All hands,
Keunggulan komparatif telah lama muncul dalam pemikiran para ahli strategi klasik seperti Sun Tzu dan Clausewitz. Diktum Clausewitz tentang keunggulan komparatif berbunyi, “(One)…question is how to influence the enemy’s expenditure of effort; in the other words, how to make the war more costly to him”. Mengacu pada diktum Jenderal asal Prusia ini, keunggulan komparatif memang bukan suatu hal yang murah. Namun harus dipahami pula bahwa tidak ada perang atau konflik yang murah, baik dari segi material maupun non material.
Negara-negara di sekitar Indonesia sebagian jalur hidupnya tergantung pada perairan Indonesia. Ketergantungan itu harus dieksploitasi oleh Indonesia apabila terjadi perang atau konflik. Apabila negeri ini mengeksploitasi itu secara politik dan militer, maka biaya yang dikeluar oleh negara yang memusuhi Indonesia akan lebih besar lagi.
Bagaimana mengeksploitasinya? Tidak lain dan tidak bukan melalui penerapan strategi maritim, baik sea control, sea denial maupun power projection. Misalnya, penutupan satu chokepoints strategis di perairan Indonesia sudah pasti akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara yang berkonflik dengan Indonesia. Kenaikan itu mau tidak mau pasti akan mempengaruhi pengeluaran dan upaya lawan.
Penting untuk dipahami bahwa biaya yang dimaksud oleh Clausewitz bukan sekedar dana, tetapi juga aspek-aspek non material. Misalnya kelancaran pasokan barang konsumsi rumah tangga dan industri, kelancaran arus lalu lintas laut dan lain sebagainya. Karena semua itu terkait dengan ekonomi nasional, dipastikan akan berdampak pula pada biaya keseluruhan yang harus ditanggung oleh pihak lawan yang berkonflik dengan Indonesia.
Di situlah imperatifnya Indonesia menjadikan Angkatan Laut sebagai keunggulan komparatif. Memang membangun Angkatan Laut tidak pernah murah, tetapi hasil investasi pada Angkatan Laut juga tidak pernah murah. Mampu mempengaruhi cara bertindak lawan dan meraih kemenangan adalah keluaran dari investasi itu. Sehingga pada akhirnya kepentingan nasional tetap tidak terancam.
Keunggulan komparatif telah lama muncul dalam pemikiran para ahli strategi klasik seperti Sun Tzu dan Clausewitz. Diktum Clausewitz tentang keunggulan komparatif berbunyi, “(One)…question is how to influence the enemy’s expenditure of effort; in the other words, how to make the war more costly to him”. Mengacu pada diktum Jenderal asal Prusia ini, keunggulan komparatif memang bukan suatu hal yang murah. Namun harus dipahami pula bahwa tidak ada perang atau konflik yang murah, baik dari segi material maupun non material.
Negara-negara di sekitar Indonesia sebagian jalur hidupnya tergantung pada perairan Indonesia. Ketergantungan itu harus dieksploitasi oleh Indonesia apabila terjadi perang atau konflik. Apabila negeri ini mengeksploitasi itu secara politik dan militer, maka biaya yang dikeluar oleh negara yang memusuhi Indonesia akan lebih besar lagi.
Bagaimana mengeksploitasinya? Tidak lain dan tidak bukan melalui penerapan strategi maritim, baik sea control, sea denial maupun power projection. Misalnya, penutupan satu chokepoints strategis di perairan Indonesia sudah pasti akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara yang berkonflik dengan Indonesia. Kenaikan itu mau tidak mau pasti akan mempengaruhi pengeluaran dan upaya lawan.
Penting untuk dipahami bahwa biaya yang dimaksud oleh Clausewitz bukan sekedar dana, tetapi juga aspek-aspek non material. Misalnya kelancaran pasokan barang konsumsi rumah tangga dan industri, kelancaran arus lalu lintas laut dan lain sebagainya. Karena semua itu terkait dengan ekonomi nasional, dipastikan akan berdampak pula pada biaya keseluruhan yang harus ditanggung oleh pihak lawan yang berkonflik dengan Indonesia.
Di situlah imperatifnya Indonesia menjadikan Angkatan Laut sebagai keunggulan komparatif. Memang membangun Angkatan Laut tidak pernah murah, tetapi hasil investasi pada Angkatan Laut juga tidak pernah murah. Mampu mempengaruhi cara bertindak lawan dan meraih kemenangan adalah keluaran dari investasi itu. Sehingga pada akhirnya kepentingan nasional tetap tidak terancam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar