All hands,
Apabila pecah konflik dengan Malaysia dalam isu klaim di Laut Sulawesi (Ambalat), salah satu opsi yang tersedia adalah memutus GPL negeri itu dari Semenanjung ke Sabah-Serawak. Untuk melaksanakan hal tersebut, area pelibatannya adalah di Laut Natuna. Soal bertempur di Laut Natuna harus dikalkulasi dengan benar sejak dini.
Ketika melaksanakan pemutusan GPL, Gugus Tugas AL kita akan berhadapan dengan kekuatan udara Malaysia, baik yang berpangkalan di Semenanjung maupun Serawak. Dibutuhkan adanya payung udara untuk menetralisasi ancaman udara tersebut. Pihak yang berkompeten memberikan payung udara adalah AU, khususnya menggunakan pesawat yang berkemampuan air supremacy, bukan pesawat serang darat.
Menurut kalkulasi saya, pesawat tersebut hanya mempunyai dua pilihan pangkalan bertolak, yaitu Supadio dan Ranai. Mengingat luasnya wilayah udara Natuna, pesawat itu harus mempunyai endurance yang lama. Pertanyaannya, apakah AU mempunyai aset yang tepat untuk persyaratan demikian?
Sepertinya pilihan yang tersedia cuma Su-30, karena F-16A/B mempunyai endurance yang lebih pendek. Selain itu, dari segi persenjataan F-16A/B Indonesia cuma dilengkapi rudal jarak pendek. Apalagi F-5E/F yang endurance-nya lebih pendek dari F-16A/B.
Namun masalahnya armada Su-30 yang tersedia harus dibagi peruntukannya dengan front di Laut Sulawesi. Di perairan itu Gugus Tugas AL kita juga sangat rentan terhadap serangan udara lawan yang bertolak dari Sabah. Hal ini harus menjadi perhatian Indonesia sejak dini untuk mengantisipasi risk and loss di Ambalat.
Kenapa saya berpikir tentang payung udara? Sebab dalam operasi Angkatan Laut masa kini, pilihan yang paling realistis adalah operasi gabungan. Artinya Angkatan Laut juga harus berhitung tentang kemampuan Angkatan Udara untuk mendukung dan melindungi armadanya. AL dan AU dituntut untuk melaksanakan interoperability.
Dalam kasus pemutusan GPL di Laut Natuna, perlu diperhitungkan pula faktor Singapura. Secara de facto, ruang udara di atas Laut Natuna milik Singapura, berkat kebodohan para penentu kebijakan di negeri ini di masa lalu. Para penentu kebijakan dan juga sebagian ahli hukum saat itu termakan oleh frase bahwa pengendalian FIR hanya sebatas isu keselamatan penerbangan dan tidak terkait kedaulatan. Soal ini saya saya pernah berdebat dengan seorang ahli hukum laut internasional, yang sayangnya nggak ketemu prinsipnya. Soalnya sang ahli hukum bersikukuh pada aspek hukum, sementara saya berangkat dari realitas di lapangan.
Perlu dikaji bagaimana Singapura bersikap bila ada konflik di Laut Natuna. Apakah dia akan melibatkan diri untuk melindungi FIR-nya, termasuk eks area MTA-1 yang tak boleh dimasuki oleh pesawat apapun selama 24 jam sepanjang tahun? Untuk melindungi armada laut kita, pertempuran udara akan terjadi di “wilayah kedaulatan” FIR Singapura di atas Laut Natuna.
Kalkulasi tempur di Laut Natuna ini baru secara garis besar, belum lagi menyinggung soal peperangan yang akan digelar oleh AL kita. Ancaman terhadap AL kita bukan saja dari udara, tetapi juga dari permukaan dan bawah permukaan.
Apabila pecah konflik dengan Malaysia dalam isu klaim di Laut Sulawesi (Ambalat), salah satu opsi yang tersedia adalah memutus GPL negeri itu dari Semenanjung ke Sabah-Serawak. Untuk melaksanakan hal tersebut, area pelibatannya adalah di Laut Natuna. Soal bertempur di Laut Natuna harus dikalkulasi dengan benar sejak dini.
Ketika melaksanakan pemutusan GPL, Gugus Tugas AL kita akan berhadapan dengan kekuatan udara Malaysia, baik yang berpangkalan di Semenanjung maupun Serawak. Dibutuhkan adanya payung udara untuk menetralisasi ancaman udara tersebut. Pihak yang berkompeten memberikan payung udara adalah AU, khususnya menggunakan pesawat yang berkemampuan air supremacy, bukan pesawat serang darat.
Menurut kalkulasi saya, pesawat tersebut hanya mempunyai dua pilihan pangkalan bertolak, yaitu Supadio dan Ranai. Mengingat luasnya wilayah udara Natuna, pesawat itu harus mempunyai endurance yang lama. Pertanyaannya, apakah AU mempunyai aset yang tepat untuk persyaratan demikian?
Sepertinya pilihan yang tersedia cuma Su-30, karena F-16A/B mempunyai endurance yang lebih pendek. Selain itu, dari segi persenjataan F-16A/B Indonesia cuma dilengkapi rudal jarak pendek. Apalagi F-5E/F yang endurance-nya lebih pendek dari F-16A/B.
Namun masalahnya armada Su-30 yang tersedia harus dibagi peruntukannya dengan front di Laut Sulawesi. Di perairan itu Gugus Tugas AL kita juga sangat rentan terhadap serangan udara lawan yang bertolak dari Sabah. Hal ini harus menjadi perhatian Indonesia sejak dini untuk mengantisipasi risk and loss di Ambalat.
Kenapa saya berpikir tentang payung udara? Sebab dalam operasi Angkatan Laut masa kini, pilihan yang paling realistis adalah operasi gabungan. Artinya Angkatan Laut juga harus berhitung tentang kemampuan Angkatan Udara untuk mendukung dan melindungi armadanya. AL dan AU dituntut untuk melaksanakan interoperability.
Dalam kasus pemutusan GPL di Laut Natuna, perlu diperhitungkan pula faktor Singapura. Secara de facto, ruang udara di atas Laut Natuna milik Singapura, berkat kebodohan para penentu kebijakan di negeri ini di masa lalu. Para penentu kebijakan dan juga sebagian ahli hukum saat itu termakan oleh frase bahwa pengendalian FIR hanya sebatas isu keselamatan penerbangan dan tidak terkait kedaulatan. Soal ini saya saya pernah berdebat dengan seorang ahli hukum laut internasional, yang sayangnya nggak ketemu prinsipnya. Soalnya sang ahli hukum bersikukuh pada aspek hukum, sementara saya berangkat dari realitas di lapangan.
Perlu dikaji bagaimana Singapura bersikap bila ada konflik di Laut Natuna. Apakah dia akan melibatkan diri untuk melindungi FIR-nya, termasuk eks area MTA-1 yang tak boleh dimasuki oleh pesawat apapun selama 24 jam sepanjang tahun? Untuk melindungi armada laut kita, pertempuran udara akan terjadi di “wilayah kedaulatan” FIR Singapura di atas Laut Natuna.
Kalkulasi tempur di Laut Natuna ini baru secara garis besar, belum lagi menyinggung soal peperangan yang akan digelar oleh AL kita. Ancaman terhadap AL kita bukan saja dari udara, tetapi juga dari permukaan dan bawah permukaan.
2 komentar:
hi, I truly enjoy reading your blog. Your ideas/opinions are refreshing, its good to read opinions on such diverse naval matters. IMO, any operations to disrupt strategic SLOCs between East & West Malaysia, with Natuna as the standing base, will be hard to begin with - i. geostrategically, Natuna is surrounded by Msian naval bases and air force base. ii) logistical nightmare to operate a continous, high-intensity operation far away from home. iii) the lack of proper naval air wing, and the apparent weaknesses in TNI AL's ships when it comes to AA capability. iv) TNI AU will be streched out during conflict, esp if another theatre of conflict is opened by aggressors, due to fairly limited power projection capability. Air dominance in the area is diff, IMO Indonesia still doesnt have the required strength & equipments to perform a continous CAP ops so far away from home. and yes, i agree with you on the subject of Singapore's involvement/intention..
Thank u for visiting my blog. As a strategist, I should count all possible scenarios on Natuna's engagement. I have no objection on your assessment. That's why I raise Natuna's engagement subject to encourage my fellow citizen and particullary my naval and armed forces colleagues to assess our actual capability at the time being. And then let we prepare for the worst scenario through force build up in near future. We can't identify our weakness(es) if we do not assess it, right. And to asess our ownself is not easy one, because most of people feel what capability we have today is enough to accomplish our (military) missions.
Posting Komentar