All hands,
Seandainya kita mencermati proses pengadaan alutsista AL selama ini, khususnya kapal perang, akan ditemukan sejumlah anomali. Salah satunya adalah sumber dana pengadaan alutsista dikaitkan pemeliharaan alutsista itu selama commissioning di armada AL. Di situ ada anomali yang sebenarnya kita tahu tapi kurang mencermati, mungkin karena dianggap sudah biasa saja.
Pengadaan kapal perang kita sebagian besar dukungan keuangannya berbasis pada kredit ekspor (KE). Jadi bukan dari APBN murni. Ketika sudah commissioning, dukungan anggaran pemeliharaannya berasal dari APBN murni. Di sinilah anomali itu.
Pengadaan pakai KE, pemeliharaan APBN murni. Akibatnya, unsur kapal nggak selalu siap beroperasi karena masalah logistik. KE-nya dollar atau Euro, APBN rupiah. Ketika kapal masuk ke armada, nggak ada jaminan anggaran pemeliharaan di armada meningkat drastis. Akibatnya, nggak semua kapal bisa dipelihara secara rutin sesuai dengan service bulletin dari pabrikan. Itu masalahnya!!!
Sebagai contoh, apakah dengan masuknya KRI Diponegoro-365 dan KRI-Hasanudin-366 di Armatim, terus anggaran pemeliharaan dari APBN otomatis naik dengan menyesuaikan pada kalkulasi kebutuhan pemeliharaan kedua kapal? Saya nggak yakin soal itu. Jadi pengadaan kapal kita selalu pakai anggaran ekstra (KE), sementara pemeliharaan gunakan anggaran rutin (APBN). Yah wajar kalau banyak unsur kita yang nggak siap.
Terus solusinya gimana? Nggak ada pilihan lain kecuali anggaran pemeliharaan harus naik drastis ketika ada kapal-kapal baru masuk ke jajaran armada. Kalau nggak, yah kita akan tambal sulam terus. Ada kapal-kapal yang akan ditunda pemeliharaannya agar bisa dukung pemeliharaan kapal-kapal lain yang dinilai lebih prioritas.
Untuk itu, diperlukan kemampuan lobi ke Departemen Pertahanan, Bappenas dan Departemen Keuangan. Dan juga DPR (terserahlah apa kepanjangan DPR itu. Ha..ha..ha..). Memelihara aset tempur AL memang mahal, tapi itu tergolong murah daripada harga diri kita diinjak-injak sama orang lain.
Seandainya kita mencermati proses pengadaan alutsista AL selama ini, khususnya kapal perang, akan ditemukan sejumlah anomali. Salah satunya adalah sumber dana pengadaan alutsista dikaitkan pemeliharaan alutsista itu selama commissioning di armada AL. Di situ ada anomali yang sebenarnya kita tahu tapi kurang mencermati, mungkin karena dianggap sudah biasa saja.
Pengadaan kapal perang kita sebagian besar dukungan keuangannya berbasis pada kredit ekspor (KE). Jadi bukan dari APBN murni. Ketika sudah commissioning, dukungan anggaran pemeliharaannya berasal dari APBN murni. Di sinilah anomali itu.
Pengadaan pakai KE, pemeliharaan APBN murni. Akibatnya, unsur kapal nggak selalu siap beroperasi karena masalah logistik. KE-nya dollar atau Euro, APBN rupiah. Ketika kapal masuk ke armada, nggak ada jaminan anggaran pemeliharaan di armada meningkat drastis. Akibatnya, nggak semua kapal bisa dipelihara secara rutin sesuai dengan service bulletin dari pabrikan. Itu masalahnya!!!
Sebagai contoh, apakah dengan masuknya KRI Diponegoro-365 dan KRI-Hasanudin-366 di Armatim, terus anggaran pemeliharaan dari APBN otomatis naik dengan menyesuaikan pada kalkulasi kebutuhan pemeliharaan kedua kapal? Saya nggak yakin soal itu. Jadi pengadaan kapal kita selalu pakai anggaran ekstra (KE), sementara pemeliharaan gunakan anggaran rutin (APBN). Yah wajar kalau banyak unsur kita yang nggak siap.
Terus solusinya gimana? Nggak ada pilihan lain kecuali anggaran pemeliharaan harus naik drastis ketika ada kapal-kapal baru masuk ke jajaran armada. Kalau nggak, yah kita akan tambal sulam terus. Ada kapal-kapal yang akan ditunda pemeliharaannya agar bisa dukung pemeliharaan kapal-kapal lain yang dinilai lebih prioritas.
Untuk itu, diperlukan kemampuan lobi ke Departemen Pertahanan, Bappenas dan Departemen Keuangan. Dan juga DPR (terserahlah apa kepanjangan DPR itu. Ha..ha..ha..). Memelihara aset tempur AL memang mahal, tapi itu tergolong murah daripada harga diri kita diinjak-injak sama orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar