All hands,
Dalam era saat ini, diplomasi tidak lagi didominasi oleh aktor tunggal yaitu para diplomat dari Departemen Luar Negeri. Seiring makin kompleksnya isu-isu diplomasi, kini sukar untuk dibantah bahwa diplomasi pada bidang-bidang teknis lebih banyak dilakukan oleh para aktor non Departemen Luar Negeri. Misalnya masalah perdagangan, pertanian, perhubungan dan tentu saja pertahanan.
Diakui atau tidak, hal itu menimbulkan kesan merebut lahan yang selama puluhan tahun dinikmati. Oleh karena itu, ada upaya untuk mengebiri peran diplomasi tertentu, antara lain diplomasi pertahanan. Mau bukti?
Sekitar 1-2 tahun lalu, ada upaya dari pihak tertentu untuk menurunkan derajat Atase Pertahanan kita di luar negeri menjadi setingkat kepala bidang. Desainnya adalah Kepala Bidang Pertahanan. Hal itu menimbulkan resistensi kuat dari Departemen Pertahanan dan TNI, karena terkesan akan menurunkan para Atase Pertahanan menjadi bawahan Duta Besar.
Betul bahwa Duta Besar adalah wakil dari Presiden RI di luar negeri. Betul bahwa kegiatan Atase Pertahanan harus diketahui oleh Duta Besar. Selama ini memang begitu prakteknya, walaupun yang dilaporkan kepada Duta Besar hanya secara garis besar. Soal misalnya sang Atase gelar operasi intelijen di negara akreditasi, itu nggak akan pernah dilaporkan kepada Duta Besar.
Perlu diketahui bahwa Atase Pertahanan adalah chief of spy resmi/terbuka dari militer suatu negara dan mereka laporan ke Panglima TNI dan Kabais. Yang bina mereka yah Kabais.
Atasan Atase Pertahanan adalah Panglima TNI. Sistem yang berlaku sekarang sebagai warisan era lama memang begitu. Sejak beberapa tahun terakhir kuat keinginan dari Departemen Pertahanan agar Atase Pertahanan atasannya bukan Panglima TNI, tetapi Menteri Pertahanan. Keinginan itu betul sekali dan saya sangat setuju. Sebab dalam praktek internasional Atase Pertahanan adalah wakil dari Menteri Pertahanan, bukan wakil dari Panglima Militer.
Atase Pertahanan di KBRI relatif otonom. Anggarannya berdiri sendiri dan diaudit oleh Departemen Pertahanan dan TNI. Hal-hal demikian, menurut cerita dari beberapa perwira yang pernah bertugas di jabatan itu, terkadang menimbulkan kecemburuan dari pihak lain.
Karena resistensi yang kuat itu maka niat menurunkan derajat Atase Pertahanan tidak jadi. Saya tak bisa bayangkan bila usulan itu terwujud. Sangat aneh bila aspirasi itu dituruti, karena di mana-mana dalam praktek diplomasi Atase Pertahanan memang relatif otonom. Sama halnya dengan intelligence station chief di kedutaan yang pasti sangat otonom karena asas kompartementasi yang dianut oleh intelijen.
Dalam dekade terakhir, sangat kentara bahwa peran diplomasi pertahanan meningkat tajam. Makanya peran militer dalam diplomasi meningkat. Dalam konteks Indonesia, juga demikian. Pada matra AL saja, dalam satu tahun berapa kali menggelar kegiatan diplomasi pertahanan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Diplomasi pertahanan, kata militer Amerika Serikat, ...more than protocol, alcohol and cholesterol.
Yang masih menjadi masalah adalah sebagian SDM militer kita tak pandai berbahasa Inggris. Itu menjadi kendala utama selama ini. Padahal dalam diplomasi pertahanan, khususnya pada level service to service, pembicaraannya sudah sangat teknis operasional. Kalau sudah teknis operasional, tidak ada yang lebih paham dibanding militer itu sendiri.
Dalam era saat ini, diplomasi tidak lagi didominasi oleh aktor tunggal yaitu para diplomat dari Departemen Luar Negeri. Seiring makin kompleksnya isu-isu diplomasi, kini sukar untuk dibantah bahwa diplomasi pada bidang-bidang teknis lebih banyak dilakukan oleh para aktor non Departemen Luar Negeri. Misalnya masalah perdagangan, pertanian, perhubungan dan tentu saja pertahanan.
Diakui atau tidak, hal itu menimbulkan kesan merebut lahan yang selama puluhan tahun dinikmati. Oleh karena itu, ada upaya untuk mengebiri peran diplomasi tertentu, antara lain diplomasi pertahanan. Mau bukti?
Sekitar 1-2 tahun lalu, ada upaya dari pihak tertentu untuk menurunkan derajat Atase Pertahanan kita di luar negeri menjadi setingkat kepala bidang. Desainnya adalah Kepala Bidang Pertahanan. Hal itu menimbulkan resistensi kuat dari Departemen Pertahanan dan TNI, karena terkesan akan menurunkan para Atase Pertahanan menjadi bawahan Duta Besar.
Betul bahwa Duta Besar adalah wakil dari Presiden RI di luar negeri. Betul bahwa kegiatan Atase Pertahanan harus diketahui oleh Duta Besar. Selama ini memang begitu prakteknya, walaupun yang dilaporkan kepada Duta Besar hanya secara garis besar. Soal misalnya sang Atase gelar operasi intelijen di negara akreditasi, itu nggak akan pernah dilaporkan kepada Duta Besar.
Perlu diketahui bahwa Atase Pertahanan adalah chief of spy resmi/terbuka dari militer suatu negara dan mereka laporan ke Panglima TNI dan Kabais. Yang bina mereka yah Kabais.
Atasan Atase Pertahanan adalah Panglima TNI. Sistem yang berlaku sekarang sebagai warisan era lama memang begitu. Sejak beberapa tahun terakhir kuat keinginan dari Departemen Pertahanan agar Atase Pertahanan atasannya bukan Panglima TNI, tetapi Menteri Pertahanan. Keinginan itu betul sekali dan saya sangat setuju. Sebab dalam praktek internasional Atase Pertahanan adalah wakil dari Menteri Pertahanan, bukan wakil dari Panglima Militer.
Atase Pertahanan di KBRI relatif otonom. Anggarannya berdiri sendiri dan diaudit oleh Departemen Pertahanan dan TNI. Hal-hal demikian, menurut cerita dari beberapa perwira yang pernah bertugas di jabatan itu, terkadang menimbulkan kecemburuan dari pihak lain.
Karena resistensi yang kuat itu maka niat menurunkan derajat Atase Pertahanan tidak jadi. Saya tak bisa bayangkan bila usulan itu terwujud. Sangat aneh bila aspirasi itu dituruti, karena di mana-mana dalam praktek diplomasi Atase Pertahanan memang relatif otonom. Sama halnya dengan intelligence station chief di kedutaan yang pasti sangat otonom karena asas kompartementasi yang dianut oleh intelijen.
Dalam dekade terakhir, sangat kentara bahwa peran diplomasi pertahanan meningkat tajam. Makanya peran militer dalam diplomasi meningkat. Dalam konteks Indonesia, juga demikian. Pada matra AL saja, dalam satu tahun berapa kali menggelar kegiatan diplomasi pertahanan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Diplomasi pertahanan, kata militer Amerika Serikat, ...more than protocol, alcohol and cholesterol.
Yang masih menjadi masalah adalah sebagian SDM militer kita tak pandai berbahasa Inggris. Itu menjadi kendala utama selama ini. Padahal dalam diplomasi pertahanan, khususnya pada level service to service, pembicaraannya sudah sangat teknis operasional. Kalau sudah teknis operasional, tidak ada yang lebih paham dibanding militer itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar