All hands,
Dengan mengambil kasus pembangunan kekuatan laut Australia sebagai sebuah contoh yang bagus, menurut hemat saya, dengan segala keterbatasan yang melingkupi pembangunan kekuatan AL negeri tercinta, sebaiknya kita memprioritaskan pada kemampuan sensing. Prioritas pada kemampuan sensing bukan berarti menganaktirikan mobility, firepower dan C4ISR. Semua kemampuan itu harus dimiliki pada waktu yang sama, hanya saja prioritas anggaran berbeda.
Sebagai contoh, isu mobility saat ini relatif tidak menjadi masalah berat buat AL kita karena sebagian besar alutsista kita mampu melaksanakan itu. Kalau pun ada yang mobility-nya kurang, hal itu tak lepas dari usia kapal yang sudah melampaui ambang ekonomis. Itu pun jumlahnya tak seberapa dibandingkan jumlah KRI secara keseluruhan.
Pulihnya kemampuan mobility AL kita tak lepas dari program yang dijalankan sejak beberapa tahun ke belakang secara berkesinambungan dan tidak terlalu terpengaruh oleh pergantian kepemimpinan organisasi. Sebab siapa pun yang memimpin, pasti menginginkan hal yang sama yaitu kehadiran unsur di laut yang cukup tinggi. Untuk mewujudkan keinginan itu, program untuk “mendorong” kapal ke laut dilaksanakan melalui pembenahan kemampuan mobility.
Setelah mobility tercapai, kini tantangannya adalah pembenahan firepower dan sensing. Pembenahan firepower memang berjalannya tidak secepat mobility, karena urusan ini lebih rumit dan lebih sensitif isu politik (hubungan antar negara). Dengan mulai terwujudnya beberapa kapal patroli FPB-57 Nav V yang dipersenjatai dengan senjata strategis rudal C-802, hal itu memperlihatkan bahwa pembenahan di bidang firepower sesungguhnya berjalan. Sepertinya butuh 1-3 tahun lagi untuk menyelesaikan pembenahan ini, menunggu selesainya realisasi pemasangan beberapa senjata strategis lainnya.
Sambil menunggu selesainya pembenahan firepower, sebaiknya mulai memprioritaskan pula pada kemampuan sensing. Modal untuk kemampuan sensing sudah ada yaitu program IMSS Section 1206 dan 1207. Dengan terpasang di Selat Malaka dan Selat Makassar, artinya terjadi peningkatan kita untuk melaksanakan sensing dibandingkan kondisi saat ini. Dengan demikian, upaya penciptaan maritime domain awareness melalui surface maritime picture pada dua perairan strategis itu bisa terwujud.
Karena luasnya perairan Indonesia yang harus diamankan oleh AL kita, diperlukan lebih banyak lagi stasiun radar pengamatan maritim. Berdasarkan pertimbangan strategis, sebaiknya pembangunan stasiun radar pengamatan maritim diprioritaskan pada perairan strategis seperti choke points, focal points dan ALKI. Seperti di Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Ombai-Wetar, Laut Natuna dan ALKI III.
Menyadari bahwa jangkauan radar pengamatan maritim terbatas, kemampuan sensing harus didukung pula oleh unsur pesawat patroli maritim. Pilihannya ada dua, yaitu sepenuhnya bertumpu pada aset yang kita miliki atau disinergikan dengan aset yang dipunyai oleh AU. Kalau disinergikan akan lebih bagus, asalkan dalam konteks joint operations alias operasi gabungan. Agar jelas who's in-charge, selain juga tentu saja dukungan anggarannya.
Ketika menyentuh kata operasi gabungan, halangan pertama akan muncul dari Skep Panglima ABRI yang mengatur bahwa operasi gabungan digelar bila ada ancaman nyata terhadap keutuhan, kedaulatan……negara Republik Indonesia. Definisi ini menjadi masalah di masa kini, sebab sebenarnya operasi gabungan itu seharusnya dapat digelar setiap saat tanpa harus ada imminent threat.
Kembali ke soal kemampuan sensing, nampaknya hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya yang dapat dilaksanakan oleh negeri ini hingga 2014. Mengingat rencana strategis TNI berikutnya adalah periode 2010-2014 dan selama periode itu, perubahan rencana strategis dapat diakomodasi setelah dilakukan evaluasi terhadap program yang berjalan. Bila memang Renstra TNI 2010-2014 belum memprioritaskan sensing, bisa saja renstra itu diubah berdasarkan usulan dari matra Angkatan.
Beyond 2014, menurut hemat saya, Indonesia harus berpikir bagaimana bisa memiliki dan mengoperasikan OTHR seperti Jindalee untuk memantau pergerakan pihak lain di wilayah yurisdiksi negeri ini. Soal hal itu baru bisa terwujud 2025, nggak ada masalah. Yang penting jauh-jauh hari sudah dirancang, sebab untuk membangun suatu kemampuan sensing memang tidak bisa secepat pancaran gelombang elektromagnetik.
Dengan mengambil kasus pembangunan kekuatan laut Australia sebagai sebuah contoh yang bagus, menurut hemat saya, dengan segala keterbatasan yang melingkupi pembangunan kekuatan AL negeri tercinta, sebaiknya kita memprioritaskan pada kemampuan sensing. Prioritas pada kemampuan sensing bukan berarti menganaktirikan mobility, firepower dan C4ISR. Semua kemampuan itu harus dimiliki pada waktu yang sama, hanya saja prioritas anggaran berbeda.
Sebagai contoh, isu mobility saat ini relatif tidak menjadi masalah berat buat AL kita karena sebagian besar alutsista kita mampu melaksanakan itu. Kalau pun ada yang mobility-nya kurang, hal itu tak lepas dari usia kapal yang sudah melampaui ambang ekonomis. Itu pun jumlahnya tak seberapa dibandingkan jumlah KRI secara keseluruhan.
Pulihnya kemampuan mobility AL kita tak lepas dari program yang dijalankan sejak beberapa tahun ke belakang secara berkesinambungan dan tidak terlalu terpengaruh oleh pergantian kepemimpinan organisasi. Sebab siapa pun yang memimpin, pasti menginginkan hal yang sama yaitu kehadiran unsur di laut yang cukup tinggi. Untuk mewujudkan keinginan itu, program untuk “mendorong” kapal ke laut dilaksanakan melalui pembenahan kemampuan mobility.
Setelah mobility tercapai, kini tantangannya adalah pembenahan firepower dan sensing. Pembenahan firepower memang berjalannya tidak secepat mobility, karena urusan ini lebih rumit dan lebih sensitif isu politik (hubungan antar negara). Dengan mulai terwujudnya beberapa kapal patroli FPB-57 Nav V yang dipersenjatai dengan senjata strategis rudal C-802, hal itu memperlihatkan bahwa pembenahan di bidang firepower sesungguhnya berjalan. Sepertinya butuh 1-3 tahun lagi untuk menyelesaikan pembenahan ini, menunggu selesainya realisasi pemasangan beberapa senjata strategis lainnya.
Sambil menunggu selesainya pembenahan firepower, sebaiknya mulai memprioritaskan pula pada kemampuan sensing. Modal untuk kemampuan sensing sudah ada yaitu program IMSS Section 1206 dan 1207. Dengan terpasang di Selat Malaka dan Selat Makassar, artinya terjadi peningkatan kita untuk melaksanakan sensing dibandingkan kondisi saat ini. Dengan demikian, upaya penciptaan maritime domain awareness melalui surface maritime picture pada dua perairan strategis itu bisa terwujud.
Karena luasnya perairan Indonesia yang harus diamankan oleh AL kita, diperlukan lebih banyak lagi stasiun radar pengamatan maritim. Berdasarkan pertimbangan strategis, sebaiknya pembangunan stasiun radar pengamatan maritim diprioritaskan pada perairan strategis seperti choke points, focal points dan ALKI. Seperti di Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Ombai-Wetar, Laut Natuna dan ALKI III.
Menyadari bahwa jangkauan radar pengamatan maritim terbatas, kemampuan sensing harus didukung pula oleh unsur pesawat patroli maritim. Pilihannya ada dua, yaitu sepenuhnya bertumpu pada aset yang kita miliki atau disinergikan dengan aset yang dipunyai oleh AU. Kalau disinergikan akan lebih bagus, asalkan dalam konteks joint operations alias operasi gabungan. Agar jelas who's in-charge, selain juga tentu saja dukungan anggarannya.
Ketika menyentuh kata operasi gabungan, halangan pertama akan muncul dari Skep Panglima ABRI yang mengatur bahwa operasi gabungan digelar bila ada ancaman nyata terhadap keutuhan, kedaulatan……negara Republik Indonesia. Definisi ini menjadi masalah di masa kini, sebab sebenarnya operasi gabungan itu seharusnya dapat digelar setiap saat tanpa harus ada imminent threat.
Kembali ke soal kemampuan sensing, nampaknya hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya yang dapat dilaksanakan oleh negeri ini hingga 2014. Mengingat rencana strategis TNI berikutnya adalah periode 2010-2014 dan selama periode itu, perubahan rencana strategis dapat diakomodasi setelah dilakukan evaluasi terhadap program yang berjalan. Bila memang Renstra TNI 2010-2014 belum memprioritaskan sensing, bisa saja renstra itu diubah berdasarkan usulan dari matra Angkatan.
Beyond 2014, menurut hemat saya, Indonesia harus berpikir bagaimana bisa memiliki dan mengoperasikan OTHR seperti Jindalee untuk memantau pergerakan pihak lain di wilayah yurisdiksi negeri ini. Soal hal itu baru bisa terwujud 2025, nggak ada masalah. Yang penting jauh-jauh hari sudah dirancang, sebab untuk membangun suatu kemampuan sensing memang tidak bisa secepat pancaran gelombang elektromagnetik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar