All hands,
Angkatan Laut mempunyai empat core capabilities yaitu naval presence, sea control, sea denial dan power projection. Soal power projection, kekuatan itu diproyeksikan ke luar negeri guna mendukung kepentingan nasional. Sebagian AL di dunia selalu melaksanakan power projection, sehingga kemampuan terus dipelihara dan ditingkatkan.
Bagi Indonesia, isu proyeksi kekuatan senantiasa menarik untuk dibahas. Secara mendasar, AL kita mempunyai kemampuan untuk proyeksi kekuatan secara terbatas. Setidaknya untuk di kawasan Asia Tenggara, kita masih sanggup. Namun karena kebijakan luar negeri kita yang enggan menggunakan kekuatan militer sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional, sulit untuk dibantah bahwa kemampuan proyeksi kekuatan AL kita statusnya idle.
Karena statusnya idle, ada pemikiran agar kita nggak usah bangun kemampuan proyeksi kekuatan. Alasannya, mau diproyeksikan kemana? Kebijakan luar negeri Indonesia kan menghindari penggunaan kekuatan militer, lalu apa gunanya kemampuan proyeksi kekuatan yang kita miliki?
Pendapat demikian ada benarnya. Namun saya tidak berada pada posisi setuju sepenuhnya pada pendapat itu. Lepas dari situ, pemikiran bahwa kemampuan proyeksi kekuatan tak perlu dibangun mencerminkan ada yang salah dalam interaksi antar instrumen kekuatan nasional.
Itu yang harus kita benahi. Karena AL negara-negara di sekitar kita sekarang justru sibuk bangun kemampuan proyeksi kekuatan. Lihatlah Singapura dan Malaysia. Singapura sibuk bantu Amerika Serikat laksanakan maritime security operations di Teluk Persia. Malaysia sibuk show the flag ke negara-negara lain.
Lalu kita bagaimana? Apakah kita mundur kembali? Tahun 1960-an, kita punya kemampuan proyeksi kekuatan yang lebih besar dibandingkan saat ini. Contohnya, kita kirim GT ke Pakistan tahun 1965 untuk dukung posisi Pakistan saat perang dengan India.
Kemampuan proyeksi kekuatan punya kaitan erat dengan kebijakan luar negeri. AL adalah salah satu instrumen diplomasi, baik itu naval diplomacy maupun gunboat diplomacy. Beda naval diplomacy dengan gunboat diplomacy adalah pendekatannya saja. Kalau naval diplomacy, itu non coercive. Adapun gunboat diplomacy, itu coercive.
Pekerjaan rumah buat kita adalah rumuskan kembali kebijakan luar negeri. Kita jangan jadi bangsa yang fatwakan haramnya penggunaan instrumen AL untuk mendukung kebijakan luar negeri. Hanya bangsa yang bodoh yang menolak kebenaran pernyataan Milan Vego bahwa naval power is undoubtedly a powerful tool in support of foreign policy.
Angkatan Laut mempunyai empat core capabilities yaitu naval presence, sea control, sea denial dan power projection. Soal power projection, kekuatan itu diproyeksikan ke luar negeri guna mendukung kepentingan nasional. Sebagian AL di dunia selalu melaksanakan power projection, sehingga kemampuan terus dipelihara dan ditingkatkan.
Bagi Indonesia, isu proyeksi kekuatan senantiasa menarik untuk dibahas. Secara mendasar, AL kita mempunyai kemampuan untuk proyeksi kekuatan secara terbatas. Setidaknya untuk di kawasan Asia Tenggara, kita masih sanggup. Namun karena kebijakan luar negeri kita yang enggan menggunakan kekuatan militer sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional, sulit untuk dibantah bahwa kemampuan proyeksi kekuatan AL kita statusnya idle.
Karena statusnya idle, ada pemikiran agar kita nggak usah bangun kemampuan proyeksi kekuatan. Alasannya, mau diproyeksikan kemana? Kebijakan luar negeri Indonesia kan menghindari penggunaan kekuatan militer, lalu apa gunanya kemampuan proyeksi kekuatan yang kita miliki?
Pendapat demikian ada benarnya. Namun saya tidak berada pada posisi setuju sepenuhnya pada pendapat itu. Lepas dari situ, pemikiran bahwa kemampuan proyeksi kekuatan tak perlu dibangun mencerminkan ada yang salah dalam interaksi antar instrumen kekuatan nasional.
Itu yang harus kita benahi. Karena AL negara-negara di sekitar kita sekarang justru sibuk bangun kemampuan proyeksi kekuatan. Lihatlah Singapura dan Malaysia. Singapura sibuk bantu Amerika Serikat laksanakan maritime security operations di Teluk Persia. Malaysia sibuk show the flag ke negara-negara lain.
Lalu kita bagaimana? Apakah kita mundur kembali? Tahun 1960-an, kita punya kemampuan proyeksi kekuatan yang lebih besar dibandingkan saat ini. Contohnya, kita kirim GT ke Pakistan tahun 1965 untuk dukung posisi Pakistan saat perang dengan India.
Kemampuan proyeksi kekuatan punya kaitan erat dengan kebijakan luar negeri. AL adalah salah satu instrumen diplomasi, baik itu naval diplomacy maupun gunboat diplomacy. Beda naval diplomacy dengan gunboat diplomacy adalah pendekatannya saja. Kalau naval diplomacy, itu non coercive. Adapun gunboat diplomacy, itu coercive.
Pekerjaan rumah buat kita adalah rumuskan kembali kebijakan luar negeri. Kita jangan jadi bangsa yang fatwakan haramnya penggunaan instrumen AL untuk mendukung kebijakan luar negeri. Hanya bangsa yang bodoh yang menolak kebenaran pernyataan Milan Vego bahwa naval power is undoubtedly a powerful tool in support of foreign policy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar