawasan Asia Pasifik yang memandang pembangunan kekuatan laut Negeri Tirai Bambu sebagai potensi instabilitas di masa depan. Perspektif Amerika Serikat wajar-wajar saja, sebab berangkat dari kacamata kepentingan nasionalnya. Namun sebaiknya kita yang bukan warga Amerika Serikat dan sekaligus bukan pula kaki tangan alias antek-antek Uwak Sam, mencari sudut pandang lain sebagai pembanding.
Memang betul fakta-fakta yang dijelaskan dalam Annual Report to Congress: Military Power of the People’s Republic of China 2009 terbitan Pentagon menyangkut kapal perang apa saja yang telah dimiliki dan akan dipunyai oleh PLA Navy. Termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan kapal selam. Semua itu fakta yang siapa pun tidak bisa membantahnya.
Namun pembangunan kekuatan itu tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan Angkatan Laut Cina dalam pengendalian laut. Penting untuk kita insyafi bahwa kuantitas dan kualitas kapal perang dan pesawat udara Angkatan Laut tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kemampuan pengendalian laut. Dalam konteks ini, kita harus mencermati tiga aspek dalam major naval operations yaitu space, time and force.
Dari aspek force memang suatu fakta bahwa kekuatan laut Cina secara kuantitas meningkat. Kualitas sistem senjatanya juga ditengarai meningkat, apalagi mereka terus meningkatkan kemampuan C4I yang didukung oleh satelit militer. Tetapi ketika kita masuk ke dalam aspek space and time, masalahnya menjadi lain.
Semua ahli strategi maritim pasca Alfred Thayer Mahan sepakat bahwa pengendalian laut dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidak ada lagi yang disebut command of the sea seperti yang ditulis Mahan dalam The Influence of Sea Power Upon History: 1660-1783. Mengapa tidak ada? Jawabannya sederhana, teknologi Angkatan Laut masa kini bukan lagi mengandalkan tenaga layar untuk mendorong kapal perang, teknologi senjata makin maju dan sekarang teknologi sensing bagi kepentingan Angkatan Laut sudah sangat maju yang belum ada sama sekali di era pertempuran-pertempuran laut di Eropa yang diuraikan oleh Mahan dalam bukunya.
Space yang harus dikendalikan oleh PLA Navy terbentang dari Teluk Persia hingga Laut Cina Timur. Realitas saat ini menunjukkan bahwa jangankan space seluas itu, space dari Laut Cina Timur ke Selat Malaka saja mereka belum mampu kendalikan. Meskipun para ahli strategi di Pentagon sepakat bahwa pembangunan kekuatan laut Cina beyond Taiwan, tetapi dalam prakteknya paling mungkin mereka cuma bisa mengendalikan space di Selat Taiwan. Itu pun kategorinya “masih mungkin”, sebab mereka harus to challenge U.S. Navy di sana bila muncul konflik di selat tersebut.
Kenapa space untuk pengendalian laut Cina masih terbatas? Jawaban atas pertanyaan itu kembali pada doktrin, strategi, taktik Angkatan Laut negeri itu. Penjelasan mengenai ketiga hal tersebut panjang, tidak cukup diuraikan di sini.
Pertanyaan yang muncul antara lain seberapa mampu mereka beroperasi secara gabungan dengan PLA Air Force? Seberapa mampu pula kemampuan logistik PLA Navy untuk melaksanakan pengendalian laut yang jauh dari daratan Cina? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan teknis lainnya.
Namun pertanyaan puncaknya adalah bagaimana komando dan pengendalian bagi kapal perang yang beroperasi jauh dari daratan Cina di masa krisis dan perang? Pertanyaan ini kembali lagi pada struktur pengambilan keputusan nasional di Cina, termasuk dalam organisasi PLA. Seperti diketahui, dalam pengambilan keputusan di tiap kapal perang Cina ada dualisme antara komandan kapal perang dengan komisaris politik. Belum tentu keputusan seorang komandan disetujui oleh komisaris politik, sementara komisaris politik mempunyai jalur sendiri untuk menghubungi komisasaris politik Angkatan Laut di Armada Cina maupun Markas Besar PLA Navy.
Artinya posisi komandan kapal perang di Cina berbeda dengan di negara-negara lain, termasuk Indonesia yang mempunyai tanggung jawab penuh sekaligus kendali terhadap apa yang terjadi dan apa yang akan dilakukan oleh kapal yang dipimpinnya. Isu komando dan pengendalian kapal perang Cina ini sama persis dengan era Uni Soviet dulu, yang mana banyak ahli strategi dan sekaligus pengambil keputusan di Angkatan Laut negara-negara Barat dan negara-negara lain mempertanyakan bagaimana komando dan kendali di kapal perang Negeri Beruang Merah andai pecah perang.
Memang betul saat ini PLA Navy menyebarkan kekuatannya ke perairan Somalia. Tetapi harus diingat bahwa penyebaran itu dalam situasi damai, sehingga komando dan kendali dengan Markas Besar PLA Navy tidak menjadi kendala. Cerita akan menjadi lain ketika muncul konflik dan atau perang, di mana pasti akan ada serangan terhadap perangkat komando dan kendali Cina untuk melumpuhkan hubungan antara Markas Besar dengan unsur-unsur kapal perang di laut.
Dari situ jelas bahwa kemampuan pengendalian laut Cina tidak otomatis meningkat dengan peningkatan pembangunan kekuatan laut negeri itu. Mempunyai kapal perang banyak tidak otomatis berbanding lurus dengan kemampuan pengendalian laut. Kecuali bagi negeri kecil seperti Singapura yang perairannya sempit dan pengendalian SLOC-nya bertumpu pada U.S. Navy.
Pembangunan kekuatan laut Cina sebenarnya tidak perlu disikapi secara berlebihan bila dipandang dari perspektif ke-Angkatan Laut-an secara jernih. Memang perspektif ini berbeda dari perspektif kepentingan nasional Amerika Serikat selama ini yang mendominasi sebagian pemikir strategis di kawasan Asia Pasifik yang memandang pembangunan kekuatan laut Negeri Tirai Bambu sebagai potensi instabilitas di masa depan. Perspektif Amerika Serikat wajar-wajar saja, sebab berangkat dari kacamata kepentingan nasionalnya. Namun sebaiknya kita yang bukan warga Amerika Serikat dan sekaligus bukan pula kaki tangan alias antek-antek Uwak Sam, mencari sudut pandang lain sebagai pembanding.
Memang betul fakta-fakta yang dijelaskan dalam Annual Report to Congress: Military Power of the People’s Republic of China 2009 terbitan Pentagon menyangkut kapal perang apa saja yang telah dimiliki dan akan dipunyai oleh PLA Navy. Termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan kapal selam. Semua itu fakta yang siapa pun tidak bisa membantahnya.
Namun pembangunan kekuatan itu tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan Angkatan Laut Cina dalam pengendalian laut. Penting untuk kita insyafi bahwa kuantitas dan kualitas kapal perang dan pesawat udara Angkatan Laut tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kemampuan pengendalian laut. Dalam konteks ini, kita harus mencermati tiga aspek dalam major naval operations yaitu space, time and force.
Dari aspek force memang suatu fakta bahwa kekuatan laut Cina secara kuantitas meningkat. Kualitas sistem senjatanya juga ditengarai meningkat, apalagi mereka terus meningkatkan kemampuan C4I yang didukung oleh satelit militer. Tetapi ketika kita masuk ke dalam aspek space and time, masalahnya menjadi lain.
Semua ahli strategi maritim pasca Alfred Thayer Mahan sepakat bahwa pengendalian laut dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidak ada lagi yang disebut command of the sea seperti yang ditulis Mahan dalam The Influence of Sea Power Upon History: 1660-1783. Mengapa tidak ada? Jawabannya sederhana, teknologi Angkatan Laut masa kini bukan lagi mengandalkan tenaga layar untuk mendorong kapal perang, teknologi senjata makin maju dan sekarang teknologi sensing bagi kepentingan Angkatan Laut sudah sangat maju yang belum ada sama sekali di era pertempuran-pertempuran laut di Eropa yang diuraikan oleh Mahan dalam bukunya.
Space yang harus dikendalikan oleh PLA Navy terbentang dari Teluk Persia hingga Laut Cina Timur. Realitas saat ini menunjukkan bahwa jangankan space seluas itu, space dari Laut Cina Timur ke Selat Malaka saja mereka belum mampu kendalikan. Meskipun para ahli strategi di Pentagon sepakat bahwa pembangunan kekuatan laut Cina beyond Taiwan, tetapi dalam prakteknya paling mungkin mereka cuma bisa mengendalikan space di Selat Taiwan. Itu pun kategorinya “masih mungkin”, sebab mereka harus to challenge U.S. Navy di sana bila muncul konflik di selat tersebut.
Kenapa space untuk pengendalian laut Cina masih terbatas? Jawaban atas pertanyaan itu kembali pada doktrin, strategi, taktik Angkatan Laut negeri itu. Penjelasan mengenai ketiga hal tersebut panjang, tidak cukup diuraikan di sini.
Pertanyaan yang muncul antara lain seberapa mampu mereka beroperasi secara gabungan dengan PLA Air Force? Seberapa mampu pula kemampuan logistik PLA Navy untuk melaksanakan pengendalian laut yang jauh dari daratan Cina? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan teknis lainnya.
Namun pertanyaan puncaknya adalah bagaimana komando dan pengendalian bagi kapal perang yang beroperasi jauh dari daratan Cina di masa krisis dan perang? Pertanyaan ini kembali lagi pada struktur pengambilan keputusan nasional di Cina, termasuk dalam organisasi PLA. Seperti diketahui, dalam pengambilan keputusan di tiap kapal perang Cina ada dualisme antara komandan kapal perang dengan komisaris politik. Belum tentu keputusan seorang komandan disetujui oleh komisaris politik, sementara komisaris politik mempunyai jalur sendiri untuk menghubungi komisasaris politik Angkatan Laut di Armada Cina maupun Markas Besar PLA Navy.
Artinya posisi komandan kapal perang di Cina berbeda dengan di negara-negara lain, termasuk Indonesia yang mempunyai tanggung jawab penuh sekaligus kendali terhadap apa yang terjadi dan apa yang akan dilakukan oleh kapal yang dipimpinnya. Isu komando dan pengendalian kapal perang Cina ini sama persis dengan era Uni Soviet dulu, yang mana banyak ahli strategi dan sekaligus pengambil keputusan di Angkatan Laut negara-negara Barat dan negara-negara lain mempertanyakan bagaimana komando dan kendali di kapal perang Negeri Beruang Merah andai pecah perang.
Memang betul saat ini PLA Navy menyebarkan kekuatannya ke perairan Somalia. Tetapi harus diingat bahwa penyebaran itu dalam situasi damai, sehingga komando dan kendali dengan Markas Besar PLA Navy tidak menjadi kendala. Cerita akan menjadi lain ketika muncul konflik dan atau perang, di mana pasti akan ada serangan terhadap perangkat komando dan kendali Cina untuk melumpuhkan hubungan antara Markas Besar dengan unsur-unsur kapal perang di laut.
Dari situ jelas bahwa kemampuan pengendalian laut Cina tidak otomatis meningkat dengan peningkatan pembangunan kekuatan laut negeri itu. Mempunyai kapal perang banyak tidak otomatis berbanding lurus dengan kemampuan pengendalian laut. Kecuali bagi negeri kecil seperti Singapura yang perairannya sempit dan pengendalian SLOC-nya bertumpu pada U.S. Navy.
1 komentar:
Bagus sekali masbro, membuka wawasan dan mengajarkan bahwa "memiliki" juga harus bisa "menguasai".
Posting Komentar