All hands,
Strategi mempunyai elemen yaitu ends, means dan ways. Sejarah perang telah mengajarkan kepada kita bahwa ketidaksebandingan (mismatch) antara ends dengan means akan menimbulkan fatalitas. Itu hal yang harus dipahami oleh kita yang mendalami dan bergerak di domain strategy and policy di dunia militer
Kegagalan Deutsche Afrika Korps (DAK)-nya Field Marshall Erwin Rommel disebabkan oleh ketidaksebandingan itu. Bahkan kegagalan Jerman dalam Perang Dunia Kedua secara keseluruhan juga karena itu. Kekalahan Jepang di Pasifik juga karena ada ketidaksebandingan antara ends dengan means. Kegagalan Jenderal William C. Westmoreland, Jenderal Craighton Abrams dengan U.S. MACV (U.S. Military Assistance Command, Vietnam) di Vietnam juga begitu.
Pertanyaan, bagaimana dengan AL kita? Apakah sudah tercapai keseimbangan antara ends dengan means. Kalau ends-nya adalah mengamankan kepentingan nasional yang berada di domain maritim, maka means-nya harus mendukung tercapainya ends.
Soal means kita sudah sangat paham bagaimana kondisi dan kemampuan sensing, mobility, firepower dan C3I AL kita. Karena kita paham itu maka kita nggak lelah berjuang agar AL mendapat perhatian benar-benar dari pemerintah. Bukan sekedar kalimat klise, standar dan normatif yang kita inginkan dari pemerintah, tapi aksi lanjutnya.
Krisis, konflik dan perang bukan sesuatu yang dapat diprediksi dengan mudah kapan akan muncul, meskipun gejala-gejalanya bisa kita baca. Untuk membangun kekuatan itu kan harus pada masa damai, bukan pada masa konflik, krisis apalagi perang.
Nah…diktum kesebandingan antara ends dan means ini harus dipahami oleh pihak-pihak di luar AL. Sayangnya yang paham, mengerti soal strategy and policy di negeri ini masih didominasi oleh para perencana militer. Sementara para perencana sipil di Departemen Keuangan dan Bappenas belum mengerti soal itu. Padahal mereka turut menentukan pembangunan kekuatan AL.
Hirarkinya kan AL mengajukan kebutuhan ke Mabes TNI untuk diteruskan ke Departemen Pertahanan. Departemen Pertahanan lanjutkan ke Departemen Keuangan dan Bappenas. Penentuan anggarannya kan di sana.
Belum lagi harus ke DPR, karena DPR juga punya suara soal anggaran. Kalau DPR kan urusannya dengan uang dan “baju putih”. Substansinya adalah dibutuhkan pemahaman nasional soal keseimbangan antara ends dengan means.
Strategi mempunyai elemen yaitu ends, means dan ways. Sejarah perang telah mengajarkan kepada kita bahwa ketidaksebandingan (mismatch) antara ends dengan means akan menimbulkan fatalitas. Itu hal yang harus dipahami oleh kita yang mendalami dan bergerak di domain strategy and policy di dunia militer
Kegagalan Deutsche Afrika Korps (DAK)-nya Field Marshall Erwin Rommel disebabkan oleh ketidaksebandingan itu. Bahkan kegagalan Jerman dalam Perang Dunia Kedua secara keseluruhan juga karena itu. Kekalahan Jepang di Pasifik juga karena ada ketidaksebandingan antara ends dengan means. Kegagalan Jenderal William C. Westmoreland, Jenderal Craighton Abrams dengan U.S. MACV (U.S. Military Assistance Command, Vietnam) di Vietnam juga begitu.
Pertanyaan, bagaimana dengan AL kita? Apakah sudah tercapai keseimbangan antara ends dengan means. Kalau ends-nya adalah mengamankan kepentingan nasional yang berada di domain maritim, maka means-nya harus mendukung tercapainya ends.
Soal means kita sudah sangat paham bagaimana kondisi dan kemampuan sensing, mobility, firepower dan C3I AL kita. Karena kita paham itu maka kita nggak lelah berjuang agar AL mendapat perhatian benar-benar dari pemerintah. Bukan sekedar kalimat klise, standar dan normatif yang kita inginkan dari pemerintah, tapi aksi lanjutnya.
Krisis, konflik dan perang bukan sesuatu yang dapat diprediksi dengan mudah kapan akan muncul, meskipun gejala-gejalanya bisa kita baca. Untuk membangun kekuatan itu kan harus pada masa damai, bukan pada masa konflik, krisis apalagi perang.
Nah…diktum kesebandingan antara ends dan means ini harus dipahami oleh pihak-pihak di luar AL. Sayangnya yang paham, mengerti soal strategy and policy di negeri ini masih didominasi oleh para perencana militer. Sementara para perencana sipil di Departemen Keuangan dan Bappenas belum mengerti soal itu. Padahal mereka turut menentukan pembangunan kekuatan AL.
Hirarkinya kan AL mengajukan kebutuhan ke Mabes TNI untuk diteruskan ke Departemen Pertahanan. Departemen Pertahanan lanjutkan ke Departemen Keuangan dan Bappenas. Penentuan anggarannya kan di sana.
Belum lagi harus ke DPR, karena DPR juga punya suara soal anggaran. Kalau DPR kan urusannya dengan uang dan “baju putih”. Substansinya adalah dibutuhkan pemahaman nasional soal keseimbangan antara ends dengan means.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar