All hands,
Pemikiran-pemikiran atau pendapat yang mencoba menegasikan peran dan fungsi Angkatan Laut di negara kepulauan yang mengaku terbesar di dunia ini sudah sepantasnya di-counter. Benang merah pemikiran yang berkembang selama ini, sepanjang pengetahuan saya, adalah pembiayaan bagi Angkatan Laut khususnya modernisasi sistem senjata, cukup berat dari sisi anggaran. Dari situ kemudian lahir pemikiran-pemikiran atau pendapat yang substansinya adalah mencari sistem senjata alternatif selain Angkatan Laut agar negeri ini mempunyai daya tangkal yang lebih tinggi daripada kondisi saat ini.
Pola pikir demikian seolah-olah menempatkan pembangunan kekuatan Angkatan Laut negeri ini sebagai beban. Betul bahwa pengadaan satu korvet atau fregat saja minimal Rp. 6-10 trilyun, tergantung pada spesifikasi teknis yang melengkapi kapal perang tersebut. Tapi yang jarang dipikirkan oleh banyak pihak bahwa harga itu jauh lebih murah daripada martabat bangsa ini dilecehkan di laut. Siapapun yang berpikiran sehat pasti akan lebih memilih mengeluarkan uang Rp.6-10 trilyun daripada tidak mengeluarkan uang sama sekali tetapi martabatnya dilecehkan terus oleh pihak lain.
Pernahkah bangsa ini berpikir betapa besar jasa AL terhadap keamanan dan kesejahteraan negeri ini? Kalau AL kita tidak hadir 24 jam x 365 hari di Selat Malaka dan Laut Sulawesi (Blok Ambalat), apakah negeri ini sejak beberapa tahun lalu tidak “diobok-obok” pihak lain? Masihkah wilayah kedaulatan Indonesia akan seluas sekarang bila AL kita tidak hadir di Laut Sulawesi? Apakah keamanan maritim di negeri ini dan stabilitas keamanan maritim di kawasan bisa di-ensure tanpa peran AL kita?
Siapa yang menjaga garis perhubungan laut Indonesia dari Aceh hingga Papua kalau bukan AL kita? Kalau GPL itu tidak aman, tentu kapal niaga dan kapal penumpang yang melayari rute dalam negeri dan internasional sudah pasti akan “berteriak”. Apabila GPL itu terputus, maka keutuhan Indonesia otomatis terancam.
Begitu pula pada tingkat kawasan. Jika keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia tidak aman, kekuatan laut asing pasti sudah masuk untuk mengamankannya. Tetapi mengapa mereka tidak masuk? Jawabannya gampang, karena mereka menilai AL kita masih mampu mengamankannya, lepas dari segala kekurangan yang terjadi.
Harap diingat bahwa parameter keamanan maritim di kawasan bukan sekedar Selat Malaka, tetapi mencakup pula ALKI I, II dan III dan beberapa perairan lainnya. Parameter untuk menilai kinerja AL kita di kawasan tidak sulit, yakni apabila pihak lain tidak “berteriak”, artinya kinerja AL kita dinilai masih mampu menjamin stabilitas kawasan.
Pihak lain di kawasan jelas butuh peran AL kita, walaupun itu didorong oleh kepentingan nasionalnya masing-masing. Lepas dari masalah tersebut, selama ini ada pengakuan dari pihak lain bahwa memerlukan peran dan kerjasama dari AL kita untuk menjamin stabilitas kawasan. Kalau pihak lain saja membutuhkan peran AL kita, lalu bagaimana dari bangsa sendiri?
Sepertinya bangsa ini tidak memerlukan AL-nya sendiri. Hal itu bisa dilihat dari “penghargaan” yang didapat oleh AL kita di dalam negeri selama ini. Dalam beberapa tahun terakhir, “penghargaannya” adalah upaya-upaya menegasikan peran dan fungsi Angkatan Laut. Salah satunya soal anggaran, yang berujung pada terhambatnya program modernisasi yang sebenarnya justru sudah masuk dalam program kerja pemerintah sendiri.
Beragam alasan digunakan untuk menghambat modernisasi AL, termasuk anggaran. Sehingga seolah-olah Angkatan Laut menjadi beban bagi pertahanan negeri ini. Padahal tuntutan anggaran modernisasi Angkatan Laut berbanding lurus dengan keuntungan non material yang didapatkan negeri ini bila mempunyai Angkatan Laut yang diperhitungkan di kawasan.
Pada saat yang bersamaan, mulai dikembangkan pemikiran-pemikiran yang diarahkan untuk menggantikan peran dan fungsi Angkatan Laut. Bahkan ekstrimnya, meniadakan Angkatan Laut. Bagaimana caranya? Lewat pembentukan opini bahwa harga kapal perang mahal, sehingga lebih baik dicari alternatif lain.
Sadarkah kita bahwa opini demikian jelas-jelas untuk meniadakan Angkatan Laut secaa pelan-pelan? Sekali lagi harus kita camkan bahwa eksistensi Angkatan Laut diukur dari kehadiran kapal perang di laut, bukan kapal perang yang lego jangkar di pantai atau tambat di dermaga pangkalan. Dengan makin menurunnya kemampuan kapal perang kita karena faktor teknis yang tidak diikuti dengan realisasi program modernisasi, itu sama halnya dengan peniadaan secara pelan-pelan terhadap Angkatan Laut.
Aneh…negeri yang dua pertiga wilayahnya berupa laut zonder Angkatan Laut!!!
Pemikiran-pemikiran atau pendapat yang mencoba menegasikan peran dan fungsi Angkatan Laut di negara kepulauan yang mengaku terbesar di dunia ini sudah sepantasnya di-counter. Benang merah pemikiran yang berkembang selama ini, sepanjang pengetahuan saya, adalah pembiayaan bagi Angkatan Laut khususnya modernisasi sistem senjata, cukup berat dari sisi anggaran. Dari situ kemudian lahir pemikiran-pemikiran atau pendapat yang substansinya adalah mencari sistem senjata alternatif selain Angkatan Laut agar negeri ini mempunyai daya tangkal yang lebih tinggi daripada kondisi saat ini.
Pola pikir demikian seolah-olah menempatkan pembangunan kekuatan Angkatan Laut negeri ini sebagai beban. Betul bahwa pengadaan satu korvet atau fregat saja minimal Rp. 6-10 trilyun, tergantung pada spesifikasi teknis yang melengkapi kapal perang tersebut. Tapi yang jarang dipikirkan oleh banyak pihak bahwa harga itu jauh lebih murah daripada martabat bangsa ini dilecehkan di laut. Siapapun yang berpikiran sehat pasti akan lebih memilih mengeluarkan uang Rp.6-10 trilyun daripada tidak mengeluarkan uang sama sekali tetapi martabatnya dilecehkan terus oleh pihak lain.
Pernahkah bangsa ini berpikir betapa besar jasa AL terhadap keamanan dan kesejahteraan negeri ini? Kalau AL kita tidak hadir 24 jam x 365 hari di Selat Malaka dan Laut Sulawesi (Blok Ambalat), apakah negeri ini sejak beberapa tahun lalu tidak “diobok-obok” pihak lain? Masihkah wilayah kedaulatan Indonesia akan seluas sekarang bila AL kita tidak hadir di Laut Sulawesi? Apakah keamanan maritim di negeri ini dan stabilitas keamanan maritim di kawasan bisa di-ensure tanpa peran AL kita?
Siapa yang menjaga garis perhubungan laut Indonesia dari Aceh hingga Papua kalau bukan AL kita? Kalau GPL itu tidak aman, tentu kapal niaga dan kapal penumpang yang melayari rute dalam negeri dan internasional sudah pasti akan “berteriak”. Apabila GPL itu terputus, maka keutuhan Indonesia otomatis terancam.
Begitu pula pada tingkat kawasan. Jika keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia tidak aman, kekuatan laut asing pasti sudah masuk untuk mengamankannya. Tetapi mengapa mereka tidak masuk? Jawabannya gampang, karena mereka menilai AL kita masih mampu mengamankannya, lepas dari segala kekurangan yang terjadi.
Harap diingat bahwa parameter keamanan maritim di kawasan bukan sekedar Selat Malaka, tetapi mencakup pula ALKI I, II dan III dan beberapa perairan lainnya. Parameter untuk menilai kinerja AL kita di kawasan tidak sulit, yakni apabila pihak lain tidak “berteriak”, artinya kinerja AL kita dinilai masih mampu menjamin stabilitas kawasan.
Pihak lain di kawasan jelas butuh peran AL kita, walaupun itu didorong oleh kepentingan nasionalnya masing-masing. Lepas dari masalah tersebut, selama ini ada pengakuan dari pihak lain bahwa memerlukan peran dan kerjasama dari AL kita untuk menjamin stabilitas kawasan. Kalau pihak lain saja membutuhkan peran AL kita, lalu bagaimana dari bangsa sendiri?
Sepertinya bangsa ini tidak memerlukan AL-nya sendiri. Hal itu bisa dilihat dari “penghargaan” yang didapat oleh AL kita di dalam negeri selama ini. Dalam beberapa tahun terakhir, “penghargaannya” adalah upaya-upaya menegasikan peran dan fungsi Angkatan Laut. Salah satunya soal anggaran, yang berujung pada terhambatnya program modernisasi yang sebenarnya justru sudah masuk dalam program kerja pemerintah sendiri.
Beragam alasan digunakan untuk menghambat modernisasi AL, termasuk anggaran. Sehingga seolah-olah Angkatan Laut menjadi beban bagi pertahanan negeri ini. Padahal tuntutan anggaran modernisasi Angkatan Laut berbanding lurus dengan keuntungan non material yang didapatkan negeri ini bila mempunyai Angkatan Laut yang diperhitungkan di kawasan.
Pada saat yang bersamaan, mulai dikembangkan pemikiran-pemikiran yang diarahkan untuk menggantikan peran dan fungsi Angkatan Laut. Bahkan ekstrimnya, meniadakan Angkatan Laut. Bagaimana caranya? Lewat pembentukan opini bahwa harga kapal perang mahal, sehingga lebih baik dicari alternatif lain.
Sadarkah kita bahwa opini demikian jelas-jelas untuk meniadakan Angkatan Laut secaa pelan-pelan? Sekali lagi harus kita camkan bahwa eksistensi Angkatan Laut diukur dari kehadiran kapal perang di laut, bukan kapal perang yang lego jangkar di pantai atau tambat di dermaga pangkalan. Dengan makin menurunnya kemampuan kapal perang kita karena faktor teknis yang tidak diikuti dengan realisasi program modernisasi, itu sama halnya dengan peniadaan secara pelan-pelan terhadap Angkatan Laut.
Aneh…negeri yang dua pertiga wilayahnya berupa laut zonder Angkatan Laut!!!
2 komentar:
Menurut hemat saya, didalam badan organisasi "bapak bapak" kita yang diatas sana ada kemungkinan sudah disusupi alias dibeli oleh pihak asing yang ingin mengebiri kita dengan opsi2nya untuk mengurangi anggaran pertahanan kita dengan tujuan TNI tidak akan bisa mengembangkan atau memodernisasi armadanya dengan dalih pemangkasan anggaran demi kepentingan nasional. Kadang kita juga saling melihat terheran2 kenapa hal yang sevital itu tidak sampai masuk kedalam pikiran mereka bahwa armada pertahanan kita sangat butuh penambahan atau minimal yang sudah ada dimodernisasi kembali supaya bisa di tugaskan kembali sebagai penangkal.
bila dibenak mereka ada pemikiran bahwa perang tidak akan pernah terjadi sehingga pertahanan tidak perlu ditingkatkan itu salah besar. di negara manapun yang namanya pertahanan itu menjadi perioritas utama sejajar dengan berkembangnya perekonomian. sedangkan yang saya tahu pemerintah tidak memasukkan opsi atau bentuk konsep pertahanan 20-25 tahun kedepan yang searah dengan kemungkinan2 bentuk potensi dan ancaman yang akan terjadi pada negeri ini. Sehingga semua itu dianggap seperti angin lalu... apakah perlu dengan diadakannya perang dulu kemudian pemerintah meningkatkan pertahanannya? terlambat, dimana2 yang namanya penyerang itu sudah siap segala sesuatunya sedangkan kita yang diserang hanya bisa melihat kehancuran demi kehancuran di pihak kita karena keburukan konsep pertahanan yang kita anut adalah model konsep dadakan sehingga kesiapannya belum tentu bisa di pertanggung jawabkan.
ini hanya sebatas komentar dari hati nurani saya yang merasa beban dengan keadaan2 yang sebenarnya... harap maklum.
Doktrin pertahanan negara kita adalah pertahanan "defensif aktif", sesuai dengan tupok, salah satu tugas AL kita adalah menjaga keamanan laut sebagai kedaulatan NKRI. terus kalu tidak ada AL siapa yang akan menjaganya? apakah kita harus membebankan para nelayan kita yang bersusah payah mencari nafkah? terus strategi, konsep dan kekuatan seperti apalagi yang bisa dan mampu untuk menjaga lautan kita sebagai kedaulatan NKRI....? knapa kekuatan serta konsep & strategi yang sudah ada tidak kita kembangkan baik dibidang SDMnya dan Alusistanya...? pemikiran apakah yang sedang kita khayalkan? apakah khayalan hawa nafsu dan emosi, atau pemikiran yang berdasarkan kepada kepentingan nasional untuk kedaulatan NKRI??? marilah kita renungkan.......I will never forget that...I'm an Indonesian........Her's to You..!!!
Posting Komentar