All hands,
Dalam merancang pembangunan kekuatan laut, nampaknya kita masih terjebak dalam dua pendekatan yang berbeda. Yaitu antara pendekatan kuantitas versus kualitas. Soal ini nampak jelas begitu kita sampai pada penentuan jumlah kekuatan minimal yang dipunyai oleh AL kita ke depan. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa kekuatan yang dibangun adalah kekuatan minimal?
Jawabannya sederhana yaitu kebijakan pemerintah. Atas nama keterbatasan anggaran, kekuatan pertahanan yang dibangun minimal. Mengingat DPR sudah menyetujui konsep itu, jangan salahkan TNI bila misalnya nanti pecah konflik, kekuatan militer negeri ini tidak bisa winning the war dan sekaligus gagal preventing the war.
Sebab untuk winning the war, kekuatan yang dibangun harus postur maksimal. Menyangkut preventing the war, apabila gagal melaksanakan itu berarti kekuatan minimal yang saat ini dibangun gagal untuk preventing the war. Penting untuk digarisbawahi bahwa salah tidaknya konsep minimum essential force yang telah digariskan oleh Departemen Pertahanan harus dibuktikan dalam perang. Tidak ada wahana lain untuk buktikan itu selain perang, sama halnya dengan strategi. Strategi dapat dikatakan salah bila terbukti dalam perang.
Kembali ke masalah pendekatan kuantitas versus kualitas, dua mazhab ini harus dipertemukan. Menurut saya, pendekatan kuantitas yang puluhan tahun kita anut sepertinya lebih banyak menjadi beban bagi kita daripada memberi keuntungan. Menjadi beban karena kapal-kapal perang yang sudah saatnya dihapus (khususnya pada satuan kapal non eskorta) masih terus dipertahankan dengan segala macam konsekuensi anggaran yang kemudian muncul.
Sementara keuntungan yang diberikan oleh adanya kapal itu di dalam susunan tempur juga tak terlalu banyak. Sebagai contoh, dalam satu tahun kapal-kapal yang tergolong uzur itu berapa kali berlayar. Sedikitnya jumlah pelayaran bukan karena tugas yang sedikit, tetapi karena tidak siap berlayar.
Daripada mempertahankan kapal-kapal perang uzur yang kesiapannya diragukan dalam susunan tempur, lebih baik kekuatan laut kita secara kuantitas lebih sedikit, tetapi secara kualitas lebih bagus. Kita harus pahami dalam konsep operasi masa kini pendekatan yang digunakan adalah effect-based operations. Terkait dengan hal itu, dari 140-an lebih KRI yang ada dalam susunan tempur kita, berapa banyak yang mampu menimbulkan effect-based operations. Jangan-jangan hanya kapal-kapal yang tergabung dalam satuan eskorta plus beberapa kapal di satuan kapal patroli dan satuan kapal cepat, dengan catatan itu pun mungkin tidak semuanya.
Kalau kita melihat kekuatan laut di sekitar Indonesia, mereka menganut pendekatan kualitas alutsista, bukan kuantitas alutsista. Penilaian ini lepas dari soal berapa perbandingan luas laut mereka dibandingkan perairan yurisdiksi Indonesia dan lain sebagainya. Soal jumlah itu relatif, karena ”sedikit” bagi Australia misalnya berbeda dengan ”sedikit” untuk Indonesia. Tapi substansinya adalah kualitas alutsista, bukan kuantitas alutsista.
Dalam merancang pembangunan kekuatan laut, nampaknya kita masih terjebak dalam dua pendekatan yang berbeda. Yaitu antara pendekatan kuantitas versus kualitas. Soal ini nampak jelas begitu kita sampai pada penentuan jumlah kekuatan minimal yang dipunyai oleh AL kita ke depan. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa kekuatan yang dibangun adalah kekuatan minimal?
Jawabannya sederhana yaitu kebijakan pemerintah. Atas nama keterbatasan anggaran, kekuatan pertahanan yang dibangun minimal. Mengingat DPR sudah menyetujui konsep itu, jangan salahkan TNI bila misalnya nanti pecah konflik, kekuatan militer negeri ini tidak bisa winning the war dan sekaligus gagal preventing the war.
Sebab untuk winning the war, kekuatan yang dibangun harus postur maksimal. Menyangkut preventing the war, apabila gagal melaksanakan itu berarti kekuatan minimal yang saat ini dibangun gagal untuk preventing the war. Penting untuk digarisbawahi bahwa salah tidaknya konsep minimum essential force yang telah digariskan oleh Departemen Pertahanan harus dibuktikan dalam perang. Tidak ada wahana lain untuk buktikan itu selain perang, sama halnya dengan strategi. Strategi dapat dikatakan salah bila terbukti dalam perang.
Kembali ke masalah pendekatan kuantitas versus kualitas, dua mazhab ini harus dipertemukan. Menurut saya, pendekatan kuantitas yang puluhan tahun kita anut sepertinya lebih banyak menjadi beban bagi kita daripada memberi keuntungan. Menjadi beban karena kapal-kapal perang yang sudah saatnya dihapus (khususnya pada satuan kapal non eskorta) masih terus dipertahankan dengan segala macam konsekuensi anggaran yang kemudian muncul.
Sementara keuntungan yang diberikan oleh adanya kapal itu di dalam susunan tempur juga tak terlalu banyak. Sebagai contoh, dalam satu tahun kapal-kapal yang tergolong uzur itu berapa kali berlayar. Sedikitnya jumlah pelayaran bukan karena tugas yang sedikit, tetapi karena tidak siap berlayar.
Daripada mempertahankan kapal-kapal perang uzur yang kesiapannya diragukan dalam susunan tempur, lebih baik kekuatan laut kita secara kuantitas lebih sedikit, tetapi secara kualitas lebih bagus. Kita harus pahami dalam konsep operasi masa kini pendekatan yang digunakan adalah effect-based operations. Terkait dengan hal itu, dari 140-an lebih KRI yang ada dalam susunan tempur kita, berapa banyak yang mampu menimbulkan effect-based operations. Jangan-jangan hanya kapal-kapal yang tergabung dalam satuan eskorta plus beberapa kapal di satuan kapal patroli dan satuan kapal cepat, dengan catatan itu pun mungkin tidak semuanya.
Kalau kita melihat kekuatan laut di sekitar Indonesia, mereka menganut pendekatan kualitas alutsista, bukan kuantitas alutsista. Penilaian ini lepas dari soal berapa perbandingan luas laut mereka dibandingkan perairan yurisdiksi Indonesia dan lain sebagainya. Soal jumlah itu relatif, karena ”sedikit” bagi Australia misalnya berbeda dengan ”sedikit” untuk Indonesia. Tapi substansinya adalah kualitas alutsista, bukan kuantitas alutsista.
1 komentar:
Pemikiran yang bagus. Namun jangan berhenti sampai disitu saja, SDM para pengguna baik itu operator maupun maintenance perlu ditingkatkan juga. Jangan lupa mengenai ketersediaan suku cadang pun perlu dipenuhi, sehingga kualitas masih tetap terjaga setelah beberapa tahun kedepan.
Posting Komentar