All hands,
Pengendalian laut alias sea control dibatasi oleh ruang, waktu dan kekuatan yang terlibat di dalamnya. Dalam pemahaman masa kini, pengendalian laut mencakup pengendalian terhadap permukaan, bawah permukaan dan ruang udara atau kombinasi apapun antara ketiganya. Saat ini tidak bisa lagi pengendalian laut secara mutlak alias command of the sea.
Pada masa Laksamana Muda A.T Mahan soal command of the sea yang dilatarbelakangi oleh masa kapal perang bertenaga layar sudah lewat. Salah satu pengajar awal di U.S. Naval War College ini berpendapat bahwa “control of the sea by maritime commerce and naval supremacy means predominant influence in the world…(and) is the chief among the merely material elements in the power of prosperity of nations”. Pendapat demikian terbukti kebenarannya pada masa sebelum dan saat Mahan menuliskan karya-karyanya, namun kebenarannya menjadi diragukan ketika teknologi sistem senjata Angkatan Laut mengalami kemajuan pesat sejak akhir abad ke-19.
Setelah era Mahan berlalu, para ahli strategi maritim lebih suka menggunakan istilah sea control daripada command of the sea maupun control of the sea. Terminologi yang terakhir menurut beberapa ahli strategi maritim pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan command of the sea. Di antara yang berpikir demikian adalah Laksamana Elmo Zumwalt, CNO of U.S. Navy periode 1970-1974.
Dari era sebelum Mahan hingga era CNO Laksamana Frank Kelso II, masalah pengendalian laut berkutat pada wilayah samudara atau laut terbuka. Ketika Perang Dingin surut di era Laksamana Kelso II, di jajaran U.S. Navy mulailah difokuskan pemikiran pada strategi from the sea, bukan lagi on the sea. Itulah awal dari konsep yang kini dikenal sebagai littoral warfare.
Setelah dikaji lebih dalam, terdapat perbedaan antara pengendalian laut di tengah samudera atau laut terbuka dengan pengendalian laut di littoral. Mengapa terjadi perbedaan? Sebab di wilayah littoral ancaman terhadap pihak yang ingin melaksanakan pengendalian laut lebih banyak dan luas spektrumnya daripada di tengah samudera.
Di tengah samudera, ancaman lebih banyak muncul dari rudal jelajah, kapal permukaan dan kapal selam lawan. Adapun untuk pesawat udara sangat tergantung apakah lawan yang dihadapi mempunyai kapal induk pengangkut pesawat ataupun tidak. Adapun pesawat yang berpangkalan di darat mempunyai keterbatasan waktu untuk lama bermanuver di samudera luas, terkait dengan keterbatasan bahan bakar.
Namun tidak demikian dengan pengendalian laut di littoral. Salah satu ancaman terbesar dari pengendalian laut di wilayah ini muncul dari pesawat udara yang berpangkalan di darat. Oleh sebab itu, kemampuan suatu Angkatan Laut melaksanakan pengendalian laut di sini sangat tergantung dari kemampuan peperangan anti udara-nya untuk menetralisasi ancaman pesawat udara lawan.
Apabila salah satu pihak yang bertikai mempunyai keunggulan udara, maka pihak lain akan cukup kesulitan untuk melaksanakan pengendalian laut secara efektif. Akan tetapi tidak berarti bahwa keunggulan udara dapat menggantikan pengendalian terhadap permukaan dan bawah permukaan laut. Terkait dengan hal tersebut, dalam operasi Angkatan Laut masa kini peran kekuatan udara untuk merebut keunggulan udara tidak dapat diabaikan. Kekuatan udara yang dimaksud tidak identik dengan AU, sebab bisa saja dilaksanakan oleh kekuatan udara AL apabila sayap udara itu dilengkapi dengan pesawat tempur.
Indonesia sebagai negara kepulauan dituntut untuk mengembangkan strategi maritim yang dapat mengamankan kepentingan nasionalnya. Menurut hemat saya, salah satu aspek yang harus diperhatikan ketika menyusun strategi maritim negeri ini adalah aspek peperangan littoral. AL negeri ini dituntut untuk mampu melaksanakan pengendalian laut di littoral, bukan saja di tengah laut lepas.
Guna mencapai ke sana, jalan sepertinya masih panjang. Sebab AL kita bagaikan terasing di negeri sendiri. Sepertinya yang memikirkan masa depan AL kita hanya kita sendiri, sementara komponen bangsa Indonesia seakan tidak merasa memiliki AL. Padahal kehidupan AL kita dibiayai oleh uang mereka.
Pengendalian laut alias sea control dibatasi oleh ruang, waktu dan kekuatan yang terlibat di dalamnya. Dalam pemahaman masa kini, pengendalian laut mencakup pengendalian terhadap permukaan, bawah permukaan dan ruang udara atau kombinasi apapun antara ketiganya. Saat ini tidak bisa lagi pengendalian laut secara mutlak alias command of the sea.
Pada masa Laksamana Muda A.T Mahan soal command of the sea yang dilatarbelakangi oleh masa kapal perang bertenaga layar sudah lewat. Salah satu pengajar awal di U.S. Naval War College ini berpendapat bahwa “control of the sea by maritime commerce and naval supremacy means predominant influence in the world…(and) is the chief among the merely material elements in the power of prosperity of nations”. Pendapat demikian terbukti kebenarannya pada masa sebelum dan saat Mahan menuliskan karya-karyanya, namun kebenarannya menjadi diragukan ketika teknologi sistem senjata Angkatan Laut mengalami kemajuan pesat sejak akhir abad ke-19.
Setelah era Mahan berlalu, para ahli strategi maritim lebih suka menggunakan istilah sea control daripada command of the sea maupun control of the sea. Terminologi yang terakhir menurut beberapa ahli strategi maritim pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan command of the sea. Di antara yang berpikir demikian adalah Laksamana Elmo Zumwalt, CNO of U.S. Navy periode 1970-1974.
Dari era sebelum Mahan hingga era CNO Laksamana Frank Kelso II, masalah pengendalian laut berkutat pada wilayah samudara atau laut terbuka. Ketika Perang Dingin surut di era Laksamana Kelso II, di jajaran U.S. Navy mulailah difokuskan pemikiran pada strategi from the sea, bukan lagi on the sea. Itulah awal dari konsep yang kini dikenal sebagai littoral warfare.
Setelah dikaji lebih dalam, terdapat perbedaan antara pengendalian laut di tengah samudera atau laut terbuka dengan pengendalian laut di littoral. Mengapa terjadi perbedaan? Sebab di wilayah littoral ancaman terhadap pihak yang ingin melaksanakan pengendalian laut lebih banyak dan luas spektrumnya daripada di tengah samudera.
Di tengah samudera, ancaman lebih banyak muncul dari rudal jelajah, kapal permukaan dan kapal selam lawan. Adapun untuk pesawat udara sangat tergantung apakah lawan yang dihadapi mempunyai kapal induk pengangkut pesawat ataupun tidak. Adapun pesawat yang berpangkalan di darat mempunyai keterbatasan waktu untuk lama bermanuver di samudera luas, terkait dengan keterbatasan bahan bakar.
Namun tidak demikian dengan pengendalian laut di littoral. Salah satu ancaman terbesar dari pengendalian laut di wilayah ini muncul dari pesawat udara yang berpangkalan di darat. Oleh sebab itu, kemampuan suatu Angkatan Laut melaksanakan pengendalian laut di sini sangat tergantung dari kemampuan peperangan anti udara-nya untuk menetralisasi ancaman pesawat udara lawan.
Apabila salah satu pihak yang bertikai mempunyai keunggulan udara, maka pihak lain akan cukup kesulitan untuk melaksanakan pengendalian laut secara efektif. Akan tetapi tidak berarti bahwa keunggulan udara dapat menggantikan pengendalian terhadap permukaan dan bawah permukaan laut. Terkait dengan hal tersebut, dalam operasi Angkatan Laut masa kini peran kekuatan udara untuk merebut keunggulan udara tidak dapat diabaikan. Kekuatan udara yang dimaksud tidak identik dengan AU, sebab bisa saja dilaksanakan oleh kekuatan udara AL apabila sayap udara itu dilengkapi dengan pesawat tempur.
Indonesia sebagai negara kepulauan dituntut untuk mengembangkan strategi maritim yang dapat mengamankan kepentingan nasionalnya. Menurut hemat saya, salah satu aspek yang harus diperhatikan ketika menyusun strategi maritim negeri ini adalah aspek peperangan littoral. AL negeri ini dituntut untuk mampu melaksanakan pengendalian laut di littoral, bukan saja di tengah laut lepas.
Guna mencapai ke sana, jalan sepertinya masih panjang. Sebab AL kita bagaikan terasing di negeri sendiri. Sepertinya yang memikirkan masa depan AL kita hanya kita sendiri, sementara komponen bangsa Indonesia seakan tidak merasa memiliki AL. Padahal kehidupan AL kita dibiayai oleh uang mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar