All hands,
Sudah merupakan hal yang tak terhindarkan bagi kekuatan militer masa kini untuk beroperasi dalam kerangka gabungan atau jointness atau combinedness. Perbedaan jointness dan combinedness yaitu jointness adalah inter service operations, sedangkan combinedness adalah inter state operations. Jadi jointness itu operasi gabungan antar matra dalam suatu Angkatan Bersenjata, sedangkan combinedness merupakan operasi gabungan antar Angkatan Bersenjata.
Di Indonesia, khususnya di lingkungan TNI, jointness dipahami sebatas operasi gabungan antar dua matra atau lebih untuk mencapai strategic military objective yang telah ditetapkan. Tidak lebih dan tidak kurang!!! Pemahaman demikian tidak keliru, namun sepertinya harus direformulasi karena ada perkembangan baru di negara-negara lain soal isu tersebut.
Jointness masa kini bukan sekedar operasi gabungan antar dua matra atau lebih, tapi sudah menekankan pada kapabilitas. Kapabilitas matra X digabung dengan kapabilitas matra Y guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mensinergikan kapabilitas itu, information and data sharing antar matra merupakan keharusan. Sebagai contoh, apabila Marinir akan menggelar operasi darat lanjutan setelah terbentuknya tumpuan pantai, dia bisa memakai data-data topografi AD.
Hal ini yang masih sulit di TNI. Data masing-masing bukan saja dijaga kerahasiaannya untuk mencegah kebocoran terhadap pihak musuh, tetapi juga terhadap kawan sendiri. Sulit membayangkan misalnya bila Marinir akan menggelar operasi darat lanjutan di daerah X dan membutuhkan dukungan data topografi dari AD, apakah AD dengan sukarela akan memberikan information and data sharing. Jointness yang berbasis pada kapabilitas pada dasarnya mengeliminasi ego matra yang berlebihan.
Situasi demikian merupakan tantangan untuk membenahi kemampuan jointness TNI. Sekarang kemampuan jointness TNI belum seamless, baru tambal sulam. Untuk membenahi hal itu, banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan seperti revisi doktrin dan perangkat lunak lainnya, ubah paradigma, kurangi egoisme matra, memperbanyak frekuensi Latgab dan lain sebagainya.
Kalau tidak, jointness TNI cuma bagus pada saat latihan saja, bukan di situasi nyata. Itulah lesson learned dari jointness pasukan khusus India saat menghadapi 10 gerilyawan Laskhar-e-Taiba atau teroris dari Pakistan di Mumbai beberapa waktu silam. Yang tercipta bukan jointness, tapi disjointness.
Sudah merupakan hal yang tak terhindarkan bagi kekuatan militer masa kini untuk beroperasi dalam kerangka gabungan atau jointness atau combinedness. Perbedaan jointness dan combinedness yaitu jointness adalah inter service operations, sedangkan combinedness adalah inter state operations. Jadi jointness itu operasi gabungan antar matra dalam suatu Angkatan Bersenjata, sedangkan combinedness merupakan operasi gabungan antar Angkatan Bersenjata.
Di Indonesia, khususnya di lingkungan TNI, jointness dipahami sebatas operasi gabungan antar dua matra atau lebih untuk mencapai strategic military objective yang telah ditetapkan. Tidak lebih dan tidak kurang!!! Pemahaman demikian tidak keliru, namun sepertinya harus direformulasi karena ada perkembangan baru di negara-negara lain soal isu tersebut.
Jointness masa kini bukan sekedar operasi gabungan antar dua matra atau lebih, tapi sudah menekankan pada kapabilitas. Kapabilitas matra X digabung dengan kapabilitas matra Y guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mensinergikan kapabilitas itu, information and data sharing antar matra merupakan keharusan. Sebagai contoh, apabila Marinir akan menggelar operasi darat lanjutan setelah terbentuknya tumpuan pantai, dia bisa memakai data-data topografi AD.
Hal ini yang masih sulit di TNI. Data masing-masing bukan saja dijaga kerahasiaannya untuk mencegah kebocoran terhadap pihak musuh, tetapi juga terhadap kawan sendiri. Sulit membayangkan misalnya bila Marinir akan menggelar operasi darat lanjutan di daerah X dan membutuhkan dukungan data topografi dari AD, apakah AD dengan sukarela akan memberikan information and data sharing. Jointness yang berbasis pada kapabilitas pada dasarnya mengeliminasi ego matra yang berlebihan.
Situasi demikian merupakan tantangan untuk membenahi kemampuan jointness TNI. Sekarang kemampuan jointness TNI belum seamless, baru tambal sulam. Untuk membenahi hal itu, banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan seperti revisi doktrin dan perangkat lunak lainnya, ubah paradigma, kurangi egoisme matra, memperbanyak frekuensi Latgab dan lain sebagainya.
Kalau tidak, jointness TNI cuma bagus pada saat latihan saja, bukan di situasi nyata. Itulah lesson learned dari jointness pasukan khusus India saat menghadapi 10 gerilyawan Laskhar-e-Taiba atau teroris dari Pakistan di Mumbai beberapa waktu silam. Yang tercipta bukan jointness, tapi disjointness.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar