All hands,
Hasil pertemuan ASEAN Regional Forum 24 Juli 2008 di Singapura harus kita cermati, karena ketiga domain kerjasama yang disepakati mempunyai kaitan langsung dengan Angkatan Laut. Sidang ARF menghasilkan tiga agenda kesepakatan yaitu keamanan maritim, disarmament dan terorisme. Ketiganya jelas punya kaitan langsung dengan AL kita.
Kalau soal keamanan maritim dan terorisme kita sudah sangat paham apa dan bagaimana kaitannya dengan Angkatan Laut. Yang lebih seru dan wajib kita pahami pula adalah soal disarmament. Bahaya itu kalau sudah masuk agenda ARF.
Sadar atau nggak, kita sedang terus jalani naval disarmament. Bentuk nyatanya adalah embargo kepada Angkatan Laut. Contoh, AL kita mau beli rudal Exocet MM-40 dari Prancis (hidup lichting 40…), Washington protes sama Eropa selaku produsen. Alasannya, di rudal keluaran MBDA itu ada komponen buatan Amerika Serikat, sementara Amerika Serikat sendiri masih mengembargo senjata kepada Indonesia.
Betul bahwa sejak November 2005 Menteri Luar Negeri Condolezza Rice gunakan waiver untuk pulihkan kerjasama pertahanan dengan Indonesia. Tetapi dalam kenyataannya, masih saja ada jenis senjata yang perlu otorisasi dari Washington untuk dijual kepada Jakarta. Nggak heran bila sekarang kita mulai berpaling ke Cina dan Rusia untuk beli rudal anti kapal atas air.
Tujuan dari naval disarmament adalah memperlemah kemampuan AL dalam melaksanakan perannya. Masalahnya adalah sebagian dari bangsa Indonesia nggak sadar soal itu. Bayangkan, dua diplomat terkemuka Indonesia yaitu Ali Alatas dan Ambassador Arizal Effendi pernah jadi ketua pertemuan disarmament PBB, yang salah satu topiknya adalah naval disarmament. Celaka itu!!!
Dengan masuknya isu disarmament ke dalam agenda ARF, lalu apa yang bisa kita perbuat? Indonesia harus tekankan bahwa stabilitas keamanan kawasan ditentukan pula oleh kinerja AL Indonesia. Oleh karena itu, merupakan suatu tindakan yang kontraproduktif apabila sebagian negara-negara produsen senjata melanjutkan program naval disarmament terhadap Indonesia.
Itu pesan yang harus kita sampaikan di ARF. Kalau AL kita terus kena naval disarmament, sudah pasti akan berimplikasi terhadap keamanan maritim di Asia Tenggara. Karena kemampuan kita untuk amankan perairan yurisdiksi mengalami penurunan. Masuknya kekuatan ekstra kawasan untuk amankan perairan yurisdiksi Indonesia merupakan tindakan kontraproduktif pula, karena akan memancing pihak ketiga untuk menjadi AL ekstra kawasan itu sebagai sasaran.
Kita harus pintar hadapi isu naval disarmament itu. Gimana kita bisa wujudkan AL yang mampu amankan kepentingan nasional, mempunyai deterrence dan menjamin stabilitas kawasan kalau AL kita dikebiri oleh produsen senjata? Nggak usah mimpi kita akan mandiri dalam hal alutsista AL dalam 30 tahun ke depan. Daripada sibuk dengan urusan mandiri, lebih baik bereskan urusan yang ada di depan mata kita yaitu naval disarmament.
Hasil pertemuan ASEAN Regional Forum 24 Juli 2008 di Singapura harus kita cermati, karena ketiga domain kerjasama yang disepakati mempunyai kaitan langsung dengan Angkatan Laut. Sidang ARF menghasilkan tiga agenda kesepakatan yaitu keamanan maritim, disarmament dan terorisme. Ketiganya jelas punya kaitan langsung dengan AL kita.
Kalau soal keamanan maritim dan terorisme kita sudah sangat paham apa dan bagaimana kaitannya dengan Angkatan Laut. Yang lebih seru dan wajib kita pahami pula adalah soal disarmament. Bahaya itu kalau sudah masuk agenda ARF.
Sadar atau nggak, kita sedang terus jalani naval disarmament. Bentuk nyatanya adalah embargo kepada Angkatan Laut. Contoh, AL kita mau beli rudal Exocet MM-40 dari Prancis (hidup lichting 40…), Washington protes sama Eropa selaku produsen. Alasannya, di rudal keluaran MBDA itu ada komponen buatan Amerika Serikat, sementara Amerika Serikat sendiri masih mengembargo senjata kepada Indonesia.
Betul bahwa sejak November 2005 Menteri Luar Negeri Condolezza Rice gunakan waiver untuk pulihkan kerjasama pertahanan dengan Indonesia. Tetapi dalam kenyataannya, masih saja ada jenis senjata yang perlu otorisasi dari Washington untuk dijual kepada Jakarta. Nggak heran bila sekarang kita mulai berpaling ke Cina dan Rusia untuk beli rudal anti kapal atas air.
Tujuan dari naval disarmament adalah memperlemah kemampuan AL dalam melaksanakan perannya. Masalahnya adalah sebagian dari bangsa Indonesia nggak sadar soal itu. Bayangkan, dua diplomat terkemuka Indonesia yaitu Ali Alatas dan Ambassador Arizal Effendi pernah jadi ketua pertemuan disarmament PBB, yang salah satu topiknya adalah naval disarmament. Celaka itu!!!
Dengan masuknya isu disarmament ke dalam agenda ARF, lalu apa yang bisa kita perbuat? Indonesia harus tekankan bahwa stabilitas keamanan kawasan ditentukan pula oleh kinerja AL Indonesia. Oleh karena itu, merupakan suatu tindakan yang kontraproduktif apabila sebagian negara-negara produsen senjata melanjutkan program naval disarmament terhadap Indonesia.
Itu pesan yang harus kita sampaikan di ARF. Kalau AL kita terus kena naval disarmament, sudah pasti akan berimplikasi terhadap keamanan maritim di Asia Tenggara. Karena kemampuan kita untuk amankan perairan yurisdiksi mengalami penurunan. Masuknya kekuatan ekstra kawasan untuk amankan perairan yurisdiksi Indonesia merupakan tindakan kontraproduktif pula, karena akan memancing pihak ketiga untuk menjadi AL ekstra kawasan itu sebagai sasaran.
Kita harus pintar hadapi isu naval disarmament itu. Gimana kita bisa wujudkan AL yang mampu amankan kepentingan nasional, mempunyai deterrence dan menjamin stabilitas kawasan kalau AL kita dikebiri oleh produsen senjata? Nggak usah mimpi kita akan mandiri dalam hal alutsista AL dalam 30 tahun ke depan. Daripada sibuk dengan urusan mandiri, lebih baik bereskan urusan yang ada di depan mata kita yaitu naval disarmament.
1 komentar:
negara produsen emang rese, suka pengen ikut campur aja urusan negara laen
Posting Komentar