All hands,
Rudal merupakan senjata strategis yang sangat diperhitungkan oleh lawan. Oleh sebab itu, negara-negara maju berupaya membatasi alih teknologi rudal ke negara-negara berkembang melalui Missile Transfer Control Regime (MTCR) yang kini beranggotakan 33 negara. Rezim MTCR mengawasi dengan ketat alih teknologi roket/rudal, karena teknologi roket merupakan dual use technology. Bisa digunakan untuk kepentingan antariksa sipil, bisa pula sebagai senjata balistik atau rudal.
Upaya pengembangan rudal nasional selama ini terhalang oleh MTCR. Begitu pula dengan peroketan nasional. Untuk propelan yang termasuk dalam item yang diawasi oleh MTCR, Indonesia melakukan impor lewat jalan belakang alias diam-diam. Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya dari pemerintah untuk mempercepat penguasaan teknologi rudal.
Sepengetahuan saya, dalam teknologi rudal secara garis besar yang signifikan itu mencakup propelan dan sistem kendali. Soal hulu ledak tidak kita bahas di sini. Urusan propelan dan sistem kendali adalah dua masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini. Lalu bagaimana mengatasi masalah itu?
Sejak beberapa tahun lalu, dalam naskah atau tulisan untuk kepentingan tertentu, saya menyarankan agar pemerintah menempuh jalan pintas yang belum pernah ditempuh. Yaitu sewa para ahli rudal dari negara-negara Eropa Timur atau eks Uni Soviet. Bayar mereka dengan mahal, asalkan mereka mau memenuhi permintaan kita, termasuk transfer ilmu rudal ke tenaga ahli Indonesia.
Singapura menempuh cara demikian dengan menyewa ahli rudal eks Uni Soviet sekitar 15 tahun lalu. Negeri itu juga bekerjasama dengan Israel untuk mengembangkan rudal Barak yang kini terpasang di beberapa kapal perangnya. Jadi jangan heran bila para tenaga ahli Singapura sudah menguasai teknologi rudal saat ini dan tinggal tunggu waktunya muncul rudal made in Singapore.
Singapura menyewa mahal para ahli itu dan dana yang digunakan untuk membayar mereka tidak tercantum dalam anggaran pertahanan. Sebab dananya ditaruh dalam anggaran perusahaan BUMN Singapura, kalau tak keliru Singapore Technology. Jadi disamarkan sebagai bisnis perusahaan.
Indonesia pun bisa meniru langkah demikian. Dananya jangan ditaruh di APBN, nanti ada yang marah-marah dan main potong. Lebih aman taruh di salah satu anggaran BUMN. Cara itu menurut saya aman, asalkan Indonesia berani main mata dengan 2-3 anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Rudal merupakan senjata strategis yang sangat diperhitungkan oleh lawan. Oleh sebab itu, negara-negara maju berupaya membatasi alih teknologi rudal ke negara-negara berkembang melalui Missile Transfer Control Regime (MTCR) yang kini beranggotakan 33 negara. Rezim MTCR mengawasi dengan ketat alih teknologi roket/rudal, karena teknologi roket merupakan dual use technology. Bisa digunakan untuk kepentingan antariksa sipil, bisa pula sebagai senjata balistik atau rudal.
Upaya pengembangan rudal nasional selama ini terhalang oleh MTCR. Begitu pula dengan peroketan nasional. Untuk propelan yang termasuk dalam item yang diawasi oleh MTCR, Indonesia melakukan impor lewat jalan belakang alias diam-diam. Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya dari pemerintah untuk mempercepat penguasaan teknologi rudal.
Sepengetahuan saya, dalam teknologi rudal secara garis besar yang signifikan itu mencakup propelan dan sistem kendali. Soal hulu ledak tidak kita bahas di sini. Urusan propelan dan sistem kendali adalah dua masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini. Lalu bagaimana mengatasi masalah itu?
Sejak beberapa tahun lalu, dalam naskah atau tulisan untuk kepentingan tertentu, saya menyarankan agar pemerintah menempuh jalan pintas yang belum pernah ditempuh. Yaitu sewa para ahli rudal dari negara-negara Eropa Timur atau eks Uni Soviet. Bayar mereka dengan mahal, asalkan mereka mau memenuhi permintaan kita, termasuk transfer ilmu rudal ke tenaga ahli Indonesia.
Singapura menempuh cara demikian dengan menyewa ahli rudal eks Uni Soviet sekitar 15 tahun lalu. Negeri itu juga bekerjasama dengan Israel untuk mengembangkan rudal Barak yang kini terpasang di beberapa kapal perangnya. Jadi jangan heran bila para tenaga ahli Singapura sudah menguasai teknologi rudal saat ini dan tinggal tunggu waktunya muncul rudal made in Singapore.
Singapura menyewa mahal para ahli itu dan dana yang digunakan untuk membayar mereka tidak tercantum dalam anggaran pertahanan. Sebab dananya ditaruh dalam anggaran perusahaan BUMN Singapura, kalau tak keliru Singapore Technology. Jadi disamarkan sebagai bisnis perusahaan.
Indonesia pun bisa meniru langkah demikian. Dananya jangan ditaruh di APBN, nanti ada yang marah-marah dan main potong. Lebih aman taruh di salah satu anggaran BUMN. Cara itu menurut saya aman, asalkan Indonesia berani main mata dengan 2-3 anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
2 komentar:
setuju tor, kalau negara sekelas Pakistan, Iran dan Korut pun mampu mengembangkan teknologi rudal mereka mengapa kita tidak bisa. Negara kita adalah negara besar, banyak SDM berkualitas kita yang mencari nafkah di Aerospatiale, McDonell ataupun Boeing, ini berarti SDM kita tidak kalah dalam pengembangan teknologi roket..tinggal kemauan dan kesungguhan pemerintah saja.
Saat ini, putra bangsa sedang menyiapkan propelan dengan bahan baku dari dalam negeri, Secara empiris membuktikan bahwa propelan tersebut dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, jadi kalau memang konsisten dan ada kemauan keras indonesia dalam waktu dekat mampu membuat rudal balistik syukur kalau secara bersamaan dapat rudal kendali.
Mudah-mudahan bukan keinginan thok cak, dukunglah sing bener biar pener. Masak gini terus, makanya hayo cancut tali wondo.310548310548
Posting Komentar