14 Desember 2008

Pertahanan Tanpa Intelijen

All hands,
Di dunia pertahanan dan militer, dalam menyusun setiap kebijakan, rencana strategis, rencana kampanye, rencana yudha, rencana operasi dan lain sebagainya, salah satu masukan yang harus dipertimbangkan berasal dari komunitas intelijen. Bentuknya berupa produk intelijen yang berisi tentang security environment kini dan ke depan terkait dengan kebijakan dan atau rencana yang akan disusun. Itulah alasan mengapa pada terdapat satuan intelijen pada organisasi pertahanan dan militer, dengan beberapa klasifikasi yang berbeda.
Di Amerika Serikat misalnya, pada Departemen Pertahanan terdapat Defense Intelligence Agency (DIA) yang berfungsi sebagai intelijen strategis pertahanan. Pada matra Angkatan, U.S. Navy mempunyai Office of Naval Intelligence (ONI) yang berfungsi sebagai intelijen maritim Angkatan Laut. Kalau mau tahu bagaimana seluk beluk setiap Angkatan Laut di dunia mulai dari hal-hal yang lunak sampai yang keras, silakan baca assessments yang diterbitkan oleh ONI.
Di Indonesia, penyusunan kebijakan pertahanan oleh Departemen Pertahanan tidak didukung oleh masukan intelijen yang memadai. Sebab Departemen Pertahanan tidak mempunyai satuan yang berfungsi sebagai intelijen pertahanan. Masukan intelijen yang diterima oleh Departemen Pertahanan ketika menyusun kebijakan pertahanan hanya berasal dari Bais TNI.
Karena ruang lingkup Bais TNI yang berbeda dengan Departemen Pertahanan, gampang untuk ditebak bahwa masukan dari Bais cakupannya “kurang luas”. Terlebih lagi menurut pandangan saya yang bukan orang intel, sebenarnya laporan-laporan intelijen Bais kualitasnya “biasa-biasa saja”. Dalam beberapa hal, khususnya yang berkaitan dengan maritime security environment, rasanya produk-produk analisis saya jauh lebih tajam.
Karena tidak didukung oleh masukan intelijen yang memadai, jangan heran bila produk-produk Departemen Pertahanan seperti Strategi Pertahanan, Buku Putih Pertahanan dan Doktrin Pertahanan kualitasnya “begitu-begitu saja”. Bahkan ada kemiripan isi antara satu dokumen dengan dokumen lain, seolah-olah cuma tukar tempat.
Oleh karena itu, kalangan yang tidak berada di lingkaran defense establishment (Departemen Pertahanan dan TNI) harus paham bila negeri ini sering didadak oleh pihak-pihak lain. Kasus Timor Timur 1999, USS Carl Vinson (CVN-70) 2003, Ambalat 2005 dan Askar Wataniah 2008 bisa diredam kerugiannya terhadap Indonesia bila intelijen pertahanan eksis. Untuk intelijen pertahanan tidak bisa bersandar pada Bais, karena Bais adalah satuan intelijen militer miliki Panglima TNI. Dan Bais tidak menengok ke laut, tapi masih ke darat.
Departemen Pertahanan sudah menyadari akan kekurangan mereka dalam intelijen pertahanan, sehingga sejak beberapa tahun lalu muncul wacana validasi organisasi. Salah satunya adalah membentuk suatu direktorat jenderal yang khusus menangani intelijen pertahanan. Menurut beberapa kawan saya yang berdinas di sana, diharapkan rencana validasi itu segera disetujui oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. Maklum, pejabat menterinya sekarang dari Polisi, jadi wajar kalau ada sedikit kekhawatiran.
Upaya Departemen Pertahanan untuk memperbaiki diri patut untuk dihargai, dengan catatan nantinya organisasi itu diisi oleh personel-personel yang berkualitas, baik dari militer maupun sipil. Jangan sampai organisasi itu diisi oleh personel ”buangan” dari intelijen militer, dalam arti kualitas sang personel bukan termasuk yang terbaik di jajaran intelijen. Psiko-nya jangan C-1 ke bawah, tapi hendaknya A-1 sampai B-1. B-2 sebaiknya tidak masuk kategori, apalagi C-1 ke bawah.

Tidak ada komentar: