All hands,
Minimum essential force adalah produk politik pemerintah yang wajib diterjemahkan oleh militer negeri ini. Hal ini hendaknya kita pahami bersama. Karena merupakan produk politik, maka akan sangat mungkin akan ditemukan beragam kekurangan apabila ditinjau dari perspektif militer secara profesional. Artinya assessment profesional militer belum tentu berbanding lurus dengan kehendak politik pemerintah.
Suka atau tidak suka, strategi pertahanan negeri ini masih menganut Defense in Depth. Dalam strategi itu, sudah jelas kekuatan mana yang berada digaris depan dan kekuatan mana yang harus rela posisinya di belakang. Bagi AL kita, sebagian dari kemampuan yang dituntut dalam strategi itu adalah kemampuan beroperasi di laut teritorial hingga ZEE. Artinya dituntut kehadiran kapal perang dan pesawat udara yang fungsi asasinya mampu untuk beroperasi di wilayah itu.
Kebijakan minimum essential force yang merupakan produk politik tersebut didasari oleh keterbatasan anggaran. Oleh karena itu, suka atau tidak suka kekuatan militer negeri ini dalam minimum essential force harus mengandalkan pada sebagian besar sistem senjata yang teknologinya sudah satu atau dua generasi dari teknologi termutakhir. Dari situ akan terlihat benang merah antara keputusan politik di satu sisi dengan kondisi nyata kekuatan dan kemampuan yang dimiliki oleh militer Indonesia, termasuk AL kita di sisi lain.
Benang merahnya yaitu produk politik tidak sinkron dengan strategi pertahanan. Produk politik menekankan pada keterbatasan anggaran, sehingga harus “puas” dengan kondisi sistem senjata saat ini. Sementara strategi pertahanan menuntut sistem senjata yang dapat melaksanakan fungsi asasinya. Fakta menunjukkan bahwa sistem senjata yang ada saat ini sebagian sudah tidak dapat lagi melaksanakan fungsi asasinya secara maksimal.
Meskipun tahu akan hal tersebut, namun keputusan politik tetap menekankan pada keterbatasan anggaran. Artinya pengadaan sistem senjata baru dibatasi sebisa mungkin tanpa batasan waktu yang jelas. Mungkin saja batasan waktunya adalah sampai adanya pemerintahan baru setelah pemilu 2014.
Dari sini tergambar jelas bahwa dalam perumusan kebijakan minimum essential force nampaknya kurang atau malah sama sekali tidak memperhatikan strategi pertahanan yang dianut oleh negeri ini. Sangat keliru apabila strategi pertahanan Indonesia mengandalkan pada nirmiliter, sehingga kekuatan militer Indonesia dirancang cukup untuk minimum essential force yang mayoritas bertumpu pada sistem senjata lama. Harap diingat bahwa untuk memprediksikan lingkungan keamanan lima tahun ke depan bukan suatu hal yang mudah, sebab kecenderungan yang ada saat ini tiba-tiba bisa berbalik 180 derajat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sejarah telah berulang kali mengajarkan hal tersebut!!!
Minimum essential force adalah produk politik pemerintah yang wajib diterjemahkan oleh militer negeri ini. Hal ini hendaknya kita pahami bersama. Karena merupakan produk politik, maka akan sangat mungkin akan ditemukan beragam kekurangan apabila ditinjau dari perspektif militer secara profesional. Artinya assessment profesional militer belum tentu berbanding lurus dengan kehendak politik pemerintah.
Suka atau tidak suka, strategi pertahanan negeri ini masih menganut Defense in Depth. Dalam strategi itu, sudah jelas kekuatan mana yang berada digaris depan dan kekuatan mana yang harus rela posisinya di belakang. Bagi AL kita, sebagian dari kemampuan yang dituntut dalam strategi itu adalah kemampuan beroperasi di laut teritorial hingga ZEE. Artinya dituntut kehadiran kapal perang dan pesawat udara yang fungsi asasinya mampu untuk beroperasi di wilayah itu.
Kebijakan minimum essential force yang merupakan produk politik tersebut didasari oleh keterbatasan anggaran. Oleh karena itu, suka atau tidak suka kekuatan militer negeri ini dalam minimum essential force harus mengandalkan pada sebagian besar sistem senjata yang teknologinya sudah satu atau dua generasi dari teknologi termutakhir. Dari situ akan terlihat benang merah antara keputusan politik di satu sisi dengan kondisi nyata kekuatan dan kemampuan yang dimiliki oleh militer Indonesia, termasuk AL kita di sisi lain.
Benang merahnya yaitu produk politik tidak sinkron dengan strategi pertahanan. Produk politik menekankan pada keterbatasan anggaran, sehingga harus “puas” dengan kondisi sistem senjata saat ini. Sementara strategi pertahanan menuntut sistem senjata yang dapat melaksanakan fungsi asasinya. Fakta menunjukkan bahwa sistem senjata yang ada saat ini sebagian sudah tidak dapat lagi melaksanakan fungsi asasinya secara maksimal.
Meskipun tahu akan hal tersebut, namun keputusan politik tetap menekankan pada keterbatasan anggaran. Artinya pengadaan sistem senjata baru dibatasi sebisa mungkin tanpa batasan waktu yang jelas. Mungkin saja batasan waktunya adalah sampai adanya pemerintahan baru setelah pemilu 2014.
Dari sini tergambar jelas bahwa dalam perumusan kebijakan minimum essential force nampaknya kurang atau malah sama sekali tidak memperhatikan strategi pertahanan yang dianut oleh negeri ini. Sangat keliru apabila strategi pertahanan Indonesia mengandalkan pada nirmiliter, sehingga kekuatan militer Indonesia dirancang cukup untuk minimum essential force yang mayoritas bertumpu pada sistem senjata lama. Harap diingat bahwa untuk memprediksikan lingkungan keamanan lima tahun ke depan bukan suatu hal yang mudah, sebab kecenderungan yang ada saat ini tiba-tiba bisa berbalik 180 derajat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sejarah telah berulang kali mengajarkan hal tersebut!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar