All hands,
Peran diplomasi AL merupakan satu dari tiga peran AL secara universal. Dalam perkembangannya, ada istilah naval diplomacy, ada pula istilah gunboat diplomacy. Banyak menjadi pertanyaan, apa beda kedua?
Naval diplomacy dengan gunboat diplomacy itu pada dasarnya sama saja, cuma cara pendekatannya beda. Kalau naval diplomacy, itu caranya masih persuasif. Sedangkan gunboat diplomacy itu sudah koersif, memaksa. Itu kesimpulan yang saya tarik setelah pelajari literatur-literatur soal diplomasi AL.
Menurut Sir James Cable, gunboat diplomacy adalah the use or threat of limited naval forces, otherwise than as an act of war, in order to secure advantage, or to avert loss, either in the furtherance of an international dispute or else against foreign nationals within the territory or the jurisdiction of their own state. Definisi ini mencakup seluruh spektrum kegiatan AL, seperti manuver kapal perang, kunjungan dan latihan. Tidak tercakup dalam definisi itu apabila dalam manuver kapal perang tersebut tak ada pihak yang menganggapnya sebagai ancaman, karena unsur yang ingin dicapai dari gunboat diplomacy adalah coercion yang diharapkan akan mempengaruhi cara bertindak pihak yang menjadi “korban” diplomasi kapal perang.
Secara singkat, gunboat diplomacy adalah upaya untuk mendemonstrasikan keinginan politik (political will) dari negara pelaku diplomasi itu. Keinginan politik tersebut didemonstrasikan dengan tingkat komitmen yang terukur bukan saja dalam hal jumlah, namun juga nilai pesan politik dari aset kapal perang yang dikerahkan dan digunakan. Sebagai ilustrasi, nilai dari gunboat diplomacy yang menggunakan kapal patroli akan berbeda bila dibandingkan dengan menggunakan kapal fregat atau kapal penjelajah.
Timbul pertanyaan yaitu mengapa AL terpilih menjadi aktor diplomasi sehingga diplomasi menjadi satu dari tiga fungsi AL secara universal menurut Ken Booth? Menurut Fleet Admiral of the Soviet Union Sergey G. Gorshkov, the navy, as a constituent part of the armed forces of the state, has a further distinctive feature, namely the ability to demonstrate graphically the real fighting power of one’s state in the international arena. Thus, the fleet has always been an instrument of the policy of states, an important aid to diplomacy in peacetime. To this corresponded the very nature of a navy, the properties peculiar to it, namely, constant high combat readiness, mobility and ability in a short time to concentrate its forces in selected areas of the ocean.
Dengan kemampuan proyeksi kekuatan, kapal perang dapat poise atau hover di luar perairan yurisdiksi nasional negara lain untuk memberikan pesan kepada negara sasaran diplomasi. Poise atau hover merupakan bagian dari naval presence karena tanpa naval presence berarti kekuatan laut tak memiliki peran untuk dilaksanakan segera. Menurut Jeremy Stocker, naval presence permits intervention but is not self interventionary.
Kemampuan kekuatan laut untuk “berdiam” di perairan internasional untuk periode waktu yang panjang memberikan kesempatan bagi kekuatan itu untuk hadir tanpa membuat komitmen, yang dalam British Maritime Doctrine BR 1806 dikenal sebagai poise. Unsur kekuatan laut yang poise dapat bertindak sebagai kekuatan untuk deterrence ataupun active coercion. Kemampuan unik ini sangat berguna di dalam lingkungan strategis yang dinamis dan tidak pasti saat ini, karena poise mengekspoitasi mobilitas, kelincahan, pencapaian berkelanjutan dan daya angkat (lift capacity).
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa gunboat diplomacy akan dinyatakan berhasil mencapai maksud yang dikehendaki apabila berhasil menimbulkan unsur coercion, di mana menurut Geoffrey Till coercion dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu deterrence dan compellence.
Pentingnya fungsi kapal perang dalam diplomasi telah ditekankan oleh para ahli strategi maritim seperti Sir Julian Corbett, Sir Herbert Richmond, S.G Gorshkov dan Alfred Thayer Mahan yang menekankan strategi maritim dan penggunaan kekuatan AL harus sesuai dengan strategi nasional keseluruhan dan tujuan-tujuan politik negara yang diharapkan dicapai oleh para pemimpin negara.
Sehingga Corbett dengan yakin menyatakan the first function of of the fleet was to support or obstruct diplomatic effort. Adapun Laksamana Horatio Nelson bilang I hate your pen-and-ink men; a fleet of British ship of war ar the best negotiator in Europe. Seolah mendukung pernyataan Nelson, John Stuart Mill, seorang tokoh Inggris sampai bilang our diplomacy stands for nothing when we have not a fleet to back it.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah ucapan para diplomat karir didengar dan dituruti orang lain tanpa eksistensi AL?
Peran diplomasi AL merupakan satu dari tiga peran AL secara universal. Dalam perkembangannya, ada istilah naval diplomacy, ada pula istilah gunboat diplomacy. Banyak menjadi pertanyaan, apa beda kedua?
Naval diplomacy dengan gunboat diplomacy itu pada dasarnya sama saja, cuma cara pendekatannya beda. Kalau naval diplomacy, itu caranya masih persuasif. Sedangkan gunboat diplomacy itu sudah koersif, memaksa. Itu kesimpulan yang saya tarik setelah pelajari literatur-literatur soal diplomasi AL.
Menurut Sir James Cable, gunboat diplomacy adalah the use or threat of limited naval forces, otherwise than as an act of war, in order to secure advantage, or to avert loss, either in the furtherance of an international dispute or else against foreign nationals within the territory or the jurisdiction of their own state. Definisi ini mencakup seluruh spektrum kegiatan AL, seperti manuver kapal perang, kunjungan dan latihan. Tidak tercakup dalam definisi itu apabila dalam manuver kapal perang tersebut tak ada pihak yang menganggapnya sebagai ancaman, karena unsur yang ingin dicapai dari gunboat diplomacy adalah coercion yang diharapkan akan mempengaruhi cara bertindak pihak yang menjadi “korban” diplomasi kapal perang.
Secara singkat, gunboat diplomacy adalah upaya untuk mendemonstrasikan keinginan politik (political will) dari negara pelaku diplomasi itu. Keinginan politik tersebut didemonstrasikan dengan tingkat komitmen yang terukur bukan saja dalam hal jumlah, namun juga nilai pesan politik dari aset kapal perang yang dikerahkan dan digunakan. Sebagai ilustrasi, nilai dari gunboat diplomacy yang menggunakan kapal patroli akan berbeda bila dibandingkan dengan menggunakan kapal fregat atau kapal penjelajah.
Timbul pertanyaan yaitu mengapa AL terpilih menjadi aktor diplomasi sehingga diplomasi menjadi satu dari tiga fungsi AL secara universal menurut Ken Booth? Menurut Fleet Admiral of the Soviet Union Sergey G. Gorshkov, the navy, as a constituent part of the armed forces of the state, has a further distinctive feature, namely the ability to demonstrate graphically the real fighting power of one’s state in the international arena. Thus, the fleet has always been an instrument of the policy of states, an important aid to diplomacy in peacetime. To this corresponded the very nature of a navy, the properties peculiar to it, namely, constant high combat readiness, mobility and ability in a short time to concentrate its forces in selected areas of the ocean.
Dengan kemampuan proyeksi kekuatan, kapal perang dapat poise atau hover di luar perairan yurisdiksi nasional negara lain untuk memberikan pesan kepada negara sasaran diplomasi. Poise atau hover merupakan bagian dari naval presence karena tanpa naval presence berarti kekuatan laut tak memiliki peran untuk dilaksanakan segera. Menurut Jeremy Stocker, naval presence permits intervention but is not self interventionary.
Kemampuan kekuatan laut untuk “berdiam” di perairan internasional untuk periode waktu yang panjang memberikan kesempatan bagi kekuatan itu untuk hadir tanpa membuat komitmen, yang dalam British Maritime Doctrine BR 1806 dikenal sebagai poise. Unsur kekuatan laut yang poise dapat bertindak sebagai kekuatan untuk deterrence ataupun active coercion. Kemampuan unik ini sangat berguna di dalam lingkungan strategis yang dinamis dan tidak pasti saat ini, karena poise mengekspoitasi mobilitas, kelincahan, pencapaian berkelanjutan dan daya angkat (lift capacity).
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa gunboat diplomacy akan dinyatakan berhasil mencapai maksud yang dikehendaki apabila berhasil menimbulkan unsur coercion, di mana menurut Geoffrey Till coercion dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu deterrence dan compellence.
Pentingnya fungsi kapal perang dalam diplomasi telah ditekankan oleh para ahli strategi maritim seperti Sir Julian Corbett, Sir Herbert Richmond, S.G Gorshkov dan Alfred Thayer Mahan yang menekankan strategi maritim dan penggunaan kekuatan AL harus sesuai dengan strategi nasional keseluruhan dan tujuan-tujuan politik negara yang diharapkan dicapai oleh para pemimpin negara.
Sehingga Corbett dengan yakin menyatakan the first function of of the fleet was to support or obstruct diplomatic effort. Adapun Laksamana Horatio Nelson bilang I hate your pen-and-ink men; a fleet of British ship of war ar the best negotiator in Europe. Seolah mendukung pernyataan Nelson, John Stuart Mill, seorang tokoh Inggris sampai bilang our diplomacy stands for nothing when we have not a fleet to back it.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah ucapan para diplomat karir didengar dan dituruti orang lain tanpa eksistensi AL?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar