All hands,
Dalam dunia militer, salah satu cara untuk menjaga dan meningkatkan profesionalisme personel dan satuan adalah melalui latihan rutin. Begitu pula dengan Satuan Ranjau sebagai salah satu satuan yang tidak bisa dipandang sebelah mata eksistensinya dalam organisasi Angkatan Laut, khususnya di armada. Satuan Ranjau dapat di-employ bukan saja pada saat ada konflik terbuka, namun juga pada masa damai.
Misalnya menghadapi ancaman ranjau yang ditebarkan oleh aktor non negara pada jalur pelayaran atau ancaman ranjau pada jalur pelayaran akibat sisa konflik masa lalu. Ancaman ranjau yang dimunculkan oleh aktor non negara bukan sekedar isapan jempol, karena ranjau tergolong senjata yang murah namun mematikan dan sekaligus memiliki dampak politik dan ekonomi yang besar. Itulah sebabnya mengapa Singapura takut apabila Indonesia menskenariokan adanya peranjauan di Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai salah satu skenario yang mungkin dilakukan oleh aktor non negara untuk mengancam keamanan maritim. Kalau aktor non negara saja mungkin melakukan itu, apalagi Indonesia yang dapat melaksanakan hal yang sama saat konflik dengan negara kecil yang kecil, kaya namun licik dan rakus itu.
Terkait dengan hal tersebut, untuk memelihara profesionalisme Satuan Ranjau ketika tak ada konflik, salah satu cara adalah melalui latihan, latihan dan latihan. Latihan di Angkatan Laut kan ada empat tingkatan, mulai dari L-1 sampai dengan L-4. Itulah yang sebaiknya terus dilakukan, sebagai bagian dari pembinaan kekuatan.
Hendaknya ketidakbijaksanaan di masa lalu yang memberdayakan Satuan Ranjau ketika masa damai dengan melaksanakan patroli keamanan laut tidak terulang lagi. Menurut hemat saya, langkah demikian kurang bijak sebab selain dapat mengurangi profesionalisme personel di Satuan Ranjau terhadap tugas pokoknya, juga menyalahi fungsi asasi kapal itu sendiri. Lain halnya kalau ketika kapal ranjau tengah berlayar dan di depan mata melihat sendiri tindakan pelanggaran hukum di laut dan kemudian menindaknya.
Hal lain yang perlu diperhatikan, hendaknya MCM dilaksanakan langsung oleh unsur kapal ranjau, bukan oleh personel Pasukan Katak yang terjun ke laut dan mencari posisi ranjau berdasarkan hasil tangkapan alat bantu bawah air. Kecuali pada perairan dangkal yang mana kapal ranjau tidak dapat bermanuver. Selama ini terkadang kegiatan MCM lebih mengandalkan pada personel Pasukan Katak dan kurang memberdayakan unsur kapal ranjau itu sendiri. Akhirnya yang lebih profesional adalah Pasukan Katak, bukan unsur kapal ranjau.
Ancaman peranjauan tidak hanya terjadi ketika ada perang atau konflik, namun juga di masa damai seperti saat ini. Oleh sebab itu, kesiapan Satuan Ranjau senantiasa dituntut dan kesiapan itu hanya dapat tercapai melalui latihan, latihan dan latihan.
Dalam dunia militer, salah satu cara untuk menjaga dan meningkatkan profesionalisme personel dan satuan adalah melalui latihan rutin. Begitu pula dengan Satuan Ranjau sebagai salah satu satuan yang tidak bisa dipandang sebelah mata eksistensinya dalam organisasi Angkatan Laut, khususnya di armada. Satuan Ranjau dapat di-employ bukan saja pada saat ada konflik terbuka, namun juga pada masa damai.
Misalnya menghadapi ancaman ranjau yang ditebarkan oleh aktor non negara pada jalur pelayaran atau ancaman ranjau pada jalur pelayaran akibat sisa konflik masa lalu. Ancaman ranjau yang dimunculkan oleh aktor non negara bukan sekedar isapan jempol, karena ranjau tergolong senjata yang murah namun mematikan dan sekaligus memiliki dampak politik dan ekonomi yang besar. Itulah sebabnya mengapa Singapura takut apabila Indonesia menskenariokan adanya peranjauan di Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai salah satu skenario yang mungkin dilakukan oleh aktor non negara untuk mengancam keamanan maritim. Kalau aktor non negara saja mungkin melakukan itu, apalagi Indonesia yang dapat melaksanakan hal yang sama saat konflik dengan negara kecil yang kecil, kaya namun licik dan rakus itu.
Terkait dengan hal tersebut, untuk memelihara profesionalisme Satuan Ranjau ketika tak ada konflik, salah satu cara adalah melalui latihan, latihan dan latihan. Latihan di Angkatan Laut kan ada empat tingkatan, mulai dari L-1 sampai dengan L-4. Itulah yang sebaiknya terus dilakukan, sebagai bagian dari pembinaan kekuatan.
Hendaknya ketidakbijaksanaan di masa lalu yang memberdayakan Satuan Ranjau ketika masa damai dengan melaksanakan patroli keamanan laut tidak terulang lagi. Menurut hemat saya, langkah demikian kurang bijak sebab selain dapat mengurangi profesionalisme personel di Satuan Ranjau terhadap tugas pokoknya, juga menyalahi fungsi asasi kapal itu sendiri. Lain halnya kalau ketika kapal ranjau tengah berlayar dan di depan mata melihat sendiri tindakan pelanggaran hukum di laut dan kemudian menindaknya.
Hal lain yang perlu diperhatikan, hendaknya MCM dilaksanakan langsung oleh unsur kapal ranjau, bukan oleh personel Pasukan Katak yang terjun ke laut dan mencari posisi ranjau berdasarkan hasil tangkapan alat bantu bawah air. Kecuali pada perairan dangkal yang mana kapal ranjau tidak dapat bermanuver. Selama ini terkadang kegiatan MCM lebih mengandalkan pada personel Pasukan Katak dan kurang memberdayakan unsur kapal ranjau itu sendiri. Akhirnya yang lebih profesional adalah Pasukan Katak, bukan unsur kapal ranjau.
Ancaman peranjauan tidak hanya terjadi ketika ada perang atau konflik, namun juga di masa damai seperti saat ini. Oleh sebab itu, kesiapan Satuan Ranjau senantiasa dituntut dan kesiapan itu hanya dapat tercapai melalui latihan, latihan dan latihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar