All hands,
Peran industri maritim, khususnya industri perkapalan sangat vital dalam menunjang eksistensi suatu Angkatan Laut. Sebelum industri tersebut memenuhi kebutuhan Angkatan Laut asing akan kapal perang, harus terlebih dahulu mendukung keperluan Angkatan Lautnya sendiri dahulu. “Hukum” ini berlaku bagi semua negara, sebab mustahil Angkatan Laut suatu negara berjaya tanpa ditopang oleh industri perkapalan negeri itu.
Di Indonesia industri maritim, termasuk perkapalan sepertinya tidak dipandang oleh pemerintah sendiri. Lihat saja PT PAL yang sekarang kondisinya sudah memprihatinkan dari segi keuangan. Tanpa suntikan dana dari pemerintah, industri itu mungkin dalam beberapa waktu ke depan tidak akan mampu bertahan.
Sebenarnya kemampuan teknis perusahaan itu tidak jauh berbeda dengan industri lain di kawasan. Namun memang belum semua aspek terkait rancang bangun kapal perang mereka kuasai. Sebagai bukti adalah keterlambatan jadwal pengerjaan kapal perang jenis LPD pesanan AL kita. Hal itu antara lain konon karena bahan baku kapal itu harus didatangkan dari Negeri Ginseng dan terjadi ketidaksesuaian pendapat yang berakibat pada pasokan bahan baku.
Pada sisi lain, eksistensi industri perkapalan masih sering kurang sinergi dengan kebutuhan AL kita. Misalnya ketika kapal AL kita memerlukan perbaikan di industri perkapalan dalam negeri, perlakuan yang diterima disamakan dengan entitas swasta. Secara vulgar boleh dibilang pihak industri perkapalan takut AL kita tidak bayar fasilitas jasa mereka. Itulah kondisi yang ada, termasuk pada BUMN industri perkapalan.
Padahal kalau sama-sama milik negara, semestinya lebih mudah. Toh ini urusannya anggaran pemeliharaan AL kita yang dari APBN masuk ke kantong BUMN dan kemudian tiap tahun BUMN akan setor dividen ke pemerintah yang nantinya akan masuk ke APBN tahun berikutnya lagi. Begitulah siklus perputaran uangnya bila digambarkan secara sederhana. Kasus ini sama persis dengan masalah antara TNI vs Pertamina soal pembayaran utang BBM.
Dari situ masalah utamanya adalah pengaturan dari pemerintah. Semestinya BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mencari uang memberikan perlakuan yang berbeda kepada AL kita. Sebab AL kita juga melaksanakan tugas pemerintah dan negara, yaitu menjaga kepentingan nasional pada domain maritim.
Artinya, pemerintah sudah seharusnya mendukung penuh pengembangan industri perkapalan dalam negeri, sehingga betul-betul bisa memenuhi kebutuhan AL kita. Dan mengurangi tingkat ketergantungan AL kita yang masih tinggi terhadap teknologi dan jasa industri perkapalan asing.
Peran industri maritim, khususnya industri perkapalan sangat vital dalam menunjang eksistensi suatu Angkatan Laut. Sebelum industri tersebut memenuhi kebutuhan Angkatan Laut asing akan kapal perang, harus terlebih dahulu mendukung keperluan Angkatan Lautnya sendiri dahulu. “Hukum” ini berlaku bagi semua negara, sebab mustahil Angkatan Laut suatu negara berjaya tanpa ditopang oleh industri perkapalan negeri itu.
Di Indonesia industri maritim, termasuk perkapalan sepertinya tidak dipandang oleh pemerintah sendiri. Lihat saja PT PAL yang sekarang kondisinya sudah memprihatinkan dari segi keuangan. Tanpa suntikan dana dari pemerintah, industri itu mungkin dalam beberapa waktu ke depan tidak akan mampu bertahan.
Sebenarnya kemampuan teknis perusahaan itu tidak jauh berbeda dengan industri lain di kawasan. Namun memang belum semua aspek terkait rancang bangun kapal perang mereka kuasai. Sebagai bukti adalah keterlambatan jadwal pengerjaan kapal perang jenis LPD pesanan AL kita. Hal itu antara lain konon karena bahan baku kapal itu harus didatangkan dari Negeri Ginseng dan terjadi ketidaksesuaian pendapat yang berakibat pada pasokan bahan baku.
Pada sisi lain, eksistensi industri perkapalan masih sering kurang sinergi dengan kebutuhan AL kita. Misalnya ketika kapal AL kita memerlukan perbaikan di industri perkapalan dalam negeri, perlakuan yang diterima disamakan dengan entitas swasta. Secara vulgar boleh dibilang pihak industri perkapalan takut AL kita tidak bayar fasilitas jasa mereka. Itulah kondisi yang ada, termasuk pada BUMN industri perkapalan.
Padahal kalau sama-sama milik negara, semestinya lebih mudah. Toh ini urusannya anggaran pemeliharaan AL kita yang dari APBN masuk ke kantong BUMN dan kemudian tiap tahun BUMN akan setor dividen ke pemerintah yang nantinya akan masuk ke APBN tahun berikutnya lagi. Begitulah siklus perputaran uangnya bila digambarkan secara sederhana. Kasus ini sama persis dengan masalah antara TNI vs Pertamina soal pembayaran utang BBM.
Dari situ masalah utamanya adalah pengaturan dari pemerintah. Semestinya BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mencari uang memberikan perlakuan yang berbeda kepada AL kita. Sebab AL kita juga melaksanakan tugas pemerintah dan negara, yaitu menjaga kepentingan nasional pada domain maritim.
Artinya, pemerintah sudah seharusnya mendukung penuh pengembangan industri perkapalan dalam negeri, sehingga betul-betul bisa memenuhi kebutuhan AL kita. Dan mengurangi tingkat ketergantungan AL kita yang masih tinggi terhadap teknologi dan jasa industri perkapalan asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar