All hands,
Bagi kita yang menggeluti dunia militer dan banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang di Amerika Serikat, RMA (revolution in military affairs) bukan suatu hal yang baru lagi. Ketika kita menyusun perencanaan ke depan, yang ada di otak kita adalah memperkirakan ancaman atau tantangan apa yang akan dihadapi oleh Angkatan Laut dalam jangka 10-20 tahun nanti. Itu nggak mudah, karena perkembangan lingkungan strategis di atas 5 tahun cukup sulit untuk kita prediksi.
Sementara pada sisi lain, kita harus bikin perencanaan dengan jangka waktu 20 tahun ke depan. Kenapa begitu? Sebab perencanaan itu akan terkait dengan masalah sumber daya, dalam hal ini anggaran. Sebagai contoh, kalau kita mau beli kapal perang baru 3 tahun lagi, dari sekarang kita sudah harus siapkan anggarannya.
Perencanaan memang akan selalu terkait dengan sumber daya, termasuk di dalamnya anggaran. Itu hukum alam dan dialami oleh semua negara, baik negara maju maupun berkembang. Sumber daya, seperti digambarkan dalam paradigma Lloyd tentang pembangunan kekuatan, senantiasa akan menjadi constraint dalam perencanaan.
Amerika Serikat dalam pembangunan kekuatannya pasca 11 September 2001 menekankan pada RMA melalui keunggulan teknologi, karena konflik di masa depan akan berbeda dengan perang di masa lalu. Oleh Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, hal itu disebut sebagai defense transformation atau transformasi pertahanan. Para pendukung RMA berpendapat bahwa Amerika Serikat dapat terus mempertahankan posisi dominan dalam tatanan internasional dengan mengeksploitasi RMA. Kelompok ini dikenal sebagai technological optimist yang berpendapat bahwa kemenangan pasukan Koalisi atas Irak dalam Perang Teluk 1991 merupakan bukti bahwa RMA mempunyai potensi untuk mentransformasi the nature of war.
Kelompok lainnya yang dijuluki sebagai technological pessimists, menolak argumen bahwa RMA akan menyelesaikan banyak masalah dalam perang. Menurut kelompok ini, konflik di masa depan tidak dapat semata-mata dibereskan secara militer melalui eksploitasi teknologi. Kasus kekalahan militer Amerika Serikat di Somalia pada Oktober 1993 mereka jadikan salah satu contoh betapa kehebatan militer yang dilengkapi dengan teknologi canggih ternyata tidak mampu mengalahkan gerilyawan Somalia yang cuma bersenjatakan AK-47, RPG dan technical.
Seperti yang kita pernah pelajari, Carl Von Clausewitz menulis dalam On War bahwa dalam perang selalu ada friction and the fog of war. Substansinya, jalannya perang tidak seperti yang kita rencanakan di atas kertas, selalu ada masalah-maslaah baru yang tidak kita prediksi atau perhitungkan sebelumnya. Banyak contoh soal itu, misalnya perang di Irak.
Laksamana William Owens yang pernah menjadi Vice Chairman of the U.S. Joint Chiefs of Staff dari 1994-1996 pernah berucap bahwa:
These emerging technologies and information dominance would eliminate friction and the fog of war, providing the commander and his subordinates nearly perfect situational awareness, thereby promising the capacity to use military force without the same risks as before. Technology could enable U.S. military forces in the future to lift the fog of war…battlefield dominant awareness might be possible. If you see the battlefield, you will win the war.
Apa itu battlefield dominant awareness? Itu merupakan kebisaan (ability) untuk melihat dan memahami semua yang terjadi di medan tempur. Sarananya tidak lain adalah teknologi, baik itu satelit, alat komunikasi, pesawat tanpa awak, pesawat berawak dan lain sebagainya.
Argumen para pendukung RMA sebagian benar, namun menjadi harus ditinjau ulang ketika menghadapi perang yang bersifat asimetris. Kalau dalam perang simetris, saya yakin argumen para penyokong RMA akan terbukti sepenuhnya. Tetapi nggak demikian dengan perang asimetris.
Soal perang asimetris, sebenarnya sudah tercantum dalam The National Defense Strategy of The United States of America. Dalam dokumen itu, para perencana Pentagon menggolongkan ada empat tantangan (challenges) yang akan dihadapi oleh negerinya. Yaitu traditional, irregular, catastrophic and disruptive. Soal definisi keempat tantangan itu, silakan pelajari dokumen bersangkutan.
Masalahnya adalah pembangunan kekuatan militer Amerika Serikat di bawah Rumsfeld dengan transformasi pertahanannya terlalu menekankan pada ancaman tradisional. Artinya perang simetris. Itulah salah satu alasan kenapa mereka kewalahan di Afghanistan dan Irak sekarang. Di kedua negara Muslim itu peperangan yang terjadi merupakan bentuk dari peperangan generasi keempat dan para perencana di Pentagon terlambat sadar soal itu.
Padahal sejak 1989 beberapa pemikir militer di negeri itu yang dipelopori oleh Kolonel Marinir William S. Lind sudah memperkenalkan peperangan generasi keempat (fourth generation warfare/4GW). Pemikiran Lind kemudian diteruskan oleh juniornya di U.S. Marine Corps yaitu Kolonel Marinir Thomas X. Hammes. Menurut Hammes, modern warfare evolves into fourth generation warfare. Dalam bukunya yang berjudul The Sling and The Stone, Hammes bilang bahwa Pentagon’s emphasis on high-tech warfare has prevented the U.S. military from adapting to a style of warfare in which guerrillas and terrorists employ low technology tactics to counter American strengths and exploits American vulnerabilities.
Pertanyaan, apa alasan Pentagon mengambil kebijakan demikian? Karena warga Amerika Serikat sangat hirau dengan hilangnya nyawa personel militer mereka. Satu soldier, sailor, marine, airmen mati itu merupakan kehilangan besar bagi orang Amerika Serikat. Itu adalah dampak psikologis dari Perang Vietnam yang menjadikan 58.000 GI tewas.
Lalu pelajaran apa yang bisa kita tarik dari kasus di Amerika Serikat itu? Dalam pembangunan kekuatan AL, sebaiknya kita menyeimbangkan antara ability dan capability menghadapi ancaman atau tantangan simetris dengan asimetris. Kemungkinan kita untuk konflik terbuka dengan AL lain persentasenya kecil. Namun itu tidak berarti kita tidak bangun AL. Kita harus tetap bangun AL agar kita mempunyai kemampuan deterrence.
Soal asimetris, kita hingga 20 tahun ke depan mungkin akan lebih banyak menghadapi ancaman dan atau tantangan dari aktor non negara, seperti perompakan, terorisme maritim dan lain sebagainya. Kemampuan itu harus tetap kita bangun pula. Namun hendaknya kita juga jangan mempersempit batasan asimetris hanya untuk menghadapi aktor non negara.
Dengan segala keterbatasan, kita harus bangun AL yang mampu gelar perang asimetris terhadap aktor negara. Contoh dari perang asimetris adalah strategi anti akses. AL negara-negara lain boleh jadi lebih kuat daripada kita, tetapi kita harus punya strategi pamungkas untuk menggigit mereka. Itu harus pula kita kembangkan biar negara-negara di sekitar Indonesia tidak lagi melecehkan kita di laut.
Bagi kita yang menggeluti dunia militer dan banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang di Amerika Serikat, RMA (revolution in military affairs) bukan suatu hal yang baru lagi. Ketika kita menyusun perencanaan ke depan, yang ada di otak kita adalah memperkirakan ancaman atau tantangan apa yang akan dihadapi oleh Angkatan Laut dalam jangka 10-20 tahun nanti. Itu nggak mudah, karena perkembangan lingkungan strategis di atas 5 tahun cukup sulit untuk kita prediksi.
Sementara pada sisi lain, kita harus bikin perencanaan dengan jangka waktu 20 tahun ke depan. Kenapa begitu? Sebab perencanaan itu akan terkait dengan masalah sumber daya, dalam hal ini anggaran. Sebagai contoh, kalau kita mau beli kapal perang baru 3 tahun lagi, dari sekarang kita sudah harus siapkan anggarannya.
Perencanaan memang akan selalu terkait dengan sumber daya, termasuk di dalamnya anggaran. Itu hukum alam dan dialami oleh semua negara, baik negara maju maupun berkembang. Sumber daya, seperti digambarkan dalam paradigma Lloyd tentang pembangunan kekuatan, senantiasa akan menjadi constraint dalam perencanaan.
Amerika Serikat dalam pembangunan kekuatannya pasca 11 September 2001 menekankan pada RMA melalui keunggulan teknologi, karena konflik di masa depan akan berbeda dengan perang di masa lalu. Oleh Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, hal itu disebut sebagai defense transformation atau transformasi pertahanan. Para pendukung RMA berpendapat bahwa Amerika Serikat dapat terus mempertahankan posisi dominan dalam tatanan internasional dengan mengeksploitasi RMA. Kelompok ini dikenal sebagai technological optimist yang berpendapat bahwa kemenangan pasukan Koalisi atas Irak dalam Perang Teluk 1991 merupakan bukti bahwa RMA mempunyai potensi untuk mentransformasi the nature of war.
Kelompok lainnya yang dijuluki sebagai technological pessimists, menolak argumen bahwa RMA akan menyelesaikan banyak masalah dalam perang. Menurut kelompok ini, konflik di masa depan tidak dapat semata-mata dibereskan secara militer melalui eksploitasi teknologi. Kasus kekalahan militer Amerika Serikat di Somalia pada Oktober 1993 mereka jadikan salah satu contoh betapa kehebatan militer yang dilengkapi dengan teknologi canggih ternyata tidak mampu mengalahkan gerilyawan Somalia yang cuma bersenjatakan AK-47, RPG dan technical.
Seperti yang kita pernah pelajari, Carl Von Clausewitz menulis dalam On War bahwa dalam perang selalu ada friction and the fog of war. Substansinya, jalannya perang tidak seperti yang kita rencanakan di atas kertas, selalu ada masalah-maslaah baru yang tidak kita prediksi atau perhitungkan sebelumnya. Banyak contoh soal itu, misalnya perang di Irak.
Laksamana William Owens yang pernah menjadi Vice Chairman of the U.S. Joint Chiefs of Staff dari 1994-1996 pernah berucap bahwa:
These emerging technologies and information dominance would eliminate friction and the fog of war, providing the commander and his subordinates nearly perfect situational awareness, thereby promising the capacity to use military force without the same risks as before. Technology could enable U.S. military forces in the future to lift the fog of war…battlefield dominant awareness might be possible. If you see the battlefield, you will win the war.
Apa itu battlefield dominant awareness? Itu merupakan kebisaan (ability) untuk melihat dan memahami semua yang terjadi di medan tempur. Sarananya tidak lain adalah teknologi, baik itu satelit, alat komunikasi, pesawat tanpa awak, pesawat berawak dan lain sebagainya.
Argumen para pendukung RMA sebagian benar, namun menjadi harus ditinjau ulang ketika menghadapi perang yang bersifat asimetris. Kalau dalam perang simetris, saya yakin argumen para penyokong RMA akan terbukti sepenuhnya. Tetapi nggak demikian dengan perang asimetris.
Soal perang asimetris, sebenarnya sudah tercantum dalam The National Defense Strategy of The United States of America. Dalam dokumen itu, para perencana Pentagon menggolongkan ada empat tantangan (challenges) yang akan dihadapi oleh negerinya. Yaitu traditional, irregular, catastrophic and disruptive. Soal definisi keempat tantangan itu, silakan pelajari dokumen bersangkutan.
Masalahnya adalah pembangunan kekuatan militer Amerika Serikat di bawah Rumsfeld dengan transformasi pertahanannya terlalu menekankan pada ancaman tradisional. Artinya perang simetris. Itulah salah satu alasan kenapa mereka kewalahan di Afghanistan dan Irak sekarang. Di kedua negara Muslim itu peperangan yang terjadi merupakan bentuk dari peperangan generasi keempat dan para perencana di Pentagon terlambat sadar soal itu.
Padahal sejak 1989 beberapa pemikir militer di negeri itu yang dipelopori oleh Kolonel Marinir William S. Lind sudah memperkenalkan peperangan generasi keempat (fourth generation warfare/4GW). Pemikiran Lind kemudian diteruskan oleh juniornya di U.S. Marine Corps yaitu Kolonel Marinir Thomas X. Hammes. Menurut Hammes, modern warfare evolves into fourth generation warfare. Dalam bukunya yang berjudul The Sling and The Stone, Hammes bilang bahwa Pentagon’s emphasis on high-tech warfare has prevented the U.S. military from adapting to a style of warfare in which guerrillas and terrorists employ low technology tactics to counter American strengths and exploits American vulnerabilities.
Pertanyaan, apa alasan Pentagon mengambil kebijakan demikian? Karena warga Amerika Serikat sangat hirau dengan hilangnya nyawa personel militer mereka. Satu soldier, sailor, marine, airmen mati itu merupakan kehilangan besar bagi orang Amerika Serikat. Itu adalah dampak psikologis dari Perang Vietnam yang menjadikan 58.000 GI tewas.
Lalu pelajaran apa yang bisa kita tarik dari kasus di Amerika Serikat itu? Dalam pembangunan kekuatan AL, sebaiknya kita menyeimbangkan antara ability dan capability menghadapi ancaman atau tantangan simetris dengan asimetris. Kemungkinan kita untuk konflik terbuka dengan AL lain persentasenya kecil. Namun itu tidak berarti kita tidak bangun AL. Kita harus tetap bangun AL agar kita mempunyai kemampuan deterrence.
Soal asimetris, kita hingga 20 tahun ke depan mungkin akan lebih banyak menghadapi ancaman dan atau tantangan dari aktor non negara, seperti perompakan, terorisme maritim dan lain sebagainya. Kemampuan itu harus tetap kita bangun pula. Namun hendaknya kita juga jangan mempersempit batasan asimetris hanya untuk menghadapi aktor non negara.
Dengan segala keterbatasan, kita harus bangun AL yang mampu gelar perang asimetris terhadap aktor negara. Contoh dari perang asimetris adalah strategi anti akses. AL negara-negara lain boleh jadi lebih kuat daripada kita, tetapi kita harus punya strategi pamungkas untuk menggigit mereka. Itu harus pula kita kembangkan biar negara-negara di sekitar Indonesia tidak lagi melecehkan kita di laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar