All hands,
Banyak pihak di kawasan Asia Pasifik yang memberikan perhatian khusus kepada konsepsi String of Pearls yang digagas oleh Cina. String of Pearls merupakan bagian dari kepentingan nasional Cina untuk mengamankan SLOC-nya yang terbentang dari Teluk Persia sampai Alut Cina Selatan. Sejauh ini, terdapat enam pelabuhan yang oleh Amerika Serikat diidentifikasi sebagai String of Pearls Negeri Tirai Bambu, yaitu di Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Kamboja, Vietnam dan di Cina sendiri (Pulau Hainan).
Keterputusan String of Pearls terjadi antara Bangladesh-Kamboja/Vietnam, tepatnya di Laut Andaman-Selat Malaka dan Laut Cina Selatan sebelah utara Laut Natuna. Di sekitar perairan-perairan itu, tidak ada pelabuhan yang diidentifikasi sebagai bagian dari String of Pearls.
Isu String of Pearls Cina sebenarnya tidak usah disikapi secara berlebihan, sebab itu cuma macan kertas. Dari sudut pandang strategi maritim, Cina belum mampu melaksanakan pengendalian laut dari kawasan Teluk Persia sampai ke wilayahnya. Gelar kekuatan Cina melalui penyebaran kapal perang ke perairan Somalia dan beberapa negara lain di kawasan Asia Pasifik belum dapat diterjemahkan bahwa kekuatan lautnya telah mampu melaksanakan pengendalian laut di sepanjang SLOC-nya.
Sebaliknya, gelar kekuatan itu hanya sebatas menguji bagaimana melaksanakan operasi Angkatan Laut jarak jauh pada aspek operasional dan pamer kekuatan pada aspek politik. PLA Navy belum mempunyai ilmu tentang operasi Angkatan Laut jarak jauh dan apa yang dilaksanakan sekarang lebih pada tahap trial and error. Suatu Angkatan Laut dapat mempunyai bekal ilmu tentang operasi jarak jauh apabila pengalaman operasionalnya sudah puluhan atau ratusan tahun atau ilmu itu “dihibahkan” dari sang pemilik kepada negara penerima yang dikehendaki.
Negara pemilik ilmu itu adalah Amerika Serikat, Inggris dan Prancis. Sejauh ini, yang paling tinggi tingkat ilmunya masih Amerika Serikat. Tak heran bila sejak beberapa tahun lalu U.S. Navy mengadopsi konsep “place, not base”.
Kalau untuk penguasaan ilmu operasi Angkatan Laut jarak jauh saja diragukan, bagaimana pula dengan kemampuan PLA Navy melaksanakan pengendalian laut. Boleh saja negeri itu berambisi mempunyai kapal induk, tapi memiliki kapal induk tidak identik dengan mampu melaksanakan pengendalian laut. Kemampuan pengendalian laut Cina baru sebatas wilayah negaranya.
Selanjutnya aspek politik. Harap diingat bahwa karakteristik PLA Navy tidak jauh berbeda dengan Angkatan Laut Soviet di masa lalu. Di tiap kapal perang Cina, ada dualisme komando, yakni antara komandan dengan komisaris politik.
Sampai saat ini, masih diragukan adanya otoritas penuh dari markas militer Cina di daratan kepada para komandan kapal perangnya dalam mengambil setiap keputusan yang diperlukan saat beroperasi. Sebaliknya, setiap komandan wajib berkonsultasi dengan komisaris politik di kapal perangnya dan juga dengan markas militer yang nun jauh berada di daratan. Di markas militer pun ada komisaris politik.
Artinya, ada rantai komando yang sangat panjang dalam pengendalian operasi kapal perang Cina. Komandan kapal perang bukanlah seorang perwira Angkatan Laut yang padanya dilimpahkan sejumlah kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri menyangkut kapal perangnya. Segala sesuatunya harus dikonsultasi ke markas militer, termasuk kepada komisaris politik.
Tentu bisa dibayangkan apa yang terjadi bila saluran komunikasi antara markas militer di darat dengan kapal perang terputus, betapa bingungnya seorang komandan kapal perang Cina menentukan sikapnya. Belum lagi dengan kehadiran komisaris politik yang merasa berhak pula menentukan pengambilan keputusan di kapal tersebut.
Bertolak dari situ, dapat disimpulkan bahwa eksistensi String of Pearls baru sebatas di atas kertas. Keberadaannya tidak ditunjang oleh sistem di dalam PLA Navy sendiri, baik dari aspek politik maupun operasional Angkatan Laut. Bahkan sampai 30 tahun mendatang, apabila Cina masih menganut sistem politik seperti sekarang, sangat diragukan cita-citanya mengendalikan SLOC-nya akan tercapai.
Banyak pihak di kawasan Asia Pasifik yang memberikan perhatian khusus kepada konsepsi String of Pearls yang digagas oleh Cina. String of Pearls merupakan bagian dari kepentingan nasional Cina untuk mengamankan SLOC-nya yang terbentang dari Teluk Persia sampai Alut Cina Selatan. Sejauh ini, terdapat enam pelabuhan yang oleh Amerika Serikat diidentifikasi sebagai String of Pearls Negeri Tirai Bambu, yaitu di Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Kamboja, Vietnam dan di Cina sendiri (Pulau Hainan).
Keterputusan String of Pearls terjadi antara Bangladesh-Kamboja/Vietnam, tepatnya di Laut Andaman-Selat Malaka dan Laut Cina Selatan sebelah utara Laut Natuna. Di sekitar perairan-perairan itu, tidak ada pelabuhan yang diidentifikasi sebagai bagian dari String of Pearls.
Isu String of Pearls Cina sebenarnya tidak usah disikapi secara berlebihan, sebab itu cuma macan kertas. Dari sudut pandang strategi maritim, Cina belum mampu melaksanakan pengendalian laut dari kawasan Teluk Persia sampai ke wilayahnya. Gelar kekuatan Cina melalui penyebaran kapal perang ke perairan Somalia dan beberapa negara lain di kawasan Asia Pasifik belum dapat diterjemahkan bahwa kekuatan lautnya telah mampu melaksanakan pengendalian laut di sepanjang SLOC-nya.
Sebaliknya, gelar kekuatan itu hanya sebatas menguji bagaimana melaksanakan operasi Angkatan Laut jarak jauh pada aspek operasional dan pamer kekuatan pada aspek politik. PLA Navy belum mempunyai ilmu tentang operasi Angkatan Laut jarak jauh dan apa yang dilaksanakan sekarang lebih pada tahap trial and error. Suatu Angkatan Laut dapat mempunyai bekal ilmu tentang operasi jarak jauh apabila pengalaman operasionalnya sudah puluhan atau ratusan tahun atau ilmu itu “dihibahkan” dari sang pemilik kepada negara penerima yang dikehendaki.
Negara pemilik ilmu itu adalah Amerika Serikat, Inggris dan Prancis. Sejauh ini, yang paling tinggi tingkat ilmunya masih Amerika Serikat. Tak heran bila sejak beberapa tahun lalu U.S. Navy mengadopsi konsep “place, not base”.
Kalau untuk penguasaan ilmu operasi Angkatan Laut jarak jauh saja diragukan, bagaimana pula dengan kemampuan PLA Navy melaksanakan pengendalian laut. Boleh saja negeri itu berambisi mempunyai kapal induk, tapi memiliki kapal induk tidak identik dengan mampu melaksanakan pengendalian laut. Kemampuan pengendalian laut Cina baru sebatas wilayah negaranya.
Selanjutnya aspek politik. Harap diingat bahwa karakteristik PLA Navy tidak jauh berbeda dengan Angkatan Laut Soviet di masa lalu. Di tiap kapal perang Cina, ada dualisme komando, yakni antara komandan dengan komisaris politik.
Sampai saat ini, masih diragukan adanya otoritas penuh dari markas militer Cina di daratan kepada para komandan kapal perangnya dalam mengambil setiap keputusan yang diperlukan saat beroperasi. Sebaliknya, setiap komandan wajib berkonsultasi dengan komisaris politik di kapal perangnya dan juga dengan markas militer yang nun jauh berada di daratan. Di markas militer pun ada komisaris politik.
Artinya, ada rantai komando yang sangat panjang dalam pengendalian operasi kapal perang Cina. Komandan kapal perang bukanlah seorang perwira Angkatan Laut yang padanya dilimpahkan sejumlah kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri menyangkut kapal perangnya. Segala sesuatunya harus dikonsultasi ke markas militer, termasuk kepada komisaris politik.
Tentu bisa dibayangkan apa yang terjadi bila saluran komunikasi antara markas militer di darat dengan kapal perang terputus, betapa bingungnya seorang komandan kapal perang Cina menentukan sikapnya. Belum lagi dengan kehadiran komisaris politik yang merasa berhak pula menentukan pengambilan keputusan di kapal tersebut.
Bertolak dari situ, dapat disimpulkan bahwa eksistensi String of Pearls baru sebatas di atas kertas. Keberadaannya tidak ditunjang oleh sistem di dalam PLA Navy sendiri, baik dari aspek politik maupun operasional Angkatan Laut. Bahkan sampai 30 tahun mendatang, apabila Cina masih menganut sistem politik seperti sekarang, sangat diragukan cita-citanya mengendalikan SLOC-nya akan tercapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar