All hands,
Dalam periode 2004 hingga kini, pembangunan kekuatan Angkatan Laut tetap menghadapi tantangan. Baik itu soal keterbatasan anggaran maupun politik. Soal politik datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai contoh, dulu ada pejabat penting di Departemen Pertahanan yang menentang aspirasi AL kita untuk pengadaan kapal selam. Dari luar negeri, Amerika Serikat tak senang kita mau beli kapal selam dari Rusia.
Dengan kata lain, meskipun secara resmi pemerintah mendukung, namun ada elemen-elemen tertentu yang berupaya mentorpedo rencana pembangunan kekuatan tersebut. Sebenarnya kesadaran dari berbagai pihak di negeri ini agar AL kita dibangun hingga menjadi kekuatan yang diperhitungkan di kawasan cukup besar. Sayangnya aspirasi itu seringkali terhambat realisasinya oleh para pengambil kebijakan, dengan alasan tak ada dana.
Itu suatu alasan klasik era Orde Baru. Kalau saya nggak keliru, tahun 1973 ketika terjadi pergantian Kepala Staf AL dari Laksamana Sudomo kepada Laksamana R. Subono, konon pemimpin nasional saat itu pernah berucap, ”Kita perlu Angkatan Laut yang kuat, tapi nanti....”. Nantinya kapan, nggak jelas.!!! Yang jelas ketika sang pemimpin itu lengser keprabon, kekuatan itu tidak terwujud.
Soal ide pengalihan sumber alutsista ke Rusia menurut saya realistis daripada tidak ada kekuatan sama sekali. Kita jangan sampai terkesan mengemis kepada Barat agar diberi alutsista. Kalaupun mereka kasih, pasti kualitasnya di bawah Singapura.
Saat ini telah ada Postur Pertahanan 2010-2029, yang salah satunya atur soal pembangunan kekuatan AL kita dalam periode itu. Hal demikian merupakan kemajuan, sehingga tak ada lagi program pengadaan alutsista yang muncul ”dari tikungan” seperti di masa lalu. Program yang muncul ”dari tikungan” itu konsekuensinya besar dan itu harus dibayar oleh AL hingga alutsista itu pensiun. Bayarannya yah habisnya sumber daya untuk urus alutsista yang sebenarnya tidak efisien, kurang dapat diandalkan, namun pasti menggerogoti anggaran kita.
Untuk ke depan, tantangan yang kini hadapi kian kompleks. Untuk itu, secara internal perlu pembenahan pada semua lini, baik intelijen, operasi, logistik, perencanaan dan tentu saja personel.
Masalah sumber daya manusia adalah isu sentral untuk membangun AL. Oleh karena itu, dengan adanya penerimaan calon kadet AAL secara langsung tanpa harus lewat AD dulu seperti era dulu merupakan kesempatan untuk mencari perwira masa depan dari bibit yang bagus. Tentu saja ketika mereka sudah berdinas, bibit itu harus tetap dibina agar tidak menjadi “tidak bagus”.
Masalah pembinaan personel isu sentral saat ini dan ke depan. Harus ada parameter yang jelas soal karir setiap perwira, agar tahu kira-kira ke depan karir mereka di AL akan sampai di mana. Kalau misalnya hanya sampai pada titik tertentu, mereka masih punya waktu untuk memutuskan apakah meneruskan karir di militer ataukah pindah karir ke dunia sipil.
Itulah praktek yang terjadi di AL negara-negara yang sudah maju. Karena bagaimanapun, tak mungkin semua lulusan akademi akan jadi flag officers. Sebab makin tinggi kepangkatan, jabatan yang tersedia makin sedikit. Undang-undang TNI yang memperpanjang usia pensiun perwira menjadi 58 tahun saat ini sudah dirasakan hasilnya, yaitu banyak perwira yang ”menunggu jabatan” karena yang di atas belum pensiun.
Itulah kesalahan para perumus undang-undang itu. Menurut yang saya tahu, usulan pensiun 58 tahun itu bersifat opsional, kalau keahlian sang perwira masih dibutuhkan. Kalau tidak, pensiun dengan hormat pada usia 55 tahun.
Tapi karena kepentingan segelintir pihak saat itu, opsional itu dihilangkan. Sehingga jadilah dipukul rata semua perwira 58 tahun. Sementara organisasi TNI tidak diperluas. Jadilah penumpukan itu.
Ke depan, pekerjaan rumah terbesar AL kita menurut saya adalah membangun kualitas SDM. Apabila tantangan itu bisa kita tuntaskan, kita dapat menghadapi SDM dari Angkatan Laut lain dengan membusungkan dada!!! Look, they’re Indonesian Navy officers…
Dalam periode 2004 hingga kini, pembangunan kekuatan Angkatan Laut tetap menghadapi tantangan. Baik itu soal keterbatasan anggaran maupun politik. Soal politik datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai contoh, dulu ada pejabat penting di Departemen Pertahanan yang menentang aspirasi AL kita untuk pengadaan kapal selam. Dari luar negeri, Amerika Serikat tak senang kita mau beli kapal selam dari Rusia.
Dengan kata lain, meskipun secara resmi pemerintah mendukung, namun ada elemen-elemen tertentu yang berupaya mentorpedo rencana pembangunan kekuatan tersebut. Sebenarnya kesadaran dari berbagai pihak di negeri ini agar AL kita dibangun hingga menjadi kekuatan yang diperhitungkan di kawasan cukup besar. Sayangnya aspirasi itu seringkali terhambat realisasinya oleh para pengambil kebijakan, dengan alasan tak ada dana.
Itu suatu alasan klasik era Orde Baru. Kalau saya nggak keliru, tahun 1973 ketika terjadi pergantian Kepala Staf AL dari Laksamana Sudomo kepada Laksamana R. Subono, konon pemimpin nasional saat itu pernah berucap, ”Kita perlu Angkatan Laut yang kuat, tapi nanti....”. Nantinya kapan, nggak jelas.!!! Yang jelas ketika sang pemimpin itu lengser keprabon, kekuatan itu tidak terwujud.
Soal ide pengalihan sumber alutsista ke Rusia menurut saya realistis daripada tidak ada kekuatan sama sekali. Kita jangan sampai terkesan mengemis kepada Barat agar diberi alutsista. Kalaupun mereka kasih, pasti kualitasnya di bawah Singapura.
Saat ini telah ada Postur Pertahanan 2010-2029, yang salah satunya atur soal pembangunan kekuatan AL kita dalam periode itu. Hal demikian merupakan kemajuan, sehingga tak ada lagi program pengadaan alutsista yang muncul ”dari tikungan” seperti di masa lalu. Program yang muncul ”dari tikungan” itu konsekuensinya besar dan itu harus dibayar oleh AL hingga alutsista itu pensiun. Bayarannya yah habisnya sumber daya untuk urus alutsista yang sebenarnya tidak efisien, kurang dapat diandalkan, namun pasti menggerogoti anggaran kita.
Untuk ke depan, tantangan yang kini hadapi kian kompleks. Untuk itu, secara internal perlu pembenahan pada semua lini, baik intelijen, operasi, logistik, perencanaan dan tentu saja personel.
Masalah sumber daya manusia adalah isu sentral untuk membangun AL. Oleh karena itu, dengan adanya penerimaan calon kadet AAL secara langsung tanpa harus lewat AD dulu seperti era dulu merupakan kesempatan untuk mencari perwira masa depan dari bibit yang bagus. Tentu saja ketika mereka sudah berdinas, bibit itu harus tetap dibina agar tidak menjadi “tidak bagus”.
Masalah pembinaan personel isu sentral saat ini dan ke depan. Harus ada parameter yang jelas soal karir setiap perwira, agar tahu kira-kira ke depan karir mereka di AL akan sampai di mana. Kalau misalnya hanya sampai pada titik tertentu, mereka masih punya waktu untuk memutuskan apakah meneruskan karir di militer ataukah pindah karir ke dunia sipil.
Itulah praktek yang terjadi di AL negara-negara yang sudah maju. Karena bagaimanapun, tak mungkin semua lulusan akademi akan jadi flag officers. Sebab makin tinggi kepangkatan, jabatan yang tersedia makin sedikit. Undang-undang TNI yang memperpanjang usia pensiun perwira menjadi 58 tahun saat ini sudah dirasakan hasilnya, yaitu banyak perwira yang ”menunggu jabatan” karena yang di atas belum pensiun.
Itulah kesalahan para perumus undang-undang itu. Menurut yang saya tahu, usulan pensiun 58 tahun itu bersifat opsional, kalau keahlian sang perwira masih dibutuhkan. Kalau tidak, pensiun dengan hormat pada usia 55 tahun.
Tapi karena kepentingan segelintir pihak saat itu, opsional itu dihilangkan. Sehingga jadilah dipukul rata semua perwira 58 tahun. Sementara organisasi TNI tidak diperluas. Jadilah penumpukan itu.
Ke depan, pekerjaan rumah terbesar AL kita menurut saya adalah membangun kualitas SDM. Apabila tantangan itu bisa kita tuntaskan, kita dapat menghadapi SDM dari Angkatan Laut lain dengan membusungkan dada!!! Look, they’re Indonesian Navy officers…
2 komentar:
manajemen logistik kita masih lemah, sepertinya perlu dibenahi lagi! sadarkah kita berapa lama kemampuan duklog yang kita miliki jika benar2 terjadi peperangan?...
Untuk SDM kita terutama para sisun2 kadet sangat2 perlu sekali dibenahi pola pembinaannya di AAL. Tidak hanya mengutamakan sikap yang terbentuk namun juga harus memiliki wawasan teknologi yang cukup memadai sebagai bekal tugas di lingkungan kerja yang sangat sarat dengan teknologi.
Untuk korp2 Banpur (terutama T & E) kemampuannya masih dibawah para diploma lulusan poltek, hal ini karena pimpinan masih enggan mempriotitaskan pendidikan yang berwawasan teknologi di AL namun memberi tuntutan yang berlebih kepada mereka. Hilangkan paradigma yang menganggap bahwa sekolah/kuliah merupakan sesuatu yang menghindar dari dinas. Sadarkah kita bahwa adik2 kita itu sekolah juga demi AL yang akan menggunakan kemampuan mereka?
Jangan hanya meminta secara instant namun bentuklah dari awal agar menjadi perwira yang dapat dibanggakan.
Setuju!!!Sekolah bukan untuk menghindar dinas.
Posting Komentar