08 Desember 2008

Penerbangan Angkatan Laut dan Maritime Domain Awareness

All hands,
Salah satu unsur penting untuk menciptakan maritime domain awareness adalah Penerbangan Angkatan Laut alias Naval Air Wing. Sebab di antara fungsi Penerbangan Angkatan Laut adalah sebagai mata dan telinga bagi Armada, selain sebagai kekuatan pemukul. Dan sejarah awal terbentuknya Penerbangan Angkatan Laut di berbagai negara adalah sebagai kepanjangan tangan dari Armada, khususnya untuk mengetahui situasi perairan yang berada puluhan dan ratusan mil laut dari posisi kapal-kapal perang.
Dalam era masa kini yang menuntut terciptanya maritime domain awareness, peran Penerbangan Angkatan Laut sangat penting. Oleh sebab itu, satuan tersebut harus dilengkapi dengan sejumlah alutsista yang mampu melaksanakan tugas-tugas patroli, pengamatan maupun pengintaian. Informasi yang berhasil dikumpulkan oleh pesawat patroli akan diolah satuan lain sebagai bagian dari penciptaan maritime domain awareness.
Dikaitkan dengan Penerbangan AL kita, cukup banyak tantangan ke depan yang harus dihadapi. Menyangkut maritime domain awareness, Penerbangan AL kita dituntut untuk mempunyai pesawat-pesawat patroli maritim yang mumpuni. Dalam arti pesawat tersebut memang benar-benar dirancang untuk mampu melaksanakan patroli maritim, bukan pesawat non patroli maritim yang “dipaksa” untuk melaksanakan patroli maritim.
Berdiskusi tentang pesawat patroli maritim, ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa di antaranya adalah pertama, endurance-nya lama, di atas tiga jam. Kedua, dilengkapi sensor untuk mendeteksi sasaran di atas permukaan laut maupun di bawah permukaan laut. Ketiga, sebaiknya pesawat turboprop.
Persyaratan pertama menurut saya yang cocok buat Penerbangan AL kita adalah CN-235 MPA. Kalau NC-212 MPA menurut saya agak tanggung, karena endurance-nya cuma sekitar tiga jam. Soal endurance kita sebaiknya belajar dari pengalaman mengoperasikan N-22/24 Nomad.
Sadar atau tidak, Australia menjual Nomad ke Indonesia agar kemampuan patroli maritim kita eksis tapi terbatas alias kerdil. Sementara AL kita menggunakan Nomad, Royal Australian Navy memakai P-3 Orion. Tentu saja tidak imbang dari berbagai aspek. Sebagai perbandingan, apabila kedua pesawat berpatroli di area tertentu dengan luas tertentu, P-3 Orion sudah lima bolak-balik, N-22 Nomad baru dua kali.
Tentang persyaratan kedua, terkait dengan fungsi asasi patroli maritim untuk mendeteksi kapal selam. Untuk mampu melaksanakan tugas itu, radar yang dipakai harus jenis Amascos-300, bukan Amascos-200 seperti yang terpasang di CN-235 MPA AU. Boleh saja AU berbangga dengan CN-235 MPA-nya, tapi perlu diketahui bahwa fungsi asasi MPA adalah untuk AKS.
Dan Amascos-200 bukan radar yang memenuhi spesifikasi itu. Bahwa CN-235 MPA bisa dipakai untuk mendeteksi kapal ikan yah boleh-boleh saja, tapi terlalu mahal peralatan pesawat itu kalau hanya untuk mendeteksi kapal ikan. Itu sama saja dengan kita beli fregat dengan bermacam senjata yang terpasang digeladaknya, tapi fungsi asasinya cuma untuk mengejar kapal ikan.
Apa tidak boros dan menciptakan inefisiensi? Kalau hanya untuk mengejar kapal ikan, cukup dipersenjatai dengan meriam 76 mm tanpa rudal maupun torpedo. Itu yang tengah dibangun oleh Royal Netherland Navy dengan Patrouilleschepen Class. Kapal itu tonasenya 3.750 ton, kecepatan ekonomis 20 kts, panjang 100 m, senjatanya cuma meriam Oto Melara 76 mm Super Rapid.
Menyangkut pesawat turboprop, karena biaya operasionalnya lebih murah daripada pesawat jet. Meskipun U.S. Navy berencana mengganti PC-3 Orion dengan P-8 Poseidon yang berbasis pada Boeing B-737, namun banyak Angkatan Laut di dunia yang lebih memilih pesawat turboprop sebagai pesawat patroli maritim. Kalau Angkatan Udara di dunia mungkin ceritanya berbeda, sebab ada AU di dunia yang dengan bangga mengoperasikan B-737 sebagai pesawat MPA.
Dalam konteks Indonesia, pesawat turboprop juga menjadi pilihan sebab panjang landasan di daerah-daerah operasi tidak sama. Apalagi ketika beroperasi di wilayah yang bandaranya hanya mampu melayani sekelas CN-235.
Ke depan, perlu dipertimbangkan pula penggunaan wahana tak berawak untuk keperluan operasi. Dengan bentuknya yang tidak terlalu memakai banyak ruang, wahana ini dapat diluncurkan dari kapal perang untuk membantu kemampuan sensing. Dengan catatan bahwa wahana yang digunakan merupakan generasi terakhir, jangan sampai seperti kasus pembelian UAV Searcher II asal Israel oleh Bais TNI dan konon dioperasikan oleh AU.
Kembali ke topik maritime domain awareness, salah satu pekerjaan rumah untuk mewujudkan itu adalah membenahi kemampuan Penerbangan AL kita. Sebab Penerbangan AL adalah satu unsur penting untuk mendukung terciptanya maritime domain awareness. Penguasaan terhadap maritime domain awareness berarti meningkatkan kemampuan AL kita secara keseluruhan.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Untuk pengembangan kekuatan penerbangan AL sendiri bagaimana tor? karena setahu saya belum ada blue print yang jelas terkait pengembangan kekuatan udara di laut. Dulu pernah ada wacana beli Skytruck tapi tidak jadi, heli MI-2 dari Rusia pun tersendat. Tidak bisakah kita meminta pesawat dengan spesifikasi khusus yang cocok untuk AL kita?
Memang kasian nasib penerbangan AL kita ini, bisa2 fungsinya diambil alih matra lain yang merasa "lebih berhak" cuma karena unsur platform yang digunakan.

Damn The Torpedoes!!! mengatakan...

Yang saya tahu memang belum ada blue print-nya.Apalagi di dalam organisasi itu lagi "umek" soal binpers,makanya penerbang dari IDP dan sebagian Capa keluar ke penerbangan sipil.Kata kawan-kawan di Juanda,motivasi mereka sebenarnya bukan materi, tapi sesuatu dan lain hal.
Untuk alut,ke depan menurut saya sudah bagus.Sudah pesan 2 CN-235 ASW dan 1 NC-212 MPA.Sekarang kan baru ada 3 NC-212 MPA.Keputusan pemimpin pesan pesawat-pesawat itu patut diacungi jempol.Kebetulan latar belakang pemimpin kan dari Penerbangan juga.He...he...he...