All hands,
Kalangan pertahanan dan militer tidak mengenal frase seperti “tidak akan ada perang dalam kurun waktu tertentu”. Frase demikian hanya dikenal oleh para politisi dan diplomat yang memang profesinya “mewujudkan perdamaian”. Sangat keliru bila dalam dokumen resmi kebijakan pertahanan dinyatakan secara lantang frase para politisi dan diplomat tersebut, sebab pertahanan dan militer dirancang untuk menghadapi ketidakpastian (uncertainties) dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.
Ketidakpastian tersebut bisa berupa krisis, bahkan dapat pula berwujud perang. Segala upaya dalam pembangunan kekuatan pertahanan dan militer diarahkan untuk menghadapi ketidakpastian, yang mana ketidakpastian itu akan berimplikasi terhadap kepentingan nasional. Masalahnya adalah tidak semua pihak di Indonesia paham akan hal tersebut.
Kalau kita mau berpikir jernih, kekuatan pertahanan dan militer Indonesia tidak siap untuk menghadapi krisis dan perang. Kenapa tidak siap? Sistem senjata yang ada tingkat kesiapannya masih jauh dari kondisi ideal. Misalnya dari seratus lebih kapal perang, berapa banyak yang betul-betul siap?
Kondisi kesiapan sistem senjata sebenarnya cuma ada dua kategori, yakni siap dan tidak siap. Sesungguhnya tidak dikenal siap terbatas, sebab pada dasarnya siap terbatas sama saja dengan tidak siap. Contoh siap terbatas pada kapal perang misalnya sistem pendorong bagus, namun sewaco-nya tidak siap.
Kondisi siap atau tidak siap pada sistem senjata merupakan cermin dari kebijakan pemerintah. Kebijakan itu berwujud pada anggaran, yang apabila anggaran pemeliharaan kurang maka implikasinya wajar saja bila banyak sistem senjata yang tidak siap. Kalau sebagian besar sistem senjata tidak siap, yang mestinya ditanya lebih lanjut bukan militer, tetapi perumus anggaran pemerintah.
Jika realitasnya demikian, lalu bagaimana mengharapkan kekuatan pertahanan dan militer bisa merespon kontinjensi. Sebagai contoh, apabila ada kontinjensi di perbatasan darat Kalimantan, apakah kekuatan udara negeri ini sanggup menggeser kekuatan darat sebanyak satu Brigade sekaligus dari Pulau Jawa dalam hitungan jam?
Masalah kesiapan ini merupakan isu krusial dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Tetapi sepertinya kurang mendapat perhatian, mungkin karena belum ada krisis yang betul-betul mengancam kepentingan nasional. Kalau kondisinya terus berlanjut, lalu bagaimana kita berhadap bisa mengeksploitasi kekuatan militer dalam mengamankan kepentingan nasional?
Negeri lain menganut prinsip preventing the war is as important as winning the war. Sedangkan bagi Indonesia, jangankan memenangkan perang, mencegah perang saja tidak siap. Namun kalah pun juga tidak siap.
Kalangan pertahanan dan militer tidak mengenal frase seperti “tidak akan ada perang dalam kurun waktu tertentu”. Frase demikian hanya dikenal oleh para politisi dan diplomat yang memang profesinya “mewujudkan perdamaian”. Sangat keliru bila dalam dokumen resmi kebijakan pertahanan dinyatakan secara lantang frase para politisi dan diplomat tersebut, sebab pertahanan dan militer dirancang untuk menghadapi ketidakpastian (uncertainties) dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.
Ketidakpastian tersebut bisa berupa krisis, bahkan dapat pula berwujud perang. Segala upaya dalam pembangunan kekuatan pertahanan dan militer diarahkan untuk menghadapi ketidakpastian, yang mana ketidakpastian itu akan berimplikasi terhadap kepentingan nasional. Masalahnya adalah tidak semua pihak di Indonesia paham akan hal tersebut.
Kalau kita mau berpikir jernih, kekuatan pertahanan dan militer Indonesia tidak siap untuk menghadapi krisis dan perang. Kenapa tidak siap? Sistem senjata yang ada tingkat kesiapannya masih jauh dari kondisi ideal. Misalnya dari seratus lebih kapal perang, berapa banyak yang betul-betul siap?
Kondisi kesiapan sistem senjata sebenarnya cuma ada dua kategori, yakni siap dan tidak siap. Sesungguhnya tidak dikenal siap terbatas, sebab pada dasarnya siap terbatas sama saja dengan tidak siap. Contoh siap terbatas pada kapal perang misalnya sistem pendorong bagus, namun sewaco-nya tidak siap.
Kondisi siap atau tidak siap pada sistem senjata merupakan cermin dari kebijakan pemerintah. Kebijakan itu berwujud pada anggaran, yang apabila anggaran pemeliharaan kurang maka implikasinya wajar saja bila banyak sistem senjata yang tidak siap. Kalau sebagian besar sistem senjata tidak siap, yang mestinya ditanya lebih lanjut bukan militer, tetapi perumus anggaran pemerintah.
Jika realitasnya demikian, lalu bagaimana mengharapkan kekuatan pertahanan dan militer bisa merespon kontinjensi. Sebagai contoh, apabila ada kontinjensi di perbatasan darat Kalimantan, apakah kekuatan udara negeri ini sanggup menggeser kekuatan darat sebanyak satu Brigade sekaligus dari Pulau Jawa dalam hitungan jam?
Masalah kesiapan ini merupakan isu krusial dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Tetapi sepertinya kurang mendapat perhatian, mungkin karena belum ada krisis yang betul-betul mengancam kepentingan nasional. Kalau kondisinya terus berlanjut, lalu bagaimana kita berhadap bisa mengeksploitasi kekuatan militer dalam mengamankan kepentingan nasional?
Negeri lain menganut prinsip preventing the war is as important as winning the war. Sedangkan bagi Indonesia, jangankan memenangkan perang, mencegah perang saja tidak siap. Namun kalah pun juga tidak siap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar