All hands,
Apabila dipersentasikan secara garis besar, 60 persen dari perairan di negeri ini merupakan perairan dalam dan hanya 40 persen yang berstatus perairan dangkal. 60 persen perairan dalam itu meliputi perairan Laut Jawa dan perairan lainnya di Indonesia bagian timur, sedangkan 40 persennya mencakup perairan di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatera (minus Laut Natuna). Seringkali persentasi demikian diterjemahkan secara keliru menjadi perairan kawasan timur cocok bagi peperangan kapal selam dan perairan kawasan barat tepat untuk peperangan ranjau. Begitulah pemahaman yang selama ini “hidup” di lingkungan AL kita.
Sebagian pihak berpendapat bahwa perairan kawasan barat tetap cocok untuk peperangan kapal selam, meskipun perairan tersebut lebih dangkal dibandingkan perairan kawasan timur. Hanya saja taktik peperangan yang digunakan sedikit berbeda, karena perairan ini adalah perairan dangkal. Dan kapal selam yang cocok untuk perairan dangkal adalah kapal selam diesel, terlebih lagi bila yang digunakan adalah kapal selam pantai sekelas U-206. Namun tidak berarti bahwa kapal selam ocean going seperti U-209 atau sejenisnya tidak cocok.
Menyangkut perairan timur, tidak dapat dibantah bahwa perairan itu memang tepat untuk peperangan kapal selam. Kedalaman perairan itu beserta kondisi hidrografi dan oseanografinya sangat cocok untuk menggelar peperangan kapal selam secara penuh. Terkait dengan hal tersebut, sebaiknya pengembangan kemampuan peperangan kapal selam di perairan kawasan timur mulai diprioritaskan. Terlebih dalam 2-3 tahun ke depan, AL kita akan memperoleh kapal selam baru yang berkualifikasi ocean going.
Apa alasan yang mendorong pengembangan kemampuan itu di perairan kawasan timur? Pertama, selama ini pengendalian kita terhadap perairan itu, khususnya pada aspek bawah air, relatif lemah. Kapal selam negara-negara maju berseliweran di perairan itu tanpa sepenuhnya mampu kita deteksi. Termasuk pula kapal selam Australia, meskipun saat ini dari enam kapal selam kelas Collins, yang berstatus siap operasi cuma dua kapal selam.
Kedua, perairan itu masih rawan konflik khususnya terkait isu Papua. Sudah menjadi rahasia bahwa konflik di Papua tidak lepas dari bantuan klandestin dari Australia, seperti halnya Timor Timur di masa lalu. Yang perlu diantisipasi adalah kontinjensi di wilayah itu, yang sudah pasti akan “mengundang” keterlibatan militer Australia.
Mengingat bahwa peningkatan kemampuan peperangan kapal selam tidak dapat dilaksanakan secara masif dalam waktu singkat, minimal langkah yang dilakukan adalah memperbaiki kinerja sensor kapal-kapal perang atas air. Dalam waktu yang bersamaan, perlu dilakukan survei hidrografi militer di perairan itu untuk mendukung “pengetahuan” kita mengenai sifat-sifat perairan tersebut, seperti salinitas, temperatur, kecepatan rambat suara dalam air, layer dan lain sebagainya. Data-data mengenai itu harus senantiasa diperbaharui dan tidak dapat menggantungkan diri pada data lama.
Masih ada langkah-langkah lain yang sifatnya lebih “berat” dan membutuhkan kerjasama lintas instansi. Artinya tidak dapat bertumpu pada AL kita, karena AL kita kemampuannya juga terbatas. Dengan kata lain, peningkatan kemampuan peperangan kapal selam, khususnya yang terkait dengan data-data ilmiah perairan kawasan timur membutuhkan kerjasama dari instansi lain yang terkait, seperti BPPT, LIPI dan lain sebagainya.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh AL sebatas pada ruang lingkup kewenangannya, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Termasuk pula soal kemampuan peperangan itu sendiri, baik pada unsur kapal selam, kapal atas air maupun pesawat udara.
Apabila dipersentasikan secara garis besar, 60 persen dari perairan di negeri ini merupakan perairan dalam dan hanya 40 persen yang berstatus perairan dangkal. 60 persen perairan dalam itu meliputi perairan Laut Jawa dan perairan lainnya di Indonesia bagian timur, sedangkan 40 persennya mencakup perairan di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatera (minus Laut Natuna). Seringkali persentasi demikian diterjemahkan secara keliru menjadi perairan kawasan timur cocok bagi peperangan kapal selam dan perairan kawasan barat tepat untuk peperangan ranjau. Begitulah pemahaman yang selama ini “hidup” di lingkungan AL kita.
Sebagian pihak berpendapat bahwa perairan kawasan barat tetap cocok untuk peperangan kapal selam, meskipun perairan tersebut lebih dangkal dibandingkan perairan kawasan timur. Hanya saja taktik peperangan yang digunakan sedikit berbeda, karena perairan ini adalah perairan dangkal. Dan kapal selam yang cocok untuk perairan dangkal adalah kapal selam diesel, terlebih lagi bila yang digunakan adalah kapal selam pantai sekelas U-206. Namun tidak berarti bahwa kapal selam ocean going seperti U-209 atau sejenisnya tidak cocok.
Menyangkut perairan timur, tidak dapat dibantah bahwa perairan itu memang tepat untuk peperangan kapal selam. Kedalaman perairan itu beserta kondisi hidrografi dan oseanografinya sangat cocok untuk menggelar peperangan kapal selam secara penuh. Terkait dengan hal tersebut, sebaiknya pengembangan kemampuan peperangan kapal selam di perairan kawasan timur mulai diprioritaskan. Terlebih dalam 2-3 tahun ke depan, AL kita akan memperoleh kapal selam baru yang berkualifikasi ocean going.
Apa alasan yang mendorong pengembangan kemampuan itu di perairan kawasan timur? Pertama, selama ini pengendalian kita terhadap perairan itu, khususnya pada aspek bawah air, relatif lemah. Kapal selam negara-negara maju berseliweran di perairan itu tanpa sepenuhnya mampu kita deteksi. Termasuk pula kapal selam Australia, meskipun saat ini dari enam kapal selam kelas Collins, yang berstatus siap operasi cuma dua kapal selam.
Kedua, perairan itu masih rawan konflik khususnya terkait isu Papua. Sudah menjadi rahasia bahwa konflik di Papua tidak lepas dari bantuan klandestin dari Australia, seperti halnya Timor Timur di masa lalu. Yang perlu diantisipasi adalah kontinjensi di wilayah itu, yang sudah pasti akan “mengundang” keterlibatan militer Australia.
Mengingat bahwa peningkatan kemampuan peperangan kapal selam tidak dapat dilaksanakan secara masif dalam waktu singkat, minimal langkah yang dilakukan adalah memperbaiki kinerja sensor kapal-kapal perang atas air. Dalam waktu yang bersamaan, perlu dilakukan survei hidrografi militer di perairan itu untuk mendukung “pengetahuan” kita mengenai sifat-sifat perairan tersebut, seperti salinitas, temperatur, kecepatan rambat suara dalam air, layer dan lain sebagainya. Data-data mengenai itu harus senantiasa diperbaharui dan tidak dapat menggantungkan diri pada data lama.
Masih ada langkah-langkah lain yang sifatnya lebih “berat” dan membutuhkan kerjasama lintas instansi. Artinya tidak dapat bertumpu pada AL kita, karena AL kita kemampuannya juga terbatas. Dengan kata lain, peningkatan kemampuan peperangan kapal selam, khususnya yang terkait dengan data-data ilmiah perairan kawasan timur membutuhkan kerjasama dari instansi lain yang terkait, seperti BPPT, LIPI dan lain sebagainya.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh AL sebatas pada ruang lingkup kewenangannya, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Termasuk pula soal kemampuan peperangan itu sendiri, baik pada unsur kapal selam, kapal atas air maupun pesawat udara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar