04 Desember 2008

Minimum Essential Force dan Kebijakan Luar Negeri

All hands,
Membahas tentang minimum essential force, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, harus dikaitkan dengan kebijakan luar negeri. Mengapa demikian? Ada banyak sebab, di antaranya sumber pengadaan alutsista kita masih mengandalkan dari luar negeri untuk kapal kombatan atas air dan bawah air, sistem senjata dan lain sebagainya. Berikutnya, dengan jumlah yang minimal untuk menimbulkan penangkalan sehingga diharapkan mampu preventing the war, harus ada kekuatan lain yang mem-back-up minimum essential force itu.
Kita ambil contoh Australia. Royal Australian Navy “hanya” memiliki 14 fregat dan enam kapal selam, tetapi kemampuan dia diperhitungkan di kawasan. Tentu menjadi pertanyaan, apa hanya karena 20 kapal kombatan lantas negara-negara lain memperhitungkan Australia?
Menurut saya jawabannya tidak. Australia mempraktekkan betul salah satu dari empat butir Hartman’s cardinal principle yaitu third party influence. Di belakang 20 kapal kombatan Royal Australian Navy, ada third party influence yaitu Amerika Serikat. Gamblangnya, siapa berani mengganggu Negeri Kangguru sama artinya mengusik Om Sam.
Lihat juga Angkatan Laut Filipina, kekuatannya jauh di bawah AL kita. Tapi siapa yang berani ganggu dia? Malaysia saja yang jauh lebih kuat nggak berani ganggu dia, walaupun dia punya sengketa juga.
Terkait dengan minimum essential force, seharusnya ada third party influence di belakang itu. Lalu siapa yang harus menjadi pihak ketiga itu? Inilah titik yang tidak pernah ketemu antara komunitas pertahanan di negeri ini dengan komunitas kebijakan luar negeri.
Harus jujur saya katakan bahwa saya dan rekan-rekan yang berada di komunitas pertahanan sejak beberapa tahun silam mempertanyakan relevansi politik luar negeri bebas aktif terhadap pembangunan kekuatan pertahanan kita. Kami semua sampai pada kesimpulan, pertahanan negeri ini butuh third party influence kalau ingin diperhitungkan. Ingat, tahun 1960-an Indonesia diperhitungkan di kawasan karena berani mengkhianati politik bebas aktif!!! Waktu itu yang menjadi third party adalah Uni Soviet.
Sekarang karena kita setia dan taat pada politik luar negeri bebas aktif, kita kurang diperhitungkan lagi. Seandainya tahun 1999 AL kita engage dengan Royal Australian Navy di Laut Timor, siapa negeri yang akan bantu Indonesia? Cina? Saya tak yakin, karena Cina cuma omong doang, sementara kekuatan militernya masih berkutat di negeri sendiri.
Sudah jelas Indonesia membutuhkan third party influence. Masalahnya adalah ada pihak yang masih berpikir era Perang Dingin di negeri ini. Politik luar negeri bebas aktif itu kan dibuat untuk era Perang Dingin, relevan untuk era itu. Sekarang apakah masih relevan? Pertanyaan itu pernah saya ajukan kepada beberapa rekan akademisi hubungan internasional dan jawaban mereka sama, TIDAK!!!
Artinya kesimpulan yang berkembang di dalam komunitas pertahanan soal kebijakan luar negeri Indonesia bukan sesuatu yang keliru. Yang ahlinya saja jawabannya sama dengan kami yang campuran antara praktisi dan (sedikit-sedikit) theoretician.
Bukti dari politik luar negeri bebas aktif pada AL kita, menurut pandangan pribadi saya, banyak. Misalnya Uwak Sam yang rewel saat kita mau beli Exocet MM-40 Block II. Kalau kita digolongkan sebagai friend oleh dia, bukan partner, apakah dia akan rewel? Jerman juga rewel ketika korvet Parchim kita gunakan di Aceh 2003.
Lalu bagaimana solusinya? Jawabannya bukan revitalisasi kebijakan luar negeri bebas aktif, tapi tinjau ulang. Kebijakan luar negeri diabdikan untuk kepentingan nasional dan itulah alasan kenapa Bung Hatta menggagas kebijakan luar negeri bebas aktif. Kalau sekarang kebijakan itu tidak relevan lagi dengan kepentingan nasional, mengapa harus kita pertahankan?
Salah satu kepentingan nasional adalah bidang pertahanan dan pertahanan sifatnya hakiki serta mutlak. Ini soal hidup matinya suatu bangsa dalam komunitas internasional. Kalau sudah urusan hidup mati, apapun akan dilakukan, termasuk mengubah kebijakan yang tidak relevan lagi. Ingat, kebijakan luar negeri harus diabdikan pada kepentingan nasional, bukan pada kepentingan segelintir pihak, bukan pula untuk nostalgia atas masterpiece di masa lalu.
Kekuatan pertahanan kita boleh ”sedikit” sesuai minimum essential force, namun mematikan dan sekaligus harus didukung oleh third party influence. Ketika ada third party influence, soal anggaran pertahanan yang terbatas tak akan jadi masalah. Indonesia akan lebih mudah menyelesaikan masalah di Laut Sulawesi bila ada third party influence yang back up. Harus ada kekuatan invisible di balik kekuatan militer.
Bagaimana, SETUJU? Saya yakin yang paham soal bagaimana konstelasi politik keamanan internasional, paham soal konstelasi penguasaan teknologi senjata dan kapling-kapling pemasaran senjata, paham soal pergulatan di dalam Departemen Pertahanan-TNI soal kebijakan pertahanan dan paham akan sejarah pasti akan setuju. Kecuali yang tidak paham!!!

4 komentar:

Krypton15 mengatakan...

Bener sekali...saya sangat2 setuju. BRAVO!!!

Anonim mengatakan...

waduh.. bukan setuju kalau soal ini... tapi setuuuuuuubbbuuuuhhhh !!!

ini yang saya harapkan dari dulu, masa kita dah dihajar dan sudah "dikhianati" masih aja mau menuruti semua permintaan mereka...

sekali-kali ngambek dong biar tahu rasa mereka !, sebenernya posisi tawar kita tinggi lho terhadap mereka, hanya karena pejabat-pejabat kita aja yang sudah terlalu dalam hubungannya dengan mereka... jadinya susah ke arah sana.

kalau mau bangsa ini maju ya itu satu-satunya jalan, kalau tidak ya tetap saja jadi sitting duck dan pecundang !

siap gak siap harus siap !
MERDEKA !

*sayangnya itu mustahil terjadi untuk periode yang sekarang, you know why... hehe :)

Anonim mengatakan...

Konsep politik bebas-aktif, menurut saya ada 2 pengertian ;
1. Seperti yang sudah diutarakan bung Allhands, yang sangat cold-war sentris.
2. Bebas-aktif berarti, dalam bahasa sehari-hari : semau gue. Ini kaitannya dengan aspirasi untuk menjadi pemain global kelas Internasional, seperti yang sekarang sedang dirintis oleh India dan China.
Memang yang kedua ini terdengar muluk-muluk untuk ukuran hari ini. Tapi dalam kaitannya dengan kesadaran akan budaya dan jati diri bangsa, ini tidak aneh.

Anonim mengatakan...

Bro Superbad,masalah kalau konsep semau gue, salah satu yang paling merasakan dampaknya itu militer. Bentuknya macam-macam, mulai dari perlambat kiriman suku cadang, provokasi langgar wilayah dan lain sebagainya. Kecuali kita punya kekuatan lain di luar aspek militer, seperti Cina yang cadangan devisanya US$ 1.700 milyar dan banyak beli surat utang Amerika Serikat. Konsep semau gue kalau kondisinya tak mendukung akan menjadikan militer kita sebagai salah satu korban pertama.