All hands,
Malaysia merupakan salah satu ancaman potensial, bahkan dalam kasus Ambalat merupakan ancaman nyata, terhadap kepentingan nasional Indonesia. Untuk menghadapi negeri tukang klaim ini, Indonesia harus berhitung dengan benar. Jangan sampai negeri kita salah perhitungan yang berimbas pada kerugian terhadap kepentingan nasional sendiri. Berhitung dengan benar bukan berarti kita takut menghadapi negeri yang penuh diskriminasi etnis itu, tetapi lebih sebagai langkah untuk mengantisipasi semua skenario yang terjadi.
Menghadapi Malaysia, selain ada opportunity and chance, ada pula risk and loss. Risk and loss yang harus diperhitungkan dengan matang agar bisa kita minimalisasi. Jangan semata terpaku pada opportunity and chance, sebab hal demikian dapat membahayakan.
Terkait dengan risk and loss di bidang militer, Indonesia harus paham bahwa infrastruktur pertahanan negeri tukang klaim itu sebagian memanfaatkan infrastruktur FPDA. Salah satu di antaranya adalah infrastruktur sensing. Dengan memanfaatkan infrastruktur sensing milik FPDA, intelijen Malaysia dapat mendeteksi pergerakan pesawat udara dan kapal perang militer Indonesia. Infrastruktur sensing milik FPDA banyak, di antaranya OTHR Jindalee milik Australia. Belum lagi satelit mata-mata milik Inggris, yang mana GCHQ di London dipastikan membagi sebagian informasi intelijen kepada Malaysia, khususnya yang terkait dengan ancaman militer terhadap negeri itu.
Jangan lupa pula bahwa komunikasi militer Indonesia selalu disadap oleh infrastruktur intelijen UKUSA yang berbasis di Shoal Bay Waters, Australia. Seringkali para petinggi negeri ini, termasuk militer, terlalu “royal” dalam berbagi informasi melalui jaringan komunikasi, khususnya komunikasi menggunakan fasilitas sipil seperti telepon seluler dan telepon satelit.
Indonesia khususnya militer negeri ini hendaknya tidak lupa pula pengalaman di-jamming oleh Singapura dalam Latihan Gabungan TNI 2008. Malaysia pun bisa melakukan hal demikian memanfaatkan infrastruktur FPDA.
Lalu bagaimana menghadapi semua itu? Salah satu cara adalah melaksanakan intelligence deception. Intelligence deception pernah dilaksanakan oleh Jepang saat menggasak Amerika Serikat di Pearl Harbor 7 Desember 1941. Di dunia militer kita, saat akan digelar operasi militer, dapat dipastikan pancaran gelombang elektromagnetik mengalami peningkatan di atas jumlah normal. Kondisi demikian dipantau oleh intelijen FPDA, selain tentu saja oleh NSA yang bermarkas di Fort Meade, Maryland.
Inilah salah satu kelemahan Indonesia selama ini. Tantangannya, bagaimana menjaga pancaran gelombang elektromagnetik tetap dalam jumlah normal seperti hari-hari tanpa operasi militer, sehingga rencana operasi kita tak tercium terlebih dahulu oleh lawan. Terciumnya rencana operasi berarti menghilangkan unsur pendadakan yang sangat penting operasi militer. Untuk menjaga agar pancaran gelombang elektromagnetik dalam jumlah normal sebenarnya bisa, asal tahu caranya.
Malaysia merupakan salah satu ancaman potensial, bahkan dalam kasus Ambalat merupakan ancaman nyata, terhadap kepentingan nasional Indonesia. Untuk menghadapi negeri tukang klaim ini, Indonesia harus berhitung dengan benar. Jangan sampai negeri kita salah perhitungan yang berimbas pada kerugian terhadap kepentingan nasional sendiri. Berhitung dengan benar bukan berarti kita takut menghadapi negeri yang penuh diskriminasi etnis itu, tetapi lebih sebagai langkah untuk mengantisipasi semua skenario yang terjadi.
Menghadapi Malaysia, selain ada opportunity and chance, ada pula risk and loss. Risk and loss yang harus diperhitungkan dengan matang agar bisa kita minimalisasi. Jangan semata terpaku pada opportunity and chance, sebab hal demikian dapat membahayakan.
Terkait dengan risk and loss di bidang militer, Indonesia harus paham bahwa infrastruktur pertahanan negeri tukang klaim itu sebagian memanfaatkan infrastruktur FPDA. Salah satu di antaranya adalah infrastruktur sensing. Dengan memanfaatkan infrastruktur sensing milik FPDA, intelijen Malaysia dapat mendeteksi pergerakan pesawat udara dan kapal perang militer Indonesia. Infrastruktur sensing milik FPDA banyak, di antaranya OTHR Jindalee milik Australia. Belum lagi satelit mata-mata milik Inggris, yang mana GCHQ di London dipastikan membagi sebagian informasi intelijen kepada Malaysia, khususnya yang terkait dengan ancaman militer terhadap negeri itu.
Jangan lupa pula bahwa komunikasi militer Indonesia selalu disadap oleh infrastruktur intelijen UKUSA yang berbasis di Shoal Bay Waters, Australia. Seringkali para petinggi negeri ini, termasuk militer, terlalu “royal” dalam berbagi informasi melalui jaringan komunikasi, khususnya komunikasi menggunakan fasilitas sipil seperti telepon seluler dan telepon satelit.
Indonesia khususnya militer negeri ini hendaknya tidak lupa pula pengalaman di-jamming oleh Singapura dalam Latihan Gabungan TNI 2008. Malaysia pun bisa melakukan hal demikian memanfaatkan infrastruktur FPDA.
Lalu bagaimana menghadapi semua itu? Salah satu cara adalah melaksanakan intelligence deception. Intelligence deception pernah dilaksanakan oleh Jepang saat menggasak Amerika Serikat di Pearl Harbor 7 Desember 1941. Di dunia militer kita, saat akan digelar operasi militer, dapat dipastikan pancaran gelombang elektromagnetik mengalami peningkatan di atas jumlah normal. Kondisi demikian dipantau oleh intelijen FPDA, selain tentu saja oleh NSA yang bermarkas di Fort Meade, Maryland.
Inilah salah satu kelemahan Indonesia selama ini. Tantangannya, bagaimana menjaga pancaran gelombang elektromagnetik tetap dalam jumlah normal seperti hari-hari tanpa operasi militer, sehingga rencana operasi kita tak tercium terlebih dahulu oleh lawan. Terciumnya rencana operasi berarti menghilangkan unsur pendadakan yang sangat penting operasi militer. Untuk menjaga agar pancaran gelombang elektromagnetik dalam jumlah normal sebenarnya bisa, asal tahu caranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar