All hands,
Tanpa disadari ---apalagi diketahui--- oleh banyak pihak, konsep pertahanan maritim di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh Jepang. Bagi kalangan yang tidak paham, tentu berpikir bagaimana mungkin Jepang yang tidak memberikan bantuan militer kepada Indonesia mampu mempengaruhi strategi pertahanan maritim Indonesia. Pengaruh Jepang yang dimaksud adalah pelajaran sejarah yang diberikan oleh Negeri Matahari Terbit itu ketika menyerbu Hindia Belanda pada 1942 melalui pola kampanye yang dikenal sebagai Gurita atau Octopus.
Konsep pertahanan maritim Indonesia yang dianut oleh Angkatan Laut menjadikan kampanye itu sebagai salah satu pertimbangan penting. Maka bukan suatu hal yang aneh bila selanjutnya lahir konsep pertahanan di tiga corong, yaitu barat, tengah dan timur. Isu corong tersebut berangkat dari preseden sejarah, yang mana Jepang menyerbu Hindia Belanda melalui corong tengah yaitu Laut Sulawesi-Selat Makassar, sebelumnya akhirnya sampai di Laut Jawa.
Dalam era kekinian, patut dipertimbangkan kembali apakah pemahaman terhadap corong itu masih relevan atau tidak? Eksistensi corong itu tetap bernilai strategi bagi Indonesia, namun masalahnya adalah apakah di corong-corong itu akan lewat konvoi Angkatan Laut asing yang menyerbu Indonesia dengan formasi klasik yaitu ada badan utama, ada gugus aju, ada tabir dan lain sebagainya. Nampaknya sulit membayangkan pihak Angkatan Laut lain akan menginvasi negeri ini lewat tiga corong itu dengan menggunakan formasi klasik yang dahulu dipraktekkan oleh Imperial Japanese Navy.
Yang perlu untuk dipertimbangkan saat ini adalah kemungkinan surgical strike oleh satu atau lebih kapal Angkatan Laut asing terhadap sasaran di Indonesia. Serangan itu bisa saja lewat di corong-corong itu, akan tetapi lebih besar kemungkinannya tidak melalui corong-corong tersebut.
Dengan kata lain, eksistensi corong barat-tengah-timur harus tetap dipandang strategis, namun paradigma dalam memandang serangan yang akan lewat corong itu sebaiknya disesuaikan dengan kondisi kekinian. Terlebih lagi dengan kemajuan teknologi Angkatan Laut saat ini, serangan semacam surgical strike terhadap Indonesia bisa datang dari arah mana saja alias 360 derajat. Bukankah negeri ini terbuka 360 derajat dari arah lautan?
Tanpa disadari ---apalagi diketahui--- oleh banyak pihak, konsep pertahanan maritim di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh Jepang. Bagi kalangan yang tidak paham, tentu berpikir bagaimana mungkin Jepang yang tidak memberikan bantuan militer kepada Indonesia mampu mempengaruhi strategi pertahanan maritim Indonesia. Pengaruh Jepang yang dimaksud adalah pelajaran sejarah yang diberikan oleh Negeri Matahari Terbit itu ketika menyerbu Hindia Belanda pada 1942 melalui pola kampanye yang dikenal sebagai Gurita atau Octopus.
Konsep pertahanan maritim Indonesia yang dianut oleh Angkatan Laut menjadikan kampanye itu sebagai salah satu pertimbangan penting. Maka bukan suatu hal yang aneh bila selanjutnya lahir konsep pertahanan di tiga corong, yaitu barat, tengah dan timur. Isu corong tersebut berangkat dari preseden sejarah, yang mana Jepang menyerbu Hindia Belanda melalui corong tengah yaitu Laut Sulawesi-Selat Makassar, sebelumnya akhirnya sampai di Laut Jawa.
Dalam era kekinian, patut dipertimbangkan kembali apakah pemahaman terhadap corong itu masih relevan atau tidak? Eksistensi corong itu tetap bernilai strategi bagi Indonesia, namun masalahnya adalah apakah di corong-corong itu akan lewat konvoi Angkatan Laut asing yang menyerbu Indonesia dengan formasi klasik yaitu ada badan utama, ada gugus aju, ada tabir dan lain sebagainya. Nampaknya sulit membayangkan pihak Angkatan Laut lain akan menginvasi negeri ini lewat tiga corong itu dengan menggunakan formasi klasik yang dahulu dipraktekkan oleh Imperial Japanese Navy.
Yang perlu untuk dipertimbangkan saat ini adalah kemungkinan surgical strike oleh satu atau lebih kapal Angkatan Laut asing terhadap sasaran di Indonesia. Serangan itu bisa saja lewat di corong-corong itu, akan tetapi lebih besar kemungkinannya tidak melalui corong-corong tersebut.
Dengan kata lain, eksistensi corong barat-tengah-timur harus tetap dipandang strategis, namun paradigma dalam memandang serangan yang akan lewat corong itu sebaiknya disesuaikan dengan kondisi kekinian. Terlebih lagi dengan kemajuan teknologi Angkatan Laut saat ini, serangan semacam surgical strike terhadap Indonesia bisa datang dari arah mana saja alias 360 derajat. Bukankah negeri ini terbuka 360 derajat dari arah lautan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar