All hands,
Dalam pertempuran laut yang menghadapkan dua armada, tactical objective-nya adalah merusak atau menetralisasi armada lawan guna merebut atau mempertahankan pengendalian laut di suatu mandala maritim tertentu. Perusakan atau netralisasi armada lawan dapat dilakukan melalui pertempuran di tengah laut dan atau di pangkalan armada lawan. Untuk di pangkalan lawan, bentuknya melalui serangan jarak jauh (rudal jelajah atau pesawat udara), penetrasi pangkalan lawan oleh kekuatan atas air, serangan oleh pasukan khusus dan blockade terhadap jalur-jalur pendekat lawan lewat laut atau daratan.
Apabila kita mempelajari strategi maritim, salah satu cara untuk merusak atau menetralisasi armada lawan adalah melalui decisive battle atau general fleet action. Teori demikian benar karena telah banyak bukti empiris yang mendukungnya. Namun demikian, pasca Battle of Jutland pada 31 Mei- 1 Juni 1916 antara British Royal Navy Grand Fleet vs Germany Imperial Navy High Seas Fleet, decisive battle sudah tidak relevan lagi.
Sebab seiring kemajuan teknologi, tidak ada lagi Angkatan Laut di dunia yang mau mempertaruhkan eksistensi armadanya hanya pada satu pertempuran. Kini perlu berulang kali pertempuran laut dalam bentuk major naval operations untuk merusak atau menetralisasi armada lawan. Hal itu akan terus berlangsung pada era ke depan.
Selain itu, pertempuran laut armada vs armada sekarang sudah beralih ke narrow sea, enclosed, semi-enclosed sea dan littorals. Adapun pihak yang berhadapan bukan lagi dua kekuatan besar berstatus blue-water navy, tetapi antara blue-water navy vs non blue-water navy atau green-water navy vs green-water navy atau green-water navy vs brown-water navy.
Apabila tataran ini ditarik ke dalam kondisi lingkungan keamanan Indonesia, sepertinya cukup jelas bahwa most probably Indonesia tidak akan berhadapan dengan armada U.S. Navy. Tetapi akan engage dengan armada laut beberapa negara di sekitar Indonesia, khususnya Malaysia. Dibandingkan dengan Singapura, probabilitas AL kita untuk engage dengan Malaysia lebih besar. Sebab masalah perbatasan dengan Malaysia kadarnya lebih berat daripada dengan Singapura yang lebih pada soal menentukan delimitasi batas maritim tanpa embel-embel yang lain.
Area pelibatan Indonesia adalah Laut Natuna dan Laut Sulawesi, khususnya dalam konteks major naval operations. Ancaman yang akan dihadapi cukup besar, baik karena kondisi kedua perairan yang merupakan open sea maupun kesiapan operasional AL kita sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan taktik yang tepat untuk merusak atau minimal menetralisasi kekuatan laut Malaysia.
Kita tidak bisa meramalkan kapan kita akan terlibat engagement dengan Malaysia, namun Indonesia harus bersiap sejak dini. Harus diantisipasi andaikata langkah diplomasi untuk menyelesaikan sengketa itu menemui jalan buntu sehingga perang adalah langkah berikutnya. Seperti Diktum Clausewitz, perang adalah kelanjutan dari diplomasi, namun harus dipahami bahwa saat pecah perang bukan berarti diplomasi berhenti sama sekali.
Andaikata pecah konflik antara Indonesia dengan negeri tukang klaim itu, pasti berlangsung singkat. Sebab negara-negara lain tidak ingin hal itu berlangsung lama, sebab akan mengganggu stabilitas keamanan kawasan, selain tentu saja ekonomi Asia Pasifik. Meskipun berlangsung singkat, sejak dini Indonesia harus bersiap untuk meraih kemenangan strategis.
Meraih kemenangan strategis bagi sebagian pihak mudah untuk diucapkan, tetapi bagi yang paham operasi maritim, hal itu bukan sesuatu yang mudah. Persiapan harus dilakukan sejak dini di segala lini. Seiring dengan perkembangan strategi maritim, kita hendaknya tidak mencari decisive battle, namun melaksanakan serangkaian major naval operation untuk merusak atau minimal menetralisasi armada lawan. Dan hal itu harus dilaksanakan dalam konteks operasi gabungan.
Dalam pertempuran laut yang menghadapkan dua armada, tactical objective-nya adalah merusak atau menetralisasi armada lawan guna merebut atau mempertahankan pengendalian laut di suatu mandala maritim tertentu. Perusakan atau netralisasi armada lawan dapat dilakukan melalui pertempuran di tengah laut dan atau di pangkalan armada lawan. Untuk di pangkalan lawan, bentuknya melalui serangan jarak jauh (rudal jelajah atau pesawat udara), penetrasi pangkalan lawan oleh kekuatan atas air, serangan oleh pasukan khusus dan blockade terhadap jalur-jalur pendekat lawan lewat laut atau daratan.
Apabila kita mempelajari strategi maritim, salah satu cara untuk merusak atau menetralisasi armada lawan adalah melalui decisive battle atau general fleet action. Teori demikian benar karena telah banyak bukti empiris yang mendukungnya. Namun demikian, pasca Battle of Jutland pada 31 Mei- 1 Juni 1916 antara British Royal Navy Grand Fleet vs Germany Imperial Navy High Seas Fleet, decisive battle sudah tidak relevan lagi.
Sebab seiring kemajuan teknologi, tidak ada lagi Angkatan Laut di dunia yang mau mempertaruhkan eksistensi armadanya hanya pada satu pertempuran. Kini perlu berulang kali pertempuran laut dalam bentuk major naval operations untuk merusak atau menetralisasi armada lawan. Hal itu akan terus berlangsung pada era ke depan.
Selain itu, pertempuran laut armada vs armada sekarang sudah beralih ke narrow sea, enclosed, semi-enclosed sea dan littorals. Adapun pihak yang berhadapan bukan lagi dua kekuatan besar berstatus blue-water navy, tetapi antara blue-water navy vs non blue-water navy atau green-water navy vs green-water navy atau green-water navy vs brown-water navy.
Apabila tataran ini ditarik ke dalam kondisi lingkungan keamanan Indonesia, sepertinya cukup jelas bahwa most probably Indonesia tidak akan berhadapan dengan armada U.S. Navy. Tetapi akan engage dengan armada laut beberapa negara di sekitar Indonesia, khususnya Malaysia. Dibandingkan dengan Singapura, probabilitas AL kita untuk engage dengan Malaysia lebih besar. Sebab masalah perbatasan dengan Malaysia kadarnya lebih berat daripada dengan Singapura yang lebih pada soal menentukan delimitasi batas maritim tanpa embel-embel yang lain.
Area pelibatan Indonesia adalah Laut Natuna dan Laut Sulawesi, khususnya dalam konteks major naval operations. Ancaman yang akan dihadapi cukup besar, baik karena kondisi kedua perairan yang merupakan open sea maupun kesiapan operasional AL kita sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan taktik yang tepat untuk merusak atau minimal menetralisasi kekuatan laut Malaysia.
Kita tidak bisa meramalkan kapan kita akan terlibat engagement dengan Malaysia, namun Indonesia harus bersiap sejak dini. Harus diantisipasi andaikata langkah diplomasi untuk menyelesaikan sengketa itu menemui jalan buntu sehingga perang adalah langkah berikutnya. Seperti Diktum Clausewitz, perang adalah kelanjutan dari diplomasi, namun harus dipahami bahwa saat pecah perang bukan berarti diplomasi berhenti sama sekali.
Andaikata pecah konflik antara Indonesia dengan negeri tukang klaim itu, pasti berlangsung singkat. Sebab negara-negara lain tidak ingin hal itu berlangsung lama, sebab akan mengganggu stabilitas keamanan kawasan, selain tentu saja ekonomi Asia Pasifik. Meskipun berlangsung singkat, sejak dini Indonesia harus bersiap untuk meraih kemenangan strategis.
Meraih kemenangan strategis bagi sebagian pihak mudah untuk diucapkan, tetapi bagi yang paham operasi maritim, hal itu bukan sesuatu yang mudah. Persiapan harus dilakukan sejak dini di segala lini. Seiring dengan perkembangan strategi maritim, kita hendaknya tidak mencari decisive battle, namun melaksanakan serangkaian major naval operation untuk merusak atau minimal menetralisasi armada lawan. Dan hal itu harus dilaksanakan dalam konteks operasi gabungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar