All hands,
Amerika Serikat sebagai pencetus Proliferation Security Initiative (PSI) nggak cape-cape dan bosan-bosannya bujuk Indonesia dengan segala cara untuk setujui gagasan itu. Terakhir kalinya minggu lalu dalam sidang panel PBB mengenai hukum laut internasional. Dalam sidang itu, Washington melalui sekutu dan kawan-kawannya tanyakan kembali sikap Indonesia soal PSI.
Sikap Indonesia soal itu jelas, menolak. Karena dianggap bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS 1982) yang mengakui kedaulatan negara di wilayah perairan yurisdiksi. Selain itu, UNCLOS juga akui kebebasan bernavigasi yang tak bisa diinterupsi oleh negara pantai.
Masalah kebebasan bernavigasi itu sejak lama jadi ajang tarik menarik kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Ketika dulu bahas draf UNCLOS 1982, negara-negara maju nggak mau ada gangguan terhadap kebebasan bernavigasi di perairan yurisdiksi suatu negara. Sikap itu dilatarbelakangi oleh kepentingan mereka untuk menyebarkan kekuatan militer, khususnya kekuatan maritim, ke mana saja dan kapan saja. Maklum, waktu itu lama jaman Perang Dingin.
Sedangkan ada negara-negara berkembang yang nggak mau memberikan kebebasan bernavigasi secara mutlak di perairan yurisdiksi. Indonesia termasuk ke dalam kelompok itu. Setelah tarik-menarik kepentingan itu, lahirlah rezim lintas alur laut kepulauan alias archipelagic sea lanes (ASL). ASL yang di tempat kita dikenal sebagai ALKI sebenarnya merupakan jalan tengah alias alat take and give asalkan status negara kepulauan diakui oleh hukum laut internasional.
Ketika Perang Dingin usai, muncul ancaman asimetris. Yang paling terkenal yah terorisme dan proliferasi senjata pemusnah massal. Washington takut ada keterkaitan antara dua isu itu, yang mana dia takut kelompok teroris punya akses dan kuasai senjata pemusnah massal. Kalau sampai itu terjadi, om Sam akan kelabakan hadapi Osama Bin Ladin cs.
Makanya pada 28 April 2004 uwak Sam sponsori lahirnya resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1540 (2004) tentang proliferasi senjata pemusnah massal kepada aktor non negara. Nggak lama setelah resolusi itu lahir, dimunculkanlah PSI pada pertemuan di Krakow, Polandia pada 31 Mei-1 Juni 2004. Menurut data, lebih dari 60 negara yang menyatakan setujui dengan Statement of Interdiction Principles (SoIP)-nya PSI.
Di Asia Tenggara, cuma negeri kecil yang licik dan rakus yang terletak di utara Pulau Batam yang adopsi SoIP. Negara-negara lainnya masih belum setuju PSI. Bagi Washington sebagai penggagas PSI, partisipasi Indonesia sangat penting bagi PSI, sebab negeri kita tempat yang ideal untuk interdiksi maritim. Kita kan punya selat-selat, chokepoints yang merupakan bagian dari perlintasan navigasi internasional.
Sikap Indonesia soal PSI juga jelas dan terang benderang. Cuma ketika tekanan makin kuat, pada 2005 Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mencoba bermain taktis dengan menyatakan bisa menerima PSI on ad hoc. Sikap beliau yang begitu bagi saya sangat dipahami, karena sulit bagi Indonesia untuk tidak bersikap kooperatif terhadap om Sam. Cuma sikap itu ditentang keras oleh Menteri (di) Luar Negeri Hassan Wirayuda (maklum, dalam setahun hampir enam bulan posisinya di luar negeri terus). Wirayuda menentang keterlibatan apapun Indonesia dalam PSI.
Ketika sekarang Washington kembali menekan kita soal PSI, harusnya Indonesia bersikap taktis seperti yang pernah digagas oleh Menteri Pertahanan. Menurut pemahaman saya, Menteri Pertahanan lebih paham soal ”bermain” taktis daripada Menteri (di) Luar Negeri yang terlalu kaku dengan prinsip hukum. Kita harus pahami bahwa dalam pergaulan internasional, power alias kekuatan militer itu yang menentukan. Jadi percuma Menteri (di) Luar Negeri gembar-gembor soft diplomacy kalau kekuatan militer nggak mendukung itu.
Bagaimana kita bermain taktis soal PSI? Kita laksanakan terus latihan AL dengan U.S. PACOM, termasuk yang materinya interdiksi maritim. Kita juga harus coba jajaki intelligence sharing dengan U.S PACOM dengan syarat dia juga mau sharing info ”berat” ke kita. Kalau dia nggak mau sharing info ”berat”, susah. Uwak Sam kan curangnya di situ, minta info ”berat” ke kita, tapi dia nggak mau kasih info ”berat” juga. Jadi asas resiprokal alias timbal balik nggak berlaku.
Soal latihan-latihan dengan U.S. PACOM, Departemen (di) Luar Negeri harus diam aja, jangan risih dan cerewet. Dan kita sebaiknya tutup telinga kalo departemen itu risih dan cerewet. Ada kepentingan nasional yang harus kita amankan, dan untuk amankan itu kita harus bersikap taktis terhadap Washington. Hendaknya kita ingat, bila Washington gagal masuk di satu pintu, dia akan goyang kita lewat pintu lain.
Amerika Serikat sebagai pencetus Proliferation Security Initiative (PSI) nggak cape-cape dan bosan-bosannya bujuk Indonesia dengan segala cara untuk setujui gagasan itu. Terakhir kalinya minggu lalu dalam sidang panel PBB mengenai hukum laut internasional. Dalam sidang itu, Washington melalui sekutu dan kawan-kawannya tanyakan kembali sikap Indonesia soal PSI.
Sikap Indonesia soal itu jelas, menolak. Karena dianggap bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS 1982) yang mengakui kedaulatan negara di wilayah perairan yurisdiksi. Selain itu, UNCLOS juga akui kebebasan bernavigasi yang tak bisa diinterupsi oleh negara pantai.
Masalah kebebasan bernavigasi itu sejak lama jadi ajang tarik menarik kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Ketika dulu bahas draf UNCLOS 1982, negara-negara maju nggak mau ada gangguan terhadap kebebasan bernavigasi di perairan yurisdiksi suatu negara. Sikap itu dilatarbelakangi oleh kepentingan mereka untuk menyebarkan kekuatan militer, khususnya kekuatan maritim, ke mana saja dan kapan saja. Maklum, waktu itu lama jaman Perang Dingin.
Sedangkan ada negara-negara berkembang yang nggak mau memberikan kebebasan bernavigasi secara mutlak di perairan yurisdiksi. Indonesia termasuk ke dalam kelompok itu. Setelah tarik-menarik kepentingan itu, lahirlah rezim lintas alur laut kepulauan alias archipelagic sea lanes (ASL). ASL yang di tempat kita dikenal sebagai ALKI sebenarnya merupakan jalan tengah alias alat take and give asalkan status negara kepulauan diakui oleh hukum laut internasional.
Ketika Perang Dingin usai, muncul ancaman asimetris. Yang paling terkenal yah terorisme dan proliferasi senjata pemusnah massal. Washington takut ada keterkaitan antara dua isu itu, yang mana dia takut kelompok teroris punya akses dan kuasai senjata pemusnah massal. Kalau sampai itu terjadi, om Sam akan kelabakan hadapi Osama Bin Ladin cs.
Makanya pada 28 April 2004 uwak Sam sponsori lahirnya resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1540 (2004) tentang proliferasi senjata pemusnah massal kepada aktor non negara. Nggak lama setelah resolusi itu lahir, dimunculkanlah PSI pada pertemuan di Krakow, Polandia pada 31 Mei-1 Juni 2004. Menurut data, lebih dari 60 negara yang menyatakan setujui dengan Statement of Interdiction Principles (SoIP)-nya PSI.
Di Asia Tenggara, cuma negeri kecil yang licik dan rakus yang terletak di utara Pulau Batam yang adopsi SoIP. Negara-negara lainnya masih belum setuju PSI. Bagi Washington sebagai penggagas PSI, partisipasi Indonesia sangat penting bagi PSI, sebab negeri kita tempat yang ideal untuk interdiksi maritim. Kita kan punya selat-selat, chokepoints yang merupakan bagian dari perlintasan navigasi internasional.
Sikap Indonesia soal PSI juga jelas dan terang benderang. Cuma ketika tekanan makin kuat, pada 2005 Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mencoba bermain taktis dengan menyatakan bisa menerima PSI on ad hoc. Sikap beliau yang begitu bagi saya sangat dipahami, karena sulit bagi Indonesia untuk tidak bersikap kooperatif terhadap om Sam. Cuma sikap itu ditentang keras oleh Menteri (di) Luar Negeri Hassan Wirayuda (maklum, dalam setahun hampir enam bulan posisinya di luar negeri terus). Wirayuda menentang keterlibatan apapun Indonesia dalam PSI.
Ketika sekarang Washington kembali menekan kita soal PSI, harusnya Indonesia bersikap taktis seperti yang pernah digagas oleh Menteri Pertahanan. Menurut pemahaman saya, Menteri Pertahanan lebih paham soal ”bermain” taktis daripada Menteri (di) Luar Negeri yang terlalu kaku dengan prinsip hukum. Kita harus pahami bahwa dalam pergaulan internasional, power alias kekuatan militer itu yang menentukan. Jadi percuma Menteri (di) Luar Negeri gembar-gembor soft diplomacy kalau kekuatan militer nggak mendukung itu.
Bagaimana kita bermain taktis soal PSI? Kita laksanakan terus latihan AL dengan U.S. PACOM, termasuk yang materinya interdiksi maritim. Kita juga harus coba jajaki intelligence sharing dengan U.S PACOM dengan syarat dia juga mau sharing info ”berat” ke kita. Kalau dia nggak mau sharing info ”berat”, susah. Uwak Sam kan curangnya di situ, minta info ”berat” ke kita, tapi dia nggak mau kasih info ”berat” juga. Jadi asas resiprokal alias timbal balik nggak berlaku.
Soal latihan-latihan dengan U.S. PACOM, Departemen (di) Luar Negeri harus diam aja, jangan risih dan cerewet. Dan kita sebaiknya tutup telinga kalo departemen itu risih dan cerewet. Ada kepentingan nasional yang harus kita amankan, dan untuk amankan itu kita harus bersikap taktis terhadap Washington. Hendaknya kita ingat, bila Washington gagal masuk di satu pintu, dia akan goyang kita lewat pintu lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar