All hands,
Dalam penggunaan pendekatan capability-based planning, selain harus merumuskan kemampuan apa saja yang harus dipunyai, juga mesti ditentukan calon lawan dengan kekuatan seperti apa yang harus mampu dihadapi. Seperti diketahui, kekuatan militer di dunia beragam dari yang lemah, sedang dan kuat. Terkait dengan itu, perlu diidentifikasi kekuatan lawan seperti apa yang harus mampu kita hadapi, yang mampu kita tangkal.
Untuk mengidentifikasi itu, pilihannya adalah menengok security environment. Kira-kira negara mana yang potensial untuk menjadi lawan kita suatu saat nanti. Kalau hal itu sudah bisa diidentifikasi, selanjutnya kita hitung kekuatan militer negara-negara dimaksud. Terhadap kekuatan itu, kekuatan pertahanan kita harus mampu menimbulkan penangkalan.
Penangkalan itu luas, ada penangkalan unilateral, bilateral, multilateral dan regional. Dari empat jenis tersebut, mana yang sebaiknya kita pilih? Kalau calon lawan yang kita hadapi lebih dari satu, penangkalan unilateral tentu saja tidak cocok. Mungkin yang cocok penangkalan multilateral dalam rumus one fit for all. For all yang dimaksud di sini terbatas pada negara-negara calon lawan, bukan semua negara di dunia. Sebab yang bisa untuk semua negara di dunia cuma Amerika Serikat dan Rusia.
Menurut saya, Indonesia memiliki beberapa calon lawan potensial yaitu Malaysia, Australia dan Singapura. Ada beberapa alasan mengapa ketiga negara saya identifikasi sebagai calon lawan di masa depan. Alasannya mencakup masalah sengketa batas wilayah, akses navigasi militer maupun separatisme. Dengan demikian, menurut hemat saya, kekuatan pertahanan yang harus dibangun harus mampu menimbulkan penangkalan terhadap ketiga negara.
Dari situ bisa terukur berapa jumlah alutsista yang memenuhi minimum essential force. Toh kalau pun kita konflik dengan tiga negara, area pelibatannya hanya di wilayah tertentu saja. Tidak mungkin mereka akan membuka banyak area pelibatan, karena alutsista mereka juga terbatas.
Sebagai contoh, Singapura akan menjadikan Riau daratan dan Kepulauan Riau sebagai area pelibatannya. Kalau pun dia menyerang Jakarta, itu hanya mengandalkan pada kekuatan udara. Australia juga begitu, area pelibatannya mungkin di sekitar ALKI II dan III. Untuk menyerang Jakarta sebagai center of gravity, bentuknya berupa serangan udara.
Faktor FPDA juga harus diperhitungkan dengan baik, karena ketiganya anggota organisasi pertahanan itu. Apakah apabila salah satu anggota FPDA berkonflik dengan negara non FPDA, maka otomatis semua anggota FPDA terlibat? Dalam era saat ini dan ke depan, menurut saya mereka yang tak terlibat langsung sebagai pihak yang saling berkonflik akan pikir-pikir dulu untuk ruginya sebelum melibatkan diri.
Misalnya, kalau Australia marah karena salah satu ALKI ditutup ---dengan alasan latihan militer, pencemaran lingkungan atau keselamatan navigasi--- dan mengirimkan kekuatan militer untuk membukanya, apakah Singapura dan Malaysia juga akan ikut serta? Mereka harus berkalkulasi dengan cermat soal hubungannya dengan Indonesia pasca konflik. Mereka harus berkalkulasi apakah keterlibatan mereka membantu Australia justru tidak akan kontra produktif, misalnya bila Indonesia membuka front di Laut Sulawesi.
Kembali ke soal minimum essential force, kita harus definisikan siapa lawan kita. Karena kekuatan itu dibangun untuk menghadapi ancaman militer sampai pada strata tertentu.
Dalam penggunaan pendekatan capability-based planning, selain harus merumuskan kemampuan apa saja yang harus dipunyai, juga mesti ditentukan calon lawan dengan kekuatan seperti apa yang harus mampu dihadapi. Seperti diketahui, kekuatan militer di dunia beragam dari yang lemah, sedang dan kuat. Terkait dengan itu, perlu diidentifikasi kekuatan lawan seperti apa yang harus mampu kita hadapi, yang mampu kita tangkal.
Untuk mengidentifikasi itu, pilihannya adalah menengok security environment. Kira-kira negara mana yang potensial untuk menjadi lawan kita suatu saat nanti. Kalau hal itu sudah bisa diidentifikasi, selanjutnya kita hitung kekuatan militer negara-negara dimaksud. Terhadap kekuatan itu, kekuatan pertahanan kita harus mampu menimbulkan penangkalan.
Penangkalan itu luas, ada penangkalan unilateral, bilateral, multilateral dan regional. Dari empat jenis tersebut, mana yang sebaiknya kita pilih? Kalau calon lawan yang kita hadapi lebih dari satu, penangkalan unilateral tentu saja tidak cocok. Mungkin yang cocok penangkalan multilateral dalam rumus one fit for all. For all yang dimaksud di sini terbatas pada negara-negara calon lawan, bukan semua negara di dunia. Sebab yang bisa untuk semua negara di dunia cuma Amerika Serikat dan Rusia.
Menurut saya, Indonesia memiliki beberapa calon lawan potensial yaitu Malaysia, Australia dan Singapura. Ada beberapa alasan mengapa ketiga negara saya identifikasi sebagai calon lawan di masa depan. Alasannya mencakup masalah sengketa batas wilayah, akses navigasi militer maupun separatisme. Dengan demikian, menurut hemat saya, kekuatan pertahanan yang harus dibangun harus mampu menimbulkan penangkalan terhadap ketiga negara.
Dari situ bisa terukur berapa jumlah alutsista yang memenuhi minimum essential force. Toh kalau pun kita konflik dengan tiga negara, area pelibatannya hanya di wilayah tertentu saja. Tidak mungkin mereka akan membuka banyak area pelibatan, karena alutsista mereka juga terbatas.
Sebagai contoh, Singapura akan menjadikan Riau daratan dan Kepulauan Riau sebagai area pelibatannya. Kalau pun dia menyerang Jakarta, itu hanya mengandalkan pada kekuatan udara. Australia juga begitu, area pelibatannya mungkin di sekitar ALKI II dan III. Untuk menyerang Jakarta sebagai center of gravity, bentuknya berupa serangan udara.
Faktor FPDA juga harus diperhitungkan dengan baik, karena ketiganya anggota organisasi pertahanan itu. Apakah apabila salah satu anggota FPDA berkonflik dengan negara non FPDA, maka otomatis semua anggota FPDA terlibat? Dalam era saat ini dan ke depan, menurut saya mereka yang tak terlibat langsung sebagai pihak yang saling berkonflik akan pikir-pikir dulu untuk ruginya sebelum melibatkan diri.
Misalnya, kalau Australia marah karena salah satu ALKI ditutup ---dengan alasan latihan militer, pencemaran lingkungan atau keselamatan navigasi--- dan mengirimkan kekuatan militer untuk membukanya, apakah Singapura dan Malaysia juga akan ikut serta? Mereka harus berkalkulasi dengan cermat soal hubungannya dengan Indonesia pasca konflik. Mereka harus berkalkulasi apakah keterlibatan mereka membantu Australia justru tidak akan kontra produktif, misalnya bila Indonesia membuka front di Laut Sulawesi.
Kembali ke soal minimum essential force, kita harus definisikan siapa lawan kita. Karena kekuatan itu dibangun untuk menghadapi ancaman militer sampai pada strata tertentu.
2 komentar:
Bro Allhands,
Setuju saja dengan menetapkan Australia, Malaysia dan Singapura sebagai negara yang memiliki potensi konflik terbesar dengan kita saat ini. Tapi menurut saya ini baru fase 1. Di zaman ORBA, menurut saya, kekuatan AL (dan juga AU) tdak bisa dikatakan ideal untuk negri seluas dan sekompleks Indonesia, tapi toh, kita masih bisa dibilang sebagai pemimpin kawasan di Asia Tenggara. Ya, memang politik memegang peranan penting sekali disini. Dan kekuatan AL (dan juga AU) saat ini tidak lebih baik dari masa ORBA. Apakah mengembalikan kekuatan kita (daya tangkal) menjadi setara jaman ORBA bisa cukup untuk mengembalikan posisi kita dulu ? (dengan perkembangan alutsista jaman sekarang tentunya) Apakah itu bisa dibilang minimum essential force ?
Trus, fase2, seperti juga ditulis di halaman-halaman belakang, kita akan berhadapan dengan 2 raksasa Asia ; India dan China dengan visi AL mereka yang menuju Blue Water Navy. Sudah adakah road map TNI-AL untuk 2 tantangan ini ? Mungkin saya tanyanya kejauhan, tapi saya pikir ini nyata..
itu betul sekali mas..sangat sesuai dengan pemikiran saya..hanya saja seringkali kita ini terbelenggu oleh pemikiran kita sendiri yang sering merasa "tidak enak" kalau begini dan kalau begitu..terutama dengan tetangga..sementara tetangga itu bebas-bebas saja berbuat yang sering mengganggu pekarangan kita..sehingga pemikiran inilah yang memunculkan asumsi bahwa sekian tahun ke depan tidak akan ada perang..ini benar kalau didahului dengan kata mungkin..tetapi sekecil apapun kemungkinan itu kalau memang harus terjadi ya terjadilah meskipun kemungkinannya hanya 0.000001%..nah pemikiran politis ini yang tidak mampu diterjemahkan dalam bahasa militer dengan baik..pernyataan itu mengalir secara leterlux diambil sebagai asumsi intelijen militer..dan itulah yang menjadi dasar penyusunan MEF..seharusnya dibedakan antara pernyataan politis yang bersifat outward looking dan pernyataan asumsi intelijen militer yang bersifat inward looking..toh dalam masa supremasi sipil..penggunaan kekuatan militer untuk perang berada dalam kekuasaan penguasa sipil..tetapi pembangunan kekuatan harus ditujukan untuk menciptakan daya tangkal menghilangkan niat bakal lawan untuk melakukan perang.
Posting Komentar