All hands,
Terdapat empat elemen yang harus diperhatikan dalam membangun kemampuan tempur Angkatan Laut. Yaitu menyangkut sensing, mobility, firepower dan C4ISR. Keempat elemen tersebut berkaitan satu sama lain, sehingga tidak ada yang dapat diabaikan begitu saja.
Apabila kita mengikuti kecenderungan pembangunan kekuatan laut di kawasan Asia Pasifik, ada suatu butir penting yang harus dicermati. Yakni pola pembangunan kekuatan laut Australia yang agak berbeda dengan negara-negara lain di kawasan. Bila negeri-negeri seperti Jepang dan Singapura terus menambah kuantitas (sekaligus kualitas) kapal perang sehingga terkadang dinilai jumlah alutsista itu sudah tidak berbanding lurus dengan luas area of responsibility (AOR) mereka, Australia malah sebaliknya.
Royal Australian Navy mempunyai AOR (klaim negeri itu, bukan pengakuan internasional) mencakup kawasan Asia Pasifik dan terlibat dalam operasi di Asia Barat. Dengan begitu luasnya AOR negeri itu, pemerintah Australia dengan percaya diri hanya memperkuat Angkatan Laut-nya dengan 14 kapal kombatan atas air dan enam kapal selam. Pertanyaan, ada apa di balik kebijakan itu?
Menurut saya, salah satu jawabannya terletak pada kemampuan sensing negeri itu yang sampai ke Asia Tenggara. Dengan OTHR Jindalee, pergerakan pesawat udara dan juga kapal perang di Asia Tenggara dapat dipantau olehnya. Selain itu, Australia juga mengandalkan pusat eavesdropping UKUSA di Shoals Bay untuk menyadap komunikasi militer di Asia Tenggara. Seperti diketahui, setiap pergerakan kapal perang dan pesawat udara tidak sepenuhnya radio silent, kecuali saat melaksanakan operasi tertentu.
Dalam konteks operasi AL kita, kita harus yakinkan diri bahwa laporan posisi kapal perang kita pada jam tertentu setiap harinya pasti disadap oleh Australia. Soal bisa dibuka atau tidak, wallahu alam. Tapi kalau sandi yang digunakan mudah dibuka, yah....
Dengan mengandalkan pada kemampuan sensing, Australia dapat mengatur penyebaran kapal perangnya sedemikian rupa. Pada perairan tertentu yang dinilai rawan, di situlah kapal perang akan diarahkan. Bila tidak rawan, kehadiran kapal perang sepertinya tidak diprioritaskan. Cukup pada patroli maritim P-3 Orion.
Hal yang saya bahas di sini dalam konteks peran militer Angkatan Laut, bukan peran konstabulari. Untuk peran konstabulari, Royal Australian Navy melaksanakannya di bawah kodal Border Protection Command (BPC). BPC yang mengatur operasi keamanan maritim di wilayah perairan Australia.
Berangkat dari kasus Australia, negeri itu membangun Angkatan Laut dengan kekuatan yang secara kuantitas sedikit, namun secara kualitas kelas dunia. Jumlah kapal kombatan atas air yang sedikit diimbangi dengan kemampuan sensing yang luar biasa. Sehingga kapal perang senantiasa akan disebarkan pada wilayah yang rawan saja sesuai hasil pantau peralatan sensing. Pola operasi demikian sudah pasti menghemat biaya yang cukup besar.
Menurut saya, Indonesia dalam hal ini AL kita sudah sepantas meniru apa yang dilakukan oleh Australia. Kita harus mengutamakan pembenahan kemampuan sensing untuk mendukung terciptanya maritime domain awareness. Biarpun, katakanlah, kapal kombatan atas air kita cuma 15, namun dengan kemampuan sensing yang mumpuni, pasti akan diperhitungkan oleh pihak-pihak lain di kawasan. (Bersambung...)
Terdapat empat elemen yang harus diperhatikan dalam membangun kemampuan tempur Angkatan Laut. Yaitu menyangkut sensing, mobility, firepower dan C4ISR. Keempat elemen tersebut berkaitan satu sama lain, sehingga tidak ada yang dapat diabaikan begitu saja.
Apabila kita mengikuti kecenderungan pembangunan kekuatan laut di kawasan Asia Pasifik, ada suatu butir penting yang harus dicermati. Yakni pola pembangunan kekuatan laut Australia yang agak berbeda dengan negara-negara lain di kawasan. Bila negeri-negeri seperti Jepang dan Singapura terus menambah kuantitas (sekaligus kualitas) kapal perang sehingga terkadang dinilai jumlah alutsista itu sudah tidak berbanding lurus dengan luas area of responsibility (AOR) mereka, Australia malah sebaliknya.
Royal Australian Navy mempunyai AOR (klaim negeri itu, bukan pengakuan internasional) mencakup kawasan Asia Pasifik dan terlibat dalam operasi di Asia Barat. Dengan begitu luasnya AOR negeri itu, pemerintah Australia dengan percaya diri hanya memperkuat Angkatan Laut-nya dengan 14 kapal kombatan atas air dan enam kapal selam. Pertanyaan, ada apa di balik kebijakan itu?
Menurut saya, salah satu jawabannya terletak pada kemampuan sensing negeri itu yang sampai ke Asia Tenggara. Dengan OTHR Jindalee, pergerakan pesawat udara dan juga kapal perang di Asia Tenggara dapat dipantau olehnya. Selain itu, Australia juga mengandalkan pusat eavesdropping UKUSA di Shoals Bay untuk menyadap komunikasi militer di Asia Tenggara. Seperti diketahui, setiap pergerakan kapal perang dan pesawat udara tidak sepenuhnya radio silent, kecuali saat melaksanakan operasi tertentu.
Dalam konteks operasi AL kita, kita harus yakinkan diri bahwa laporan posisi kapal perang kita pada jam tertentu setiap harinya pasti disadap oleh Australia. Soal bisa dibuka atau tidak, wallahu alam. Tapi kalau sandi yang digunakan mudah dibuka, yah....
Dengan mengandalkan pada kemampuan sensing, Australia dapat mengatur penyebaran kapal perangnya sedemikian rupa. Pada perairan tertentu yang dinilai rawan, di situlah kapal perang akan diarahkan. Bila tidak rawan, kehadiran kapal perang sepertinya tidak diprioritaskan. Cukup pada patroli maritim P-3 Orion.
Hal yang saya bahas di sini dalam konteks peran militer Angkatan Laut, bukan peran konstabulari. Untuk peran konstabulari, Royal Australian Navy melaksanakannya di bawah kodal Border Protection Command (BPC). BPC yang mengatur operasi keamanan maritim di wilayah perairan Australia.
Berangkat dari kasus Australia, negeri itu membangun Angkatan Laut dengan kekuatan yang secara kuantitas sedikit, namun secara kualitas kelas dunia. Jumlah kapal kombatan atas air yang sedikit diimbangi dengan kemampuan sensing yang luar biasa. Sehingga kapal perang senantiasa akan disebarkan pada wilayah yang rawan saja sesuai hasil pantau peralatan sensing. Pola operasi demikian sudah pasti menghemat biaya yang cukup besar.
Menurut saya, Indonesia dalam hal ini AL kita sudah sepantas meniru apa yang dilakukan oleh Australia. Kita harus mengutamakan pembenahan kemampuan sensing untuk mendukung terciptanya maritime domain awareness. Biarpun, katakanlah, kapal kombatan atas air kita cuma 15, namun dengan kemampuan sensing yang mumpuni, pasti akan diperhitungkan oleh pihak-pihak lain di kawasan. (Bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar