All hands,
Imbal beli dalam pengaaan alutsista bukan suatu hal yang baru di dunia. Dalam konteks Indonesia, upaya imbal beli pernah diupayakan dalam pengadaan pesawat tempur Sukhoi Su-27/30 beberapa tahun lalu. Konon kabarnya, program imbal beli itu tidak terlaksana karena ketidaksiapan dari pihak Indonesia sendiri. Jadi Sukhoi gelombang pertama praktis dilaksanakan tanpa program imbal beli.
Kegagalan dalam program imbal beli kembali terjadi dalam kasus dua kapal selam U-209/Changbogo buatan Korea Selatan dengan delapan CN-235. Usulan yang sempat mengemuka beberapa waktu lalu sekarang praktis gagal, karena kembali Indonesia tidak siap. Dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia, entah tidak siap kapasitas produksinya ataukah tidak siap permodalan.
Sebab yang saya ketahui, permodalan yang siap dari industri dirgantara kebanggaan Indonesia saat ini adalah untuk produksi NC-212-400 pesanan PT Merpati Nusantara. Permodalan itu merupakan kredit dari sebuah bank BUMN. Sedangkan menyangkut kapasitas produksi, saat ini perusahaan yang berbasis di Bandung itu telah menandatangani beberapa kontrak pengadaan CN-235, di antaranya dua CN-235 MPA pesanan AL kita. Apabila harus melayani pesanan delapan CN-235 pesanan Korea Selatan, sepertinya kapasitas produksi PT Dirgantara Indonesia sudah lebih dan berpotensi untuk terkena denda dari konsumen karena penyerahan pesawat yang tak sesuai jadwal yang disepakati.
Hal itu menunjukkan bahwa belum ada kesiapan dari Indonesia selama ini untuk melaksanakan imbal beli bagi kepentingan pengadaan alutsista. Yang tidak siap adalah elemen kekuatan nasional di luar militer, yaitu ekonomi. Para pemain ekonomi Indonesia, termasuk BUMN, belum dikondisikan untuk mendukung pengadaan alutsista.
Berangkat dari sini, ke depan perlu disinkronkan antara program pembangunan kekuatan pertahanan dengan program industri pertahanan atau industri lainnya. Untuk menyesuaikan itu sudah gampang kok, karena blue print pembangunan pertahanan yaitu Postur Pertahanan 2010-2029 sudah ada. Dari situ bisa terlihat dalam periode 2010-2014 misalnya, apa saja kebutuhan pengadaan alutsista setiap matra TNI. Selanjutnya bisa ditelusuri, mana item yang pengadaaannya dapat dipenuhi dari dalam negeri, mana yang harus tetap impor.
Item yang mengandalkan impor inilah yang bisa dijadikan sasaran untuk imbal beli. Misalnya kapal perang ukuran korvet dan fregat, rudal atau pesawat tempur. Dengan catatan bahwa pengadaan senjata-senjata dimaksud berasal dari negara yang membuka kemungkinan imbal beli.
Sebagai catatan, dengan imbal beli setidaknya kita bisa melakukan penghematan setidaknya 40 persen. Dua kapal selam yang harganya berkisar US$ 700-800 juta, dengan imbal beli kita hemat devisa sekitar US$ 280-320 juta. Penghematan itu bisa digunakan untuk kepentingan lain, misalnya membangun fasilitas kapal selam.
Dengan batalnya program imbal beli dua kapal selam U-209/Changbogo dengan delapan CN-235, maka peluang kapal selam itu memperkuat armada AL kita menjadi kecil. Kini yang bersaing tinggal kapal selam buatan Rusia versus Jerman.
Imbal beli dalam pengaaan alutsista bukan suatu hal yang baru di dunia. Dalam konteks Indonesia, upaya imbal beli pernah diupayakan dalam pengadaan pesawat tempur Sukhoi Su-27/30 beberapa tahun lalu. Konon kabarnya, program imbal beli itu tidak terlaksana karena ketidaksiapan dari pihak Indonesia sendiri. Jadi Sukhoi gelombang pertama praktis dilaksanakan tanpa program imbal beli.
Kegagalan dalam program imbal beli kembali terjadi dalam kasus dua kapal selam U-209/Changbogo buatan Korea Selatan dengan delapan CN-235. Usulan yang sempat mengemuka beberapa waktu lalu sekarang praktis gagal, karena kembali Indonesia tidak siap. Dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia, entah tidak siap kapasitas produksinya ataukah tidak siap permodalan.
Sebab yang saya ketahui, permodalan yang siap dari industri dirgantara kebanggaan Indonesia saat ini adalah untuk produksi NC-212-400 pesanan PT Merpati Nusantara. Permodalan itu merupakan kredit dari sebuah bank BUMN. Sedangkan menyangkut kapasitas produksi, saat ini perusahaan yang berbasis di Bandung itu telah menandatangani beberapa kontrak pengadaan CN-235, di antaranya dua CN-235 MPA pesanan AL kita. Apabila harus melayani pesanan delapan CN-235 pesanan Korea Selatan, sepertinya kapasitas produksi PT Dirgantara Indonesia sudah lebih dan berpotensi untuk terkena denda dari konsumen karena penyerahan pesawat yang tak sesuai jadwal yang disepakati.
Hal itu menunjukkan bahwa belum ada kesiapan dari Indonesia selama ini untuk melaksanakan imbal beli bagi kepentingan pengadaan alutsista. Yang tidak siap adalah elemen kekuatan nasional di luar militer, yaitu ekonomi. Para pemain ekonomi Indonesia, termasuk BUMN, belum dikondisikan untuk mendukung pengadaan alutsista.
Berangkat dari sini, ke depan perlu disinkronkan antara program pembangunan kekuatan pertahanan dengan program industri pertahanan atau industri lainnya. Untuk menyesuaikan itu sudah gampang kok, karena blue print pembangunan pertahanan yaitu Postur Pertahanan 2010-2029 sudah ada. Dari situ bisa terlihat dalam periode 2010-2014 misalnya, apa saja kebutuhan pengadaan alutsista setiap matra TNI. Selanjutnya bisa ditelusuri, mana item yang pengadaaannya dapat dipenuhi dari dalam negeri, mana yang harus tetap impor.
Item yang mengandalkan impor inilah yang bisa dijadikan sasaran untuk imbal beli. Misalnya kapal perang ukuran korvet dan fregat, rudal atau pesawat tempur. Dengan catatan bahwa pengadaan senjata-senjata dimaksud berasal dari negara yang membuka kemungkinan imbal beli.
Sebagai catatan, dengan imbal beli setidaknya kita bisa melakukan penghematan setidaknya 40 persen. Dua kapal selam yang harganya berkisar US$ 700-800 juta, dengan imbal beli kita hemat devisa sekitar US$ 280-320 juta. Penghematan itu bisa digunakan untuk kepentingan lain, misalnya membangun fasilitas kapal selam.
Dengan batalnya program imbal beli dua kapal selam U-209/Changbogo dengan delapan CN-235, maka peluang kapal selam itu memperkuat armada AL kita menjadi kecil. Kini yang bersaing tinggal kapal selam buatan Rusia versus Jerman.
4 komentar:
Jadi ?? semua itu hanya mimpiii ??..
mimpi nambah kapal selam maksudnya tor..
Tenang sun,sumbernya bukan dari Korea Selatan.Tapi dari negeri lain.Jadi bukan mimpi.Sabar,semoga tahun depan sudah ada keputusan dari pemerintah soal sumber kapal selam baru kita.Anggaran sudah siap kok.
Skedar tanya bung Allhands, kalo kira2 beberapa parts dari KS itu industri dlm negeri yg bikin mau gak ya mereka itu? (maksudnya produsen KS). Misalkan batere,apa gak mungkin diproduksi di dlm negeri.Saya kepikiran seperti Airbus bikin pesawat.Wingtip dr PT.DI,rem dari A,sayap dalam dari B, dll.Khan lumayan kalo mereka mau dan kita bisa.Alih2 alih teknologi lah.
Untuk bisa bikin itu kan harus ada investasi dulu,selain harus ada kesepakatan dengan pabrikan.Misal mau bikin baterai,tentu baterainya tak sama dengan baterai biasa.Untuk bikin sirip misalnya,harus investasi dulu permesinan untuk itu.Semua kembali ke kebijakan pemerintah,termasuk kemampuan lobi dengan produsen.Bisa sih seperti itu pakai off-set,tapi belinya harus banyak.Dulu beli F-16 off-set dan yang dibeli 1 skadron,bukan 1 atau 2 F-16.
Posting Komentar