06 Desember 2008

Proyeksi Kekuatan Angkatan Laut Kita

All hands,
Satu dari tiga kemampuan yang harus dimiliki oleh Angkatan Laut adalah proyeksi kekuatan. Proyeksi kekuatan sesuai dengan teori strategi maritim yang pernah kita pelajari, selalu dalam konteks proyeksi kekuatan ke luar wilayah negeri sendiri alias diproyeksikan ke luar negeri. Dengan demikian, kalau kita mengirimkan kekuatan Angkatan Laut ke suatu wilayah di negeri sendiri, katakanlah untuk gelar operasi amfibi, hal itu tidak termasuk proyeksi kekuatan.
Harus diakui rekam jejak AL kita dalam proyeksi kekuatan sangat terbatas. Beberapa proyeksi kekuatan yang pernah dilaksanakan oleh AL kita antara lain pengiriman Gugus Tugas ke Pakistan September 1965 untuk mendukung Pakistan dalam perang melawan India (sering disebut sebagai Operasi Chittagong) dan pengiriman Gugus Tugas ke Filipina pada 1987 untuk pengamanan KTT ASEAN.

Karena ini konteksnya adalah Angkatan Laut, maka Gugus Tugas yang dimaksud selalu terdiri dari kapal perang, bukan dalam bentuk Batalyon, Brigade atau sejenis. Kalau ke Filipina yang tergabung dalam Gugus Tugas hanya kapal atas air, sebelumnya yang dikirim ke Pakistan terdiri dari kapal selam dan kapal atas air.

Pasca Perang Dingin, mayoritas operasi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut di dunia lebih banyak berkutat pada proyeksi kekuatan. Bentuk yaitu operasi ekspedisionari, misalnya Japan Maritime Self Defense Force kirim Gugus Tugas ke Samudera India untuk mendukung global war on terrorism (lewat replenishment at sea gratis buat kapal-kapal perang negara lain di sana). Di Laut Laut dan Teluk Aden ada Task Force 150 dan Task Force 158 yang juga merupakan bagian dari global war on terrorism.

Lalu bagaimana dengan AL kita? Selama 10 tahun terakhir, AL kita disibukkan dengan berbagai agenda pembenahan internal, yang sampai kini pun masih berjalan. Keputusan pemerintah untuk mengirimkan kapal perang AL kita untuk bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force di Lebanon merupakan suatu kemajuan, karena itu berarti sebuah harapan baru bagi pelaksanaan proyeksi kekuatan kini dan ke depan. Walaupun yang disebarkan ke Lebanon baru satu KRI, tetapi itu suatu perubahan besar.
Kenapa demikian? Pertama, AL kita “dikondisikan” oleh perkembangan lingkungan strategis untuk turut melaksanakan proyeksi kekuatan. Tanpa ”pengkondisian” itu, sulit bagi AL untuk melakukan itu.
Ide partisipasi AL kita ke Lebanon sepengetahuan saya berawal dari permintaan Jerman kepada Indonesia agar AL kita turut partisipasi di Lebanon. Kenapa Jerman meminta kita? Jerman adalah salah satu negara penting dalam EUROMARFOR yang merupakan kekuatan inti dari UNIFIL Maritime Task Force.
Kalau Jerman minta kepada Indonesia, tentu dia sudah konsultasi dengan Prancis.
Kenapa Prancis? Lebanon adalah kaplingnya Prancis. Perlu diketahui bahwa empat anggota Dewan Keamanan PBB (minus Cina) sudah membagi-bagi kapling di dunia. Kalau Prancis tak setuju, nggak mungkin Jerman akan minta Indonesia untuk berpartisipasi dalam UNIFIL Maritime Task Force.
Kedua, paradigma para pengambil keputusan di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI tentang o
perasi perdamaian PBB masih army-minded, kalau tak mau dikatakan infantery-minded. Dari 1957 sampai sekarang yang dikirim pasukan saja, tak pernah kapal perang. Apalagi pesawat-pesawat AU, baik heli, pesawat angkut maupun pesawat tempur.
Ke depan tentu kita berharap AL kita lebih banyak lagi terlibat dalam proyeksi kekuatan, terlebih lagi bila bentuknya operasi perdamaian PBB. Mengapa operasi perdamaian? Sebab biaya operasional kita di-reimburst oleh PBB, jadi sekali hidup mesin (bukan mendayung lagi), ratusan pulau terlampaui. He...he...he...
Keuntungan yang akan kita dapat dari operasi semacam itu bukan saja yang bersifat materi, tapi juga non materi. Yaitu pengalaman operasi Angkatan Laut dalam wadah multinasional. Dalam operasi Angkatan Laut multinasional, berbagai Angkatan Laut yang berbeda harus beroperasi menggunakan SOP, TTP dan ROE yang sama.


Tidak ada komentar: