All hands,
Kekuatan laut Amerika Serikat sebagai kekuatan ekspedisionari mempunyai tugas pokok untuk mengamankan kepentingan negerinya di seluruh dunia. Salah satu kepentingan itu adalah pengendalian SLOC. Pengendalian SLOC yang merupakan bagian dari pengendalian secara operasional dilaksanakan oleh U.S. Navy lewat Armada Atlantik dan Armada Pasifik. Sedangkan pada tingkat politik dan hukum dilaksanakan oleh DOS alias Department of State alias Departemen Luar Negeri.
Kalau kita telusuri lebih jauh resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1816 (2008) tentang Somalia, itu merupakan bagian dari pengendalian SLOC. Uwak Sam ingin mengamankan SLOC yang terbentang dari Afrika Timur sampai Asia Timur. Pengendalian itu lebih ditujukan untuk menghadapi tantangan dari aktor non negara daripada aktor negara. Karena bentangannya dari Afrika Timur hingga Asia Timur, maka perairan yurisdiksi Indonesia sudah termasuk di dalamnya.
Skenario pengendalian SLOC oleh Amerika Serikat harus kita pahami. Pemahaman itu penting karena kita nggak bisa abaikan kepentingan dia. Selain itu, kemampuan untuk mengendalikan perairan kita sehingga dapat digunakan dengan aman oleh para pengguna sesungguhnya merupakan bargaining power bagi Indonesia. Hanya saja soal ini banyak pihak yang nggak paham.
Dan yang tak kalah pentingnya, kita bisa kembangkan strategi anti akses berangkat dari pemahaman itu. Meskipun U.S. Navy bukan tandingan kita, tapi hendaknya kita sekali-sekali unjuk gigi juga, ketika digencet oleh dia secara politik.
Kemampuan AL kita salah satunya harus dibangun untuk pengendalian SLOC. Probilitas bagi kita untuk bertempur dengan AL lain antara 40-50 persen. Sebab Washington nggak akan biarkan di perairan yurisdiksi Indonesia sebagai bagian dari SLOC dia ada naval engagement. Naval engagement itu akan ganggu manuver kapal dia dari Samudera Pasifik ke Samudera India dan sebaliknya, juga ganggu dia secara politik.
Dengan probabilitas kita bertempur di laut cuma antara 40-50 persen, artinya kita perlu kembangkan kemampuan untuk pengendalian SLOC di masa damai. Untuk itu, kita sebaiknya prioritaskan pengadaan kapal patroli yang lebih banyak dalam kapal kombatan seperti korvet dan fregat.
Kita tetap butuh kapal korvet dan fregat, sebab itu untuk menggantikan kapal-kapal sejenis yang sudah saatnya diganti. Dari perhitungan kasar, dalam 5-15 tahun ke depan mungkin kita hanya butuh 6-8 korvet dan atau fregat untuk gantikan fregat kelas Van Speijk. 6-8 itu sudah perhitungkan proyeksi kemampuan dukungan anggaran kita.
Kapal patroli yang dimaksud bukan kapal plastik alias fiber, tapi minimal sekelas FPB-57 dengan dipersenjatai senjata pemukul berupa rudal atau torpedo. Jadi kecil-kecil cabe rawit. Janganlah kita memaksakan kapal yang spesifikasinya nggak cocok buat kapal patroli jadi kapal patroli.
Kekuatan laut Amerika Serikat sebagai kekuatan ekspedisionari mempunyai tugas pokok untuk mengamankan kepentingan negerinya di seluruh dunia. Salah satu kepentingan itu adalah pengendalian SLOC. Pengendalian SLOC yang merupakan bagian dari pengendalian secara operasional dilaksanakan oleh U.S. Navy lewat Armada Atlantik dan Armada Pasifik. Sedangkan pada tingkat politik dan hukum dilaksanakan oleh DOS alias Department of State alias Departemen Luar Negeri.
Kalau kita telusuri lebih jauh resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1816 (2008) tentang Somalia, itu merupakan bagian dari pengendalian SLOC. Uwak Sam ingin mengamankan SLOC yang terbentang dari Afrika Timur sampai Asia Timur. Pengendalian itu lebih ditujukan untuk menghadapi tantangan dari aktor non negara daripada aktor negara. Karena bentangannya dari Afrika Timur hingga Asia Timur, maka perairan yurisdiksi Indonesia sudah termasuk di dalamnya.
Skenario pengendalian SLOC oleh Amerika Serikat harus kita pahami. Pemahaman itu penting karena kita nggak bisa abaikan kepentingan dia. Selain itu, kemampuan untuk mengendalikan perairan kita sehingga dapat digunakan dengan aman oleh para pengguna sesungguhnya merupakan bargaining power bagi Indonesia. Hanya saja soal ini banyak pihak yang nggak paham.
Dan yang tak kalah pentingnya, kita bisa kembangkan strategi anti akses berangkat dari pemahaman itu. Meskipun U.S. Navy bukan tandingan kita, tapi hendaknya kita sekali-sekali unjuk gigi juga, ketika digencet oleh dia secara politik.
Kemampuan AL kita salah satunya harus dibangun untuk pengendalian SLOC. Probilitas bagi kita untuk bertempur dengan AL lain antara 40-50 persen. Sebab Washington nggak akan biarkan di perairan yurisdiksi Indonesia sebagai bagian dari SLOC dia ada naval engagement. Naval engagement itu akan ganggu manuver kapal dia dari Samudera Pasifik ke Samudera India dan sebaliknya, juga ganggu dia secara politik.
Dengan probabilitas kita bertempur di laut cuma antara 40-50 persen, artinya kita perlu kembangkan kemampuan untuk pengendalian SLOC di masa damai. Untuk itu, kita sebaiknya prioritaskan pengadaan kapal patroli yang lebih banyak dalam kapal kombatan seperti korvet dan fregat.
Kita tetap butuh kapal korvet dan fregat, sebab itu untuk menggantikan kapal-kapal sejenis yang sudah saatnya diganti. Dari perhitungan kasar, dalam 5-15 tahun ke depan mungkin kita hanya butuh 6-8 korvet dan atau fregat untuk gantikan fregat kelas Van Speijk. 6-8 itu sudah perhitungkan proyeksi kemampuan dukungan anggaran kita.
Kapal patroli yang dimaksud bukan kapal plastik alias fiber, tapi minimal sekelas FPB-57 dengan dipersenjatai senjata pemukul berupa rudal atau torpedo. Jadi kecil-kecil cabe rawit. Janganlah kita memaksakan kapal yang spesifikasinya nggak cocok buat kapal patroli jadi kapal patroli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar