All hands,
Tanggal 5 Desember 1959 merupakan salah satu tonggal sejarah dalam Angkatan Laut kita. Pada tanggal itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah AL kita membentuk Armada RI. Sebelum tanggal itu, organisasi AL kita tak mengenal adanya armada. Semua kapal perang langsung berada di bawah komando dan pembinaan Markas Besar AL.
Terbentuknya Armada RI tak lepas dari program modernisasi Angkatan Laut yang dilakukan saat itu. Program modernisasi itu sendiri tidak dapat dilepaskan pula dari kebijakan politik pemerintah untuk menyelesaikan masalah Irian Barat dengan cara apapun.
Seiring berjalannya waktu, tanggal 5 Desember tak lagi diperingati sebagai Hari Armada, tetapi HUT Angkatan Laut. Di sini saya tak akan membahas soal itu, tetapi lebih memfokuskan pada renungan tentang apa yang telah kita capai, belum capai dan seperti apa AL kita ke depan.
Selama 10 tahun terakhir, AL kita berupaya untuk bertahan hidup sekaligus mampu melaksanakan perannya di tengah kondisi atmosfir politik yang kurang berpihak kepada AL. Kenapa dikatakan kurang berpihak? Antara 1998-2004, sebagai bagian dari kampanye pihak tertentu yang tidak suka dengan sepak terjang TNI di masa sebelum itu, secara tidak langsung AL juga terkena dampaknya. Meskipun AL di masa lalu bukanlah pemain utama dalam dominannya TNI dalam segala lini kehidupan bangsa.
Hal itu bisa dilihat dari upaya untuk mengebiri peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional. Di masa lalu peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional diatur dengan jelas. Kenapa demikian?
Karena dalam situasi kontinjensi, armada-armada niaga dapat dimobilisasi untuk mendukung operasi AL. Begitu pula dengan aset-aset lain yang terkait dengan kekuatan maritim. Di situlah strategisnya peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional.
Di era reformasi, peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional, menurut saya, secara de jure kurang jelas. Walaupun secara de facto, para pemangku kekuatan maritim nasional mayoritas masih menganggap Kepala Staf AL sebagai pembina mereka. Sebagai bukti, dalam berbagai isu yang terkait dengan masalah maritim nasional, Kepala Staf AL selalu dimintai masukan, saran dan pendapatnya.
Atmosfir politik yang kurang berpihak terhadap AL kita juga dapat dilihat dari suara-suara kontra dari pihak tertentu, termasuk dari mantan petinggi matra lain, ketika AL kita melaksanakan program pembangunan kekuatan. Contoh kasus adalah pengadaan korvet kelas Sigma, ada pihak yang bersuara bahwa kapal itu akan digunakan untuk melanggar HAM. Ada pula mantan orang kuat di militer era Orde Baru (yang kini sibuk kampanyekan diri jadi calon presiden) yang menentang pengadaan korvet kelas Sigma, dengan alasan dananya lebih bermanfaat untuk mencetak satu juta hektar sawah. Itulah persepsi pihak-pihak yang cara pandangannya bukan berdasarkan kepentingan nasional, tetapi berbasis kepentingan kelompok yang sangat sempit.
Menyangkut pembangunan kekuatan dalam periode itu, sulit untuk menepis kesan bahwa AL harus berjuang sendirian untuk pembangunan kekuatannya. Pengadaan korvet Sigma adalah contohnya, yang mana untuk pendanaannya pimpinan AL saat itu harus lobi habis-habisan para pemegang keuangan negara. Untungnya pimpinan Bappenas saat itu sangat paham soal urusan martabat bangsa, sehingga sangat kooperatif membantu AL. Tanpa itu saya tak yakin program itu akan berjalan cepat.
Karena itu, ---bukan sebagai apology---- jangan heran bila korvet Sigma yang sudah masuk susunan tempur saat ini belum ada senjatanya, kecuali meriam 76 mm. Karena penandatanganan kontrak pengadaan kapal pada 2004 berjalan lebih dahulu daripada pengadaan sistem senjata. Kontrak sistem senjata lainnya baru diteken sekitar 2006. Sebagai perbandingan, ketika dulu AL kita pada 1977 menandatangani pembelian tiga korvet kelas Fatahillah, pada tahun itu pula kontrak pengadaan rudal Exocet MM-38 dengan Aerospatile (kini MBDA) diteken.
Tentu ada yang bertanya, kenapa demikian? Duite seret tenan rek. Mengucurnya nggak sekalian satu paket, tapi bertahap. Kayak Lapindo... He...he...he..
Lalu bagaimana dengan pasca 2004? Tunggu sambungan tulisan ini.
Tanggal 5 Desember 1959 merupakan salah satu tonggal sejarah dalam Angkatan Laut kita. Pada tanggal itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah AL kita membentuk Armada RI. Sebelum tanggal itu, organisasi AL kita tak mengenal adanya armada. Semua kapal perang langsung berada di bawah komando dan pembinaan Markas Besar AL.
Terbentuknya Armada RI tak lepas dari program modernisasi Angkatan Laut yang dilakukan saat itu. Program modernisasi itu sendiri tidak dapat dilepaskan pula dari kebijakan politik pemerintah untuk menyelesaikan masalah Irian Barat dengan cara apapun.
Seiring berjalannya waktu, tanggal 5 Desember tak lagi diperingati sebagai Hari Armada, tetapi HUT Angkatan Laut. Di sini saya tak akan membahas soal itu, tetapi lebih memfokuskan pada renungan tentang apa yang telah kita capai, belum capai dan seperti apa AL kita ke depan.
Selama 10 tahun terakhir, AL kita berupaya untuk bertahan hidup sekaligus mampu melaksanakan perannya di tengah kondisi atmosfir politik yang kurang berpihak kepada AL. Kenapa dikatakan kurang berpihak? Antara 1998-2004, sebagai bagian dari kampanye pihak tertentu yang tidak suka dengan sepak terjang TNI di masa sebelum itu, secara tidak langsung AL juga terkena dampaknya. Meskipun AL di masa lalu bukanlah pemain utama dalam dominannya TNI dalam segala lini kehidupan bangsa.
Hal itu bisa dilihat dari upaya untuk mengebiri peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional. Di masa lalu peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional diatur dengan jelas. Kenapa demikian?
Karena dalam situasi kontinjensi, armada-armada niaga dapat dimobilisasi untuk mendukung operasi AL. Begitu pula dengan aset-aset lain yang terkait dengan kekuatan maritim. Di situlah strategisnya peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional.
Di era reformasi, peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional, menurut saya, secara de jure kurang jelas. Walaupun secara de facto, para pemangku kekuatan maritim nasional mayoritas masih menganggap Kepala Staf AL sebagai pembina mereka. Sebagai bukti, dalam berbagai isu yang terkait dengan masalah maritim nasional, Kepala Staf AL selalu dimintai masukan, saran dan pendapatnya.
Atmosfir politik yang kurang berpihak terhadap AL kita juga dapat dilihat dari suara-suara kontra dari pihak tertentu, termasuk dari mantan petinggi matra lain, ketika AL kita melaksanakan program pembangunan kekuatan. Contoh kasus adalah pengadaan korvet kelas Sigma, ada pihak yang bersuara bahwa kapal itu akan digunakan untuk melanggar HAM. Ada pula mantan orang kuat di militer era Orde Baru (yang kini sibuk kampanyekan diri jadi calon presiden) yang menentang pengadaan korvet kelas Sigma, dengan alasan dananya lebih bermanfaat untuk mencetak satu juta hektar sawah. Itulah persepsi pihak-pihak yang cara pandangannya bukan berdasarkan kepentingan nasional, tetapi berbasis kepentingan kelompok yang sangat sempit.
Menyangkut pembangunan kekuatan dalam periode itu, sulit untuk menepis kesan bahwa AL harus berjuang sendirian untuk pembangunan kekuatannya. Pengadaan korvet Sigma adalah contohnya, yang mana untuk pendanaannya pimpinan AL saat itu harus lobi habis-habisan para pemegang keuangan negara. Untungnya pimpinan Bappenas saat itu sangat paham soal urusan martabat bangsa, sehingga sangat kooperatif membantu AL. Tanpa itu saya tak yakin program itu akan berjalan cepat.
Karena itu, ---bukan sebagai apology---- jangan heran bila korvet Sigma yang sudah masuk susunan tempur saat ini belum ada senjatanya, kecuali meriam 76 mm. Karena penandatanganan kontrak pengadaan kapal pada 2004 berjalan lebih dahulu daripada pengadaan sistem senjata. Kontrak sistem senjata lainnya baru diteken sekitar 2006. Sebagai perbandingan, ketika dulu AL kita pada 1977 menandatangani pembelian tiga korvet kelas Fatahillah, pada tahun itu pula kontrak pengadaan rudal Exocet MM-38 dengan Aerospatile (kini MBDA) diteken.
Tentu ada yang bertanya, kenapa demikian? Duite seret tenan rek. Mengucurnya nggak sekalian satu paket, tapi bertahap. Kayak Lapindo... He...he...he..
Lalu bagaimana dengan pasca 2004? Tunggu sambungan tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar