All hands,
Satu hal penting yang hendaknya kita pahami dalam menyusun minimum essential force AL kita adalah hubungan antara minimum essential force dengan peran Angkatan Laut. Angkatan Laut secara universal mempunyai tiga peran yang tak bisa dipisahkan, yaitu peran militer, konstabulari dan diplomasi. Semua Angkatan Laut di dunia menganut konsep itu, termasuk U.S. Navy. AL kita pun demikian.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, konsep minimum essential force lebih menekankan pada kemampuan penangkalan alias preventing the war. Kalau sudah berbicara soal penangkalan, maka kaitannya dengan peran Angkatan Laut adalah pada peran militer. Dengan demikian, perumusan minimum essential force pada domain AL kita harus bertitik berat pada peran militer, bukan peran konstabulari dan diplomasi.
Menurut saya kesepahaman ini penting karena dinamika tugas di lapangan menempatkan AL kita selama ini lebih banyak bermain pada porsi konstabulari. Hal itu sah-sah saja, karena memang saat ini sebagian ancaman dan tantangan yang datang tidak berbentuk militer, tetapi berasal dari aktor non negara. Misalnya soal pencurian sumber daya laut dan isu keamanan maritim (perompakan dan pembajakan di laut).
Karena kalkulasi minimum essential force terkait dengan peran militer, perlu dihitung dengan cermat berapa kekuatan yang kita butuhkan. Sebab pada akhirnya semua akan mengerucut pada berapa kebutuhan kapal, apa saja kemampuan yang harus dipunyai oleh kapal-kapal itu, berapa jumlah kebutuhan kapal berdasarkan jenisnya, dari mana kebutuhan itu akan dipenuhi, bagaimana dukungan logistik dan sebagainya.
Lepas dari besarnya peran konstabulari yang selama ini dilaksanakan, ada baiknya bila peran militer kembali mendapat porsi yang lebih besar. Hal itu tidak berarti menghilangkan peran konstabulari, hanya saja ke depan dengan akan berdirinya Coast Guard, beban konstabulari yang selama ini diemban oleh AL kita akan berkurang. Secara logika, siapa pun akan lebih senang mengerjakan tugas yang lebih sedikit dengan penghasilan yang sama daripada tugas yang lebih banyak tetapi penghasilannya juga sama.
Ancaman dan tantangan yang terkait dengan peran militer Angkatan Laut saat ini tidak dapat dipandang remeh. Hal itu dapat dilihat dari pembangunan kekuatan laut negara-negara di sekitar Indonesia, yang mana beberapa negara itu mempunyai potensi konflik dengan Indonesia. Untuk meminimalisasi proyeksi kekuatan mereka ke perairan yurisdiksi Indonesia, antara lain dapat dilakukan dilakukan dengan menajam peran militer Angkatan Laut. Penajaman itu akan berkonsekuensi pada pengadaan alutsista baru dan kalau mendalami Postur Pertahanan 2010-2029, dalam periode itu AL kita telah diproyeksi untuk mengadakan sejumlah kapal kombatan dan jenis lainnya.
Satu hal penting yang hendaknya kita pahami dalam menyusun minimum essential force AL kita adalah hubungan antara minimum essential force dengan peran Angkatan Laut. Angkatan Laut secara universal mempunyai tiga peran yang tak bisa dipisahkan, yaitu peran militer, konstabulari dan diplomasi. Semua Angkatan Laut di dunia menganut konsep itu, termasuk U.S. Navy. AL kita pun demikian.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, konsep minimum essential force lebih menekankan pada kemampuan penangkalan alias preventing the war. Kalau sudah berbicara soal penangkalan, maka kaitannya dengan peran Angkatan Laut adalah pada peran militer. Dengan demikian, perumusan minimum essential force pada domain AL kita harus bertitik berat pada peran militer, bukan peran konstabulari dan diplomasi.
Menurut saya kesepahaman ini penting karena dinamika tugas di lapangan menempatkan AL kita selama ini lebih banyak bermain pada porsi konstabulari. Hal itu sah-sah saja, karena memang saat ini sebagian ancaman dan tantangan yang datang tidak berbentuk militer, tetapi berasal dari aktor non negara. Misalnya soal pencurian sumber daya laut dan isu keamanan maritim (perompakan dan pembajakan di laut).
Karena kalkulasi minimum essential force terkait dengan peran militer, perlu dihitung dengan cermat berapa kekuatan yang kita butuhkan. Sebab pada akhirnya semua akan mengerucut pada berapa kebutuhan kapal, apa saja kemampuan yang harus dipunyai oleh kapal-kapal itu, berapa jumlah kebutuhan kapal berdasarkan jenisnya, dari mana kebutuhan itu akan dipenuhi, bagaimana dukungan logistik dan sebagainya.
Lepas dari besarnya peran konstabulari yang selama ini dilaksanakan, ada baiknya bila peran militer kembali mendapat porsi yang lebih besar. Hal itu tidak berarti menghilangkan peran konstabulari, hanya saja ke depan dengan akan berdirinya Coast Guard, beban konstabulari yang selama ini diemban oleh AL kita akan berkurang. Secara logika, siapa pun akan lebih senang mengerjakan tugas yang lebih sedikit dengan penghasilan yang sama daripada tugas yang lebih banyak tetapi penghasilannya juga sama.
Ancaman dan tantangan yang terkait dengan peran militer Angkatan Laut saat ini tidak dapat dipandang remeh. Hal itu dapat dilihat dari pembangunan kekuatan laut negara-negara di sekitar Indonesia, yang mana beberapa negara itu mempunyai potensi konflik dengan Indonesia. Untuk meminimalisasi proyeksi kekuatan mereka ke perairan yurisdiksi Indonesia, antara lain dapat dilakukan dilakukan dengan menajam peran militer Angkatan Laut. Penajaman itu akan berkonsekuensi pada pengadaan alutsista baru dan kalau mendalami Postur Pertahanan 2010-2029, dalam periode itu AL kita telah diproyeksi untuk mengadakan sejumlah kapal kombatan dan jenis lainnya.
2 komentar:
Saya sangat sependapat dengan tulisan tersebut. Namun disini saya ingin menambahkan bahwa sudah seharusnya AL kita lebih menajamkan pada naluri tempur (fungsi militer) dari pada fungsi konstabulari,karena hal ini justru akan lebih meningkatkan profesionalisme sebagai prajurit bahari. Selain itu, doktrin AL kita juga mungkin seharusnya sudah ada penyesuaian terutama mengenai proyeksi kekuatan ke darat. Pada masa sekarang peperangan tidak lagi dilakukan seperti jamannya Perang Dunia I atau II yang menekankan operasi amphibi, saat ini peperangan (seperti dicontohkan pada Perang Irak) lebih menekankan pada joint ops terutama antara AL dan AU, sehingga interoperability kedua angkatan tsb sangat kuat. Apakah konsep interoperability ini sudah diterapkan di TNI kita, apabila dilihat dari tingginya keanekaragaman alutsistanya?
Bravo Zulu
Terima kasih atas komentar anda. Penajaman fungsi militer sudah saya singgung dalam tulisan tersebut. Cuma saya tidak langsung ekstrem langsung mengesampingkan peran konstabulari. Menurut saya kita harus pelan-pelan dalam penajaman itu, agar resistensi kurang. Sebab sudah ada sebagian dari kita yang merasa nyaman dengan peran konstabulari.
Di sisi lain, penajaman fungsi militer harus didukung pula oleh lini logistik. Artinya kesiapan semua sistem senjata kapal perang dan pesawat udara harus 100 persen. Misalnya sonar pada kapal-kapal atas air.
Kemudian harus mulai dibedakan dalam deskripsi tugas antara Guskamla dengan Guspurla. Atau mungkin ide agar Guskamla dengan Guspurla ditinjau kembali eksistensinya perlu dikaji kembali secara mendalam. Apa untung ruginya (secara operasional) bila keduanya ditiadakan? Lebih besar mana, keuntungan atau kerugian, kalau keduanya ditiadakan dan berubah menjadi organisasi yang dibentuk sewaktu-waktu saja bila diperlukan?
Kata kuncinya adalah penajaman fungsi militer harus dikaji dengan seksama rentetan di belakangnya, sehingga diharapkan mampu berkontribusi lebih bagus pada kinerja AL kita. Saya tetap sependapat dengan anda soal penajaman tersebut.
Posting Komentar